eQuator.co.id – Pontianak-RK. Publik Indonesia tersentak dengan dua kasus pemerkosaan mengerikan sepanjang 2016. Yuyun, 14, siswi SMP di Bengkulu dan Siv, 19, di Manado. Yuyun akhirnya tewas digagahi 14 pemuda dan remaja mabuk sedangkan Siv hilang ingatan digilir 19 pria.
Adalah Wali Kota Pontianak Sutarmidji yang merasa pelecehan seksual sudah keterlaluan. Mengancam anak-anak dan perempuan di mana saja. Memang, sejumlah hantu peleceh dan pelaku kekerasan seksual pernah menghampiri anak bawah umur dan perempuan di kotanya.
“Saya sangat setuju hukuman kebiri diterapkan, sebab tindak kekerasan seksual terhadap anak itu kejahatan yang luar biasa. Apalagi pelakunya tunggal atau lebih dari satu orang,” ujar Sutarmidji, usai membuka Jambore Posyandu Kota Pontianak, di halaman Kantor Camat Pontianak Barat, Rabu (11/5).
Sikap itu dikemukakannya sejalan dengan pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mengenai hukuman kebiri yang menuju finalisasi di Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Bang Midji, karib Wali Kota dua periode itu disapa, berharap hukuman itu berujung pada efek jera bagi pelaku, maupun yang tengah punya niat jahat melakukannya. Karena itu dia mengkritisi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dinilainya seolah lebih berpihak kepada pelaku yang masih anak-anak.
“Padahal, korbannya juga masih anak-anak yang seharusnya mendapat perhatian serius. Kalau pelaku dilindungi, tidak dihukum dan hanya disanksi ringan, itu tidak akan memberi efek jera. Mereka harus bertanggung jawab secara hukum,” tegasnya.
Dan hukuman kebiri dinilainya pilihan terbaik ketimbang hukuman mati. Sebab, lanjut Midji, dengan kebiri fungsi seksual pelaku tidak akan berfungsi lagi.
MATIKAN SAJA LIBIDONYA
Rabu (11/5), Rakor di Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan memilih hukuman yang tepat bagi pelaku pemerkosa. Ada dua opsi dibahas. Pertama, hukuman kebiri dan kedua hukuman seumur hidup atau hingga mati.
“Nah, kami sendiri belum memutuskan mana hukuman yang lebih cocok,” ungkap Menteri Sosial Kofifah Indar Parawansa, Rabu (11/5) di Jakarta.
Sepertinya ada keinginan mengadopsi hukuman mematikan fungsi libido selama 10-15 tahun yang dilaksanakan di Korsel. Juga diterapkan di sejumlah negara bagian di AS, Jerman dan Australia.
Mensos merasa kalau sanksi tersebut (kebiri dan seumur hidup dan atau mati), sebagai langkah tepat untuk menekan kasus-kasus pemerkosaan. Kasus perkosaan tak hanya berkitan dengan kejahatan tapi juga menjaab isu trafficking. Seperti yang diderita oleh Siv di Manado itu.
Berbeda dengan banyak pihak yang menggebu agar diterapkannya hukuman kebiri bagi pemerkosa, Hairiah Ria justru punya sikap lebih mendasar guna menekan bahaya yang selalu mengancam anak-anak dan wanita itu.
“Kalau saya tidak setuju. Sebaiknya hukuman yang diberikan berupa hukuman maksimal, tidak dengan kebiri. Karena, kalau kebiri lebih pada kekuasaan negara dalam melegitimasi kekerasan,” ujarnya diwawancara Rakyat Kalbar via seluler, tadi malam.
Pegiat perempuan yang mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Kalbar ini mempelajari bahwa hukum kebiri tidak begitu efektif. “Dari berbagai negara yang menerapkan hukuman kebiri, tidak signifikan dalam menurunkan angka perkosaan. Kasus perkosaan bukan saat ini saja terjadi. Yang diperlukan, regulasi yang benar-benar menyentuh ke persoalan dasar dan kebutuhan korban,” jelas Wakil Bupati Sambas terpilih yang segera dilantik Juni hadapan itu.
Itu sebabnya, Hairia lebih menekankan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang penghapusan kekerasan seksual menjadi prioritas pembahasan legislasi di DPR. “Sehingga, proses pencegahan, penindakan hukum, dan rehabilitasi terhadap korban dapat dilaksanakan secara komprehensif. Saat ini, data dari Komnas Perempuan, hampir 32 korban kekerasan seksual dialami oleh anak-anak dan perempuan di Indonesia,” terangnya.
Ia memahami betul kondisi saat ini, tentang maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia. Kekerasan terjadi telah bervariasi, yakni pengrusakan kelamin perempuan yang disertai dengan pembunuhan adalah bagian dari kekerasan seksual tersebut.
“Jadi bagi saya, akar masalahnya yang harus dikebiri. Yakni masalah kemiskinan ekonomi, kemiskinan moral, peredaran miras dan Narkoba, pornografi, itulah yang harus dikebiri supaya tidak berkembang terus. Karena itulah pemicunya,” tegas Hairiah.
TIDAK EFEKTIF
Perihal hukuman maksimal yang diharapkannya bisa dilaksanakan tersebut juga harus menjadi perhatian serius oleh para hakim dalam menjatuhkan vonis yang selama ini kerap ambigu. “Kalau sudah menjadi kasus yang luar biasa, hakimnya juga harus punya perspektif korban. Hukuman maksimal tetap dijalankan, walaupun ada hak terdakwa untuk mendapatkan pembelaan dan remisi setelah menjalani hukuman,” ujar Hairiah.
Mengulang isu-isu pengebirian dalan jangka waktu tertentu, Hairiah juga tidak yakin bisa terlaksana dengan tepat dan efektif. Menguping dari Rakor tersebut di atas, banyak masalah yang muncul dalam penerapan vonis kebiri.
Misalnya penolakan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan argumen efektivitas pelemahan libido hanya bertahan 3 bulan saja. Selebihnya juga dianggap tidak manusiawi.
“Selain itu menyuntikkan zat kimia untuk melemahkan libido itu mahal dan bertahan singkat,” katanya.
Menjawab Rakyat Kalbar, Hairiah lebih berusaha mengebiri akar masalah saat melaksanakan tugas sebagai orang kedua di Kabupaten Sambas. Yakni, memerangi kemiskinan dan hambatan pendidikan.
“Insya Allah, kami akan membuka jalinan komunikasi dengan semua stake holder yang ada di Kabupaten Sambas untuk bersama sama melakukan upaya upaya pencegahan dari bawah. Mengedepankan komunikasi berbagai arah antarmasyarakat, legislative, dan pemerintah. Sehingga terciptalah kabupaten yang ramah terhadap anak,” pungkasnya.
Laporan: Gusnadi dan Achmad Mundzirin
Editor: Mohamad iQbaL