Ketika Konglomerat Tak Bisa Lagi Leluasa Parkir Pesawat

PARKIRNYA PARA MILIUNER. Jejeran pesawat pribadi yang parkir di Bandara Seletar Singapura, Kamis (20/10). H ENDRA E KA -J AWA P OS

eQuator – Pemerintah memperketat pengaturan ruang udara. Sejak 1 Oktober 2015, pesawat dengan nomor registrasi asing mulai dibatasi ruang geraknya. Mereka hanya dibolehkan landing di satu bandara Internasional saja. Pro kontra pun merebak.

Meskipun berjarak sepelemparan baru, tampilan dan suasana Bandara Seletar dan Bandara internasional Changi Singapura bagai malam dan siang. Jawa Pos yang baru mendarat di Changi Airport, Senin siang (19/10), dan bersiap menuju Bandara Seletar merasakan hiruk pikuk di Changi langsung berganti suasana senyap saat sampai di gerbang Seletar.

Dari depan bandara khusus pesawat pribadi dan non-komersial itu, pengunjung bisa langsung melihat ruang check in yang hanya berisi dua meja dan satu fasilitas x-ray scanner. Sama sekali tak terlihat tenant-tenant makanan yang biasanya ada di bandara pada umumnya. Yang sama dari Bandara Seletar dan Changi Aiport adalah kebersihannya.

Namun, kesederhanaan tersebut justru jadi senjata andalan untuk menarik para penumpang jet pribadi. Dengan fasilitas satu runway sepanjang 1,8 kilometer, Changi Airport Group sebagai pengelola sejak 2009 telah mengkhususkan bandara tersebut sebagai fasilitas landing pesawat tak berjadwal.

“Kami tidak menerapkan sistem slot penerbangan di Bandara Seletar. Yang jelas, jika ada yang ingin mendarat dan sudah memberitahukan. Kami siap menerima mereka 24 jam setiap hari sesuai pesanan,” terang Manager Divisi Komunikasi Changi Airport Group, Julia Jemangin.

Dengan kapasitas parkir untuk 54 pesawat, Julia menyebutkan ada enam perusahaan yang bersedia menangani masalah groundhandling hingga maintenance. Jumlah tersebut mirip dengan rekan groundhandling di Bandara Internasional Halim Perdanakusuma.

“Memang, traffic kami tahun lalu mencapai 55 ribu. Tapi, Seletar bukan hanya untuk landasan private jet saja. 80 persen traffic di sana adalah dari pesawat pelatihan dari beberapa sekolah penerbangan, termasuk dari Indonesia,” ungkap Julia.

Dengan berlakunya peraturan baru tata ruang udara Indonesia dalam Peraturan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan nomor 66 tahun 2015 yang berlaku penuh mulai 1 Oktober 2015, pemasukan Bandara Selatar terancam susut.

Dalam PM no 66/2015 itu disebutkan, angkutan udara bukan niaga dan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri dengan pesawat udara sipil asing wajib mengantongi tiga izin sebelum masuk wilayah Indonesia. Izin pertama, diplomatic clearance dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Selanjutnya, security cleareance dari TNI dan terakhir, flight approval dari Kemenhub.

Bila izin sudah dikantongi, angkutan udara bukan niaga dan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri dengan pesawat udara sipil asing hanya dapat mendarat atau lepas landas dari satu bandara internasional. Itu pun juga melayani ke satu bandara di dalam wilayah Indonesia. Dengan kata lain, pesawat hanya diperbolehkan jalan dengan satu rute.

Meski demikian, ada beberapa pengecualian yang diberikan. Peraturan tidak berlaku untuk pesawat dalam kondisi darurat atau perlu melakukan pendaratan dengan alasan teknis. Sehingga, pesawat diperbolehkan mendarat di bandara domestik.

“Tapi kalau urusan refueling, harus tetap di bandara internasional,” katanya.

Staf Khusus Menteri Perhubungan, Hadi Mustofa Djuraid menjelaskan, peraturan ini ditetapkan untuk meminimalisir pelanggaran atas azas cabotage, izin terbang, pelanggaran terhadap kedaulatan wilayah negara, dan potensi lain yang beresiko pada keselamatan dan keamanan penerbangan di Indonesia.

“Aturan ini merupakan pelaksanaan dari Undang-undang nomor 1 tahun 2009,” tuturnya.

Selanjutnya, pesawat dengan membawa penerbangan VVIP (Presiden, wakil presiden, menteri, dan pejabat lainnya), penerbangan orang sakit dan penerbangan untuk kepentingan nasional yang strategis atas izin khusus menteri.

KONGLOMERAT

Beredar rumor, aturan baru Kemenhub dibuat untuk menarik pesawat-pesawat pribadi milik konglomerat Indonesia yang hingga kini sengaja tidak diregistrasi di Indonesia. Apalagi, pesawat-pesawat tersebut tidak menggunakan jasa parkir bandara-bandara di tanah air.

Hadi menanggapi hal itu dengan santai. Menurutnya, Permenhub 66/2015 tidak dispesifikkan untuk itu. “Intinya bukan untuk pesawat yang parkir di Singapura. Ini berlaku untuk semua pesawat non PK. Jadi aturannya disamakan dengan angkutan penerbangan niaga luar negeri berjadwal, satu rute saja,” jelasnya.

Dia melanjutkan, aturan yang diundangkan sejak 2 April 2015 ini telah disosialisasikan pada seluruh pengusaha jasa angkutan udara di Indonesia. Para pengusaha yang memiliki pesawat non-PK diberi kesempatan untuk merubah registrasi dalam waktu 6 enam bulan, sebelum berlaku sepenuhnya awal Oktober.

Termasuk, para pengusaha perorangan yang diduga memiliki pesawat pribadi dengan registrasi luar negeri. ”Tapi memang selama ini tidak jelas siapa pemilik dari pesawat jet pribadi yang katanya milik orang Indonesia. Karena memang registrasi di luar dan kebanyakan alamatnya PO BOX,” ungkapnya.

Meski begitu, pihaknya mencium adanya 50 pesawat non-PK milik warga Indonesia yang parkir di luar negeri maupun di dalam negeri. Lalu, mengapa mereka tidak berniat terang-terangan menunjukkan identitas dan mengubah registrasi pesawat miliknya?

Hadi menuturkan, tindakan ini diduga sengaja dilakukan untuk menutupi harta mereka di luar negeri. Kemudian, perubahan registrasi menjadi PK akan membuat pemilik menanggung biaya pajak barang mewah sebesar 62,5 persen.

“Karena hitungannya kan memasukkan barang mewah ke dalam negeri,” papar dia.

Kendati demikian, Hadi tetap menampik bila aturan dibuat khusus untuk mendongkrak pemasukan negara. Dia menekankan, peraturan difokuskan untuk masalah kontrol pesawat non PK dan masalah safety.

“Untuk masalah tambahan pendapatan itu, dampak lain saja,” terangnya.

Permenhub 66/2015 ini mulai berlaku penuh Oktober 2015. Bila dilanggar, Kemenhub memastikan tak ada izin terbang selanjutnya yang akan diberikan. Sementara, bagi agen yang mengurus izinnya, bakal disanksi administratif berupa peringatan selama tiga kali. Jika kembali terulang, agen pengurus ijin tidak diperkenankan kembali melakukan pengurusan persetujuan terbang.

“Kalau ada yang nakal, pesawat itu tidak akan bisa landing di mana pun. Aturan ini sudah dibagikan keseluruh otoritas bandara dan pihak UPT. Jadi pasti tidak akan diberi izin landing oleh mereka,” tegasnya.

Kepala Bagian Hukum dan Humas Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Hemi Pamuraharjo mengatakan, fenomena maraknya pesawat pribadi dan helikopter milik perseorangan yang diparkir di Singapura sudah lama terjadi.”Sejak deregulasi industri penerbangan tahun 2000, semua orang bisa saja memiliki dan mengoperasikan pesawat,” ujarnya.

Para konglomerat berkantong tebal sepertinya tidak sayang mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk membeli pesawat atau helikopter. Alasannya, selain prestise juga menghemat waktu.

“Maklum kalau ikut penerbangan umum harus lihat jadwal dulu, lalu ke bandara masih harus cek in sejam sebelumnya, kemudian menunggu pesawatnya datang dan lain-lain,” katanya.

Tentu untuk terbang dari satu kota ke kota lain butuh persiapan selama beberapa jam. Padahal bagi pebisnis, waktu yang terbuang 1-2 jam sangatlah berarti. Lebih baik memiliki pesawat atau helikopter pribadi yang bisa dipakai sewaktu-waktu.

“Mungkin dalam waktu 1-2 jam dia bisa terbang ke empat kota. Bagi mereka time is  money. Jadi lebih hemat waktu,” ungkapnya.

Namun ada hal yang membuat para konglomerat berfikir ulang, yaitu tingginya bea masuk (BM). Terdapat tiga komponen bea masuk pesawat atau helikopter yaitu Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPNBM) sebesar 50 persen, Pajak Penghasilan (PPh) 2,5 persen dan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10 persen.

“Total bea masuknya 62,5 persen,” sebutnya.

Selain itu, pesawat tidak bisa dicatatkan atas nama pribadi, tapi harus masuk di dalam maskapai yang memiliki AOC (Air Operator Certificate). Hal ini yang membuat pemilik pesawat terkadang menitipkan armadanya ke maskapai carter tertentu.

“Untuk menghindari pajak dan keribetan itu ada yang memilih register di luar negeri, seperti Singapura yang jaraknya cukup dekat,” tandasnya.

Hemi mengaku tidak tahu berapa jumlah pesawat atau helikopter milik orang Indonesia yang didaftarkan di Singapura. Namun terkadang ia melihat orang Indonesia menaiki pesawat dengan kode penerbangan 9V (Singapura).

“Kalau pesawat atau helikopter Indonesia kodenya PK, itu yang terdaftar di Kementerian Perhubungan. Diluar kode itu kami tidak punya datanya,” kata dia.

Register negara lain yang diakui dunia antara lain Amerika Serikat berkode N, Jepang berkode JA, Thailand memiliki kode HS, Vietnam VN serta Belanda adalah PH. Meskipun kode registernya negara lain, mereka bisa terbang kapan saja dan kemana saja di Indonesia.

“Asalkan sebelumnya telah mendapat izin dari otoritas penerbangan Indonesia,” tegas Hemi.

Namun, dengan adanya Peraturan Menteri Perhubungan yang baru, pesawat atau helikopter dengan registrasi Non – PK tidak diperbolehkan lagi terbang sesuka hati meski sudah mendapat izin masuk Indonesia.”Sekarang Non -PK hanya boleh landing dan take off dari satu bandara internasional di Indonesia. Jadi pilih salah satu bandara saja, misal Halim,” tuturnya.

Selanjutnya, jika ingin melanjutkan perjalanan ke kota lain, penumpang harus menyewa pesawat atau helikopter dengan register Indonesia (PK).”Tujuannya untuk meningkatkan keamanan nasional, sekaligus memberdayakan maskapai tidak berjadwal (carter). Karena mau tidak mau mereka harus sewa pesawat atau helikopter lokal kalau mau keliling Indonesia,” ungkap dia.

Aturan itu kabarnya membuat sejumlah pemilik pesawat dan helikopter dengan register asing mengeluh. Namun, Hemi menilai aturan baru itu bertujuan baik dan wajib dipatuhi.

“Sampai sekarang belum ada yang protes secara resmi ke Kemenhub. Harapan kami mereka pindah register PK sehingga pendapatan negara bertambah dan  maskapai carter laris,” jelasnya.

Lalu apa yang sebenarnya membuat Singapura dikabarkan menjadi salah satu tempat favorit? Jawa Pos pun mencoba melihat langsung bandara langganan bagi jet pribadi para taipan tersebut. Saat ditelusuri, pemerintah Singapura rupanya menyediakan tempat khusus bagi pesawat pribadi di Bandara Seletar.

Bandara Seletar merupakan landasan udara tertua di Singapura dengan luas 160 hektare. Lokasinya yang terletak di Timur Laut Singapura terletak 20 kilometer dari pusat kota seperti distrik Orchard. Memang hanya butuh 25 menit dengan kepadatan jalan Singapura.

Dengan kapasitas parkir untuk 54 pesawat, dia mengaku terdapat enam perusahaan yang bersedia menangani masalah groundhandling hingga maintenance. Jumlah tersebut mirip dengan rekan groundhandling di Bandara Internasional Halim Perdanakusuma.

“Memang, traffic kami tahun lalu mencapai 55 ribu. Tapi, Seletar bukan hanya untuk landasan private jet saja. 80 persen traffic disana adalah dari pesawat pelatihan dari beberapa sekolah penerbangan disana,” ungkap Hemi.

Lebih-lebih, Seletar pun sedang menjalani proyek untuk meningkatkan pelayanan berjudul Seletar Aerospace Park senilai SGD 60 juta. Proyek yang direncanakan rampung 2017 itu bakal membuat kawasan Seletar sebagai fasilitas industri aviasi terintegrasi.

“Kami memang sudah mengumpulkan perusahaan aviasi di kawasan tersebut. Sehingga, jet-jet yang mendarat disana bisa langsung mendapatkan perawatan dan perbaikan,” jelasnya.

Sementara itu, Executive Sales PT Whitesky Aviation Evi Susanti menjelaskan, pada dasarnya tarif parkir jet pribadi ataupun carter di Indonesia cukup murah. Di bandara Halim Perdanakusumah misalnya. Untuk sekali landing dan take off tarifnya maksimal Rp 3,5 juta tergantung besar kecilnya pesawat.

Sedangkan, di Singapura, dalam hal ini bandara Seletar, tarif parkir untuk sekali landing dan take off ditetapkan biaya SGD 2.000-2.500 (Rp 20-25 juta, kurs Rp 10 ribu). Karena itu, pihaknya sangat berhati-hati apabila terpaksa harus ada rute ke singapura.

Sedangkan, biaya untuk menginap, biasanya ditagihkan per tahun bagi mereka yang memang fixed parkir di bandara tersebut dengan jangka waktu pembayaran yang bervariasi. Setiap bandara menawarkan fasilitas yang berbeda-beda, dan itu membuat tarifnya berbeda pula. Di bandara Halim, misalnya, tarif sewa hanggar pesawat sekitar Rp 30 juta per bulan untuk tiap pesawat.

Namun, Evi tidak menyebutkan fasilitas apa yang disediakan bandara Halim untuk para kliennya. Sedangkan, untuk Bandara Seletar, dia tidak memiliki informasi karena pihaknya biasanya tidak harus sampai menyewa hanggar di bandara tersebut.

Lantas, mengapa orang lebih memilih Singapura ? Menurut Evy, alasan utamanya adalah keleluasaan waktu.

“Di Halim kan sekarang crowded (padat), belum lagi kalau tiba-tiba ada notam (notice to airmen atau larangan terbang),” terangnya. Hal itu membuat para pemilik jet pribadi kurang nyaman.

Sebagai contoh, apabila Presiden atau Wapres hendak terbang, maka semua penerbangan akan ditunda. Sedangkan, jet pribadi atau perusahaan carter seperti pihaknya tidak memiliki jadwal khusus karena bergantung order.

Di Selatar, waktu terbang lebih leluasa karena bandara tersebut memang murni untuk keperluan komersial. Para pemilik jet pribadi bisa terbang sesukanya tanpa harus bersaing dengan penerbangan komersial. Bandara Seletar tipenya mirip dengan lanud Pondok Cabe di Jakarta Selatan. (Jawa Pos/JPG)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.