eQuator – Meski positif bagi perkembangan maskapai tidak berjadwal di dalam negeri, Peraturan Menteri (PM) Perhubungan nomor 66 tahun 2015 berpotensi mengganggu sektor bisnis lainnya terutama pariwisata. Sedangkan registrasi pesawat dalam negeri dengan kode PK tidak terlalu diminati karena dirasa belum menguntungkan untuk rute internasional.
Beberapa pekan lalu, satu grup tamu berkewarganegaraan asing yang terdiri atas tiga pesawat pribadi batal berkunjung. Tujuannya yaitu pulau Komodo di Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Total sekitar 30 orang,” kata Pengamat sekaligus Investigator Penerbangan, Gerry Soejatman, kepada Jawa Pos, Sabtu (24/10).
Gerry yang juga anggota Indonesian General Aviation Forum yang berisikan para pengusaha industri penerbangan tidak berjadwal, itu mengatakan sebelumnya, tamu asing dengan pesawat berbendera asing bisa langsung ke tempat tujuan. Aturannya tentu ada yaitu bertemu petugas Bea Cukai dan Imigrasi di lokasi atau terbang via bandara International Ngurah Rai, Bali, sebelum akhirnya ke Komodo.
Namun sejak PM 66/2015 berlaku, cara seperti itu tidak diperbolehkan lagi. “Sekarang disuruh ke Bali terus naik airline lokal. Tamunya tidak mau. Ya sudah batal. Resort yang di Komodo gagal dapat tamu,” kisahnya, enggan menyebut tamu dimaksud berasal dari negara mana.
Masih ada beberapa contoh kasus hampir serupa kemudian membatalkan kunjungan. Para wisatawan itu akhirnya berpaling ke negara lain.
“Kita buka pariwisata tapi tidak buka akses buat mereka. Ya bagaimana,” sesalnya.
Selama ini, sambil mengantarkan sang tamu berkunjung, industri perawatan pesawat terbang dalam negeri juga mendapat berkahnya. Sebab tidak sedikit maskapai berbendera asing itu kemudian melakukan perawatan agar kondisi pesawatnya bisa fit saat mengantarkan tamunya pulang lagi.
Perusahaan seperti GMF AeroAsia milik grup Garuda Indonesia juga menerima layanan perawatan bagi pesawat pribadi atau carteran milik asing seperti itu. Dengan berlakunya aturan itu, selain potensi mendapat klien asing menjadi sulit, saat didapatpun akan sulit untuk menguji hasil kerjanya.
“Terbang uji pasca perawatannya jadi tidak bisa dong,” pikirnya.
Memang, selain mendorong penggunaan pesawat carter dalam negeri, salah satu tujuan penerapan aturan itu adalah agar orang Indonesia yang memiliki pesawat pribadi dan tidak registrasi di dalam negeri, segera meregistrasinya. Atau bahkan agar pesawat asing yang berkepentingan ke Indonesia juga melakukan registrasi di dalam negeri.
Hanya saja, perlu dikaji untung ruginya secara makro. Sebab, menurut Gerry, jumlah pesawat milik orang Indonesia yang terparkir di negara lain jumlahnya tidak sampai 100 unit. “Setahu saya total 30-an unit. Paling banyak 50 unit. Itu pesawat-pesawat yang harganya USD 30 juta ke atas. Antara USD 30 juta sampai USD 50 juta,” ujarnya.
Jika pertimbangannya adalah faktor pajak, bisa dihitung berapa nilainya dari nilai jual pesawat itu. Kemudian dibandingkan dengan berapa potensi pemasukan dari pariwisata dengan contoh kasus rombongan 30 orang itu.
Lalu berapa juga potensi investasi yang bisa dihadirkan dari para tamu yang datang menggunakan pesawat non registrasi Indonesia. Sebab banyak pesawat datang membawa orang-orang yang bertujuan untuk menganalisa potensi investasi di negara ini.
“Mungkin sebaiknya perlu dianalisa juga, orang Indonesia yang punya pesawat non PK itu berapa mereka generate economic activity dengan pesawat mereka?” tuturnya.
Lalu, kenapa para pemilik pesawat itu, terutama orang Indonesia, tidak mau menggunakan registrasi Indonesia? Selain alasan pajak yang memang tinggi, terutama komponen pajak barang mewah (PPnBM) sebesar 40 persen sampai 50 persen dari nilai beli, ada faktor lain yang menjadi pertimbangan utama.
Indonesia masih berada di level Federal Aviation Administration (FAA) kategori dua. Artinya, regulator di negara terkait dianggap belum bisa memenuhi peraturan mereka sendiri dan peraturan International Civil Aviation Organization (ICAO). Dengan bahasa lain dinilai belum aman atau belum layak ke level berikutnya yaitu kategori satu.
FAA kategori dua itu pula menjadi salah satu pertimbangan Indonesia masih terkena EU ban (dilarang terbang di kawasan Uni Eropa). Akibatnya, pesawat registrasi PK sulit terbang ke sana.
“Untuk terbang di luar, pakai pesawat non PK itu gampang dan praktis,” kata Gerry.
Namun EU ban memberikan pengecualian kepada airline yang dianggap cukup dimonitor oleh hubungan udara dan standard compliance maskapai tersebut ke peraturan yang berlaku di negaranya dinilai baik. Selain tentunya bisa mengikuti aturan ICAO. Atas dasar itu beberapa maskapai dari Indonesia masih bisa terbang ke Eropa.
“Bukan artinya airlinenya yang diban (dilarang) tapi regulatornya,” terusnya.
Jika Indonesia sudah masuk FAA kategori satu dan tidak lagi sulit terbang di rute internasional, Gerry meyakini, registrasi di dalam negeri akan sangat diminati.
Pemilik carter pesawat domestik Whitesky Aviation, Denon Prawiraatmadja, mengatakan jika dilihat sekilas, peraturan larangan pesawat pribadi non PK seakan ingin menghukum taipan yang mempunyai pesawat namun tak mau bayar pajak. Namun, pria yang juga ketua Penerbangan Tidak Berjadwal Indonesian National Air Carriers Association (INACA) lebih meyakini bahwa keputusan para pengusaha dan konglomerat untuk tidak mendaftarkan pesawat pribadi menjadi PK tak melulu soal uang.
“Pertama, pengusaha sulit mencari lembaga pembiayaan bagi pesawat pribadi yang berkode PK. Padahal, sebagian besar pengusaha membeli pesawat pribadi dengan sistem leasing. Banyak lembaga pembiayaan yang menolak karena pernah ada kasus klien yang gagal bayar dan pesawatnya tidak bisa disita kembali,” ungkapnya.
Alasan kedua, pengusaha mempertimbangkan pesawat registrasi Indonesia yang masih memiliki larangan terbang di beberapa wilayah di Eropa dan Amerika Serikat (AS). Faktor tersebut diakui sangat penting bagi pengusaha yang memang membutuhkan mobilitas tinggi.
”Menurut saya sah-sah saja. Misalnya, pengusaha punya perusahaan di Indonesia. Namun, dia juga mendirikan anak perusahaan di Hong Kong. Dan jika dia berniat untuk membeli karena beberapa pertimbangan termasuk anggaran, itu sah-sah saja,” kata dia.
Dia berharap, pemerintah bisa mempertimbangkan lagi terkait larangan tersebut. Karena, efek tersebut bukan hanya dirasakan oleh para hartawan Indonesia saja. Namun, investor-investor luar negeri yang harus meninjau tempat investasinya pun saat ini juga kesulitan.
“Baru-baru ini saya mendengar ada kasus investor dari Tiongkok yang bertujuan ke proyek Smelternya di Morowali. Namun, dia akhirnya terhenti karena pesawatnya terjebak di Jakarta. Hal ini bisa dinilai sebagai salah satu nilai minus terkait ease of doing business index,” terangnya.
Menanggapi PM 66/2015 tentang Kegiatan Angkutan Udara Bukan Niaga dan Angkuta Udara Niaga Tidak Berjadwal Luar Negeri dengan Pesawat Udara Sipil Asing ke dan Dari Wilayah NKRI, PT Pertamina (Persero) selaku induk dari Pelita Air merespon positif . Sebab, armada yang dimiliki untuk bisnis sewa pesawat atau helikopternya sudah teregistrasi di Indonesia.
VP Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro, mengatakan bisnis Pelita Air tidak terganggu dengan aturan yang baru dilaksanakan oleh Kemenhub itu. Malah berpotensi diuntungkan.
“Semua pesawat Pelita Air sudah PK. Tidak mungkin kami operasikan non PK karena memang fokus pada rute domestik,” ujarnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, registrasi armada Indonesia sudah dilakukan sejak lama. Bisnis Pelita Air sendiri, selain untuk charter pribadi juga mengakomodasi keperluan survey seismik dan geologi, sampai medis.
Permasalahan petak umpet terkait isu pesawat pribadi tak bisa dilepaskan dari strategi pemerintah untuk menarik ketertarikan pengusaha/perusahaan. Jika dibandingkan, operator bandara di Indonesia dan Singapura memang punya plus minus untuk membuat pesawat mampir ke landasan mereka.
”Kalau dari pengalaman saya, jelas biaya-biaya di Indonesia lebih murah. Karena itulah, ada beberapa penerbangan yang akhirnya memperpanjang rutenya yang semula Singapura ke Jakarta,” terang Vice President Region South East Asia. Sentot Mujiono, yang bekerja di Singapura.
Dia mencontohkan, Changi Airport Groups memang punya beberapa strategi untuk memancing lebih banyak pesawat datang ke bandara mereka. Misalnya, promo berupa diskon-diskon yang diberikan kepada maskapai luar negeri yang ada disana. Hal tersebut diakui membuat maskapai lebih tertarik untuk menambah rute dari atau menuju Singapura. (Jawa Pos/JPG)