Sultan Sambas yang Direstui Sultan Brunei Darussalam

Jejak Pelestarian Peninggalan Kesultanan Sambas (bagian 2)

SITUS. Komplek Istana Alwatzikhoebillah di Sambas ini menjadi magnet wisatawan berkunjung, Minggu (12/11). Sairi-RK

Kesultanan Sambas merupakan salah satu Kesultanan Melayu di Kalimantan Barat. Berpusat di daerah pesisir pada aliran sungai Sambas Kecil. Pusat pemerintahan terletak dipertemuan pertigaan sungai Sambas Kecil, Teberau dan Subah yang disebut Muara Ulakan.

Sairi, Sambas

eQuator.co.id – Kesultanan di Sambas bermula pada saat Raden Sulaiman dinobatkan menjadi penguasa di Sambas dengan menggunakan gelar Sultan Muhammad Tsafiuddin. Adapun wilayah yang termasuk ke dalam Kesultanan Sambas sekitar 23.320 Km dengan batas di sebelah barat dan barat daya berbatasan dengan Laut Cina Selatan. Daerah pantai ini terbentuk dari utara ke selatan, dimulai dari Tanjung Datuk sampai muara sungai Duri.

Kerajaan Islam Sambas berawal dari setelah penobatan Ratu Anum Kesuma Yudha menjadi Raja, timbullah perselisihan yang mulanya kecil saja. Dimana pihak Pangeran Mangkurat kurang menyenangi pihak Raden Sulaiman yang selalu berbuat kebaikan dengan rakyatnya. Semakin hari perselisihan tersebut semakin besar, sehingga menyebabkan tewasnya seorang menteri Raden Sulaiman yaitu Kiai Setia Bakti, karena di bunuh oleh Pangeran Mangkurat. “Hal tersebut kemudian dilaporkan Raden Sulaiman kepada Ratu agar dapat mengambil tindakan yang bijaksana,” kata Sekretaris Kerabat Istana Alwatzikhoebillah Urai Riza Fahmi, S.Pd, M.Pd, kemarin.

Ratu dihadapkan pada dua pilihan yang berat dan sulit untuk dipecahkan. Dalam perselisihan tersebut Ratu hanya bertindak sebagai pihak ketiga tanpa dapat berbuat apa-apa. Kemudian secara diam-diam Ratu menyelidiki apa penyebab dari sengketa yang terjadi diantara keluaganya itu. Hingga akhirnya Ratu banyak menemukan perbuatan-perbuatan Pangeran Mangkurat yang bertentang dengan norma-norma agama dan merugikan rakyat banyak.

Untuk menghindari agar jangan sampai terjadi perang saudara, maka Raden Sulaiman mengalah dan mengambil keputusan untuk meninggalkan Ibu Kota Negeri Kota Lama. Bersama dengan para pengikut dan keluarga yang setia, mereka beramai-ramai keluar dari Kota Lama menuju Kota Bangun.

Kabar keluarnya Raden Sulaiman dari Kota Lama terdengar oleh Petinggi Nagur, Petinggi Bantilan dan Petinggi Segerunding. Berangkatlah para petinggi itu ke Kota Bangun untuk menanyakan penyebab kenapa Raden Sulaiman sampai keluar meningalkan Kota Lama. Setelah menceritakan semua hal yang terjadi kepada mereka, para petinggi tersebut berangkat menuju Kota Lama untuk menghadap Ratu Anum. “Tetapi setelah sampai ke hadapan Ratu, maka Baginda Ratu menyuruh ketiga petingi tersebut langsung saja menghadap Pangeran Mangkurat,” ujarnya mengkisahkan.

Sesampainya di hadapan Pangeran Mangkurat, mereka menanyakan kenapa sampai Raden Sulaiman keluar dari Kota Lama. Ketiganya langsung dijawab dengan caci maki oleh Pangeran Mangkurat. Akhirnya ketiga petingi tersebut pulang ke Kota Bangun dan menceritakan apa yang telah mereka alami di Kota Lama kepada Raden Sulaiman.

Setelah bermusyawarah dengan Raden Sulaiman akhirnya ketiga Petinggi tersebut membawa Raden Sulaiman beserta rombongan menuju ke simpang sungai Subah. Sesampainya di sana mereka mendirikan perkampungan yang diberi nama Kota Bandir.

Kepergian Raden Sulaiman dari Kota Lama, ternyata mendapat simpatik dari banyak rakyat yang menyusul Raden Sulaiman pindah ke Kota Bandir. Di sini mereka mendirikan pemukiman. Akhirnya Kota Lama semakin hari semakin sepi.

“Kepergian mereka ke Kota Bandir disebabkan Rakyat sudah tidak tahan lagi dengan perangai Pangeran Mangkurat yang berbuat semena-mena,” katanya.

Sedangkan Ratu Anum Sudah tidak dipedulikan lagi oleh Pangeran Mangkurat. Seolah-olah yang menjadi Raja adalah Pangeran Mangkurat, bukan Ratu Anum Kesuma Yudha. Sampai akhirnya Ratu Anum sendiri, karena sudah tidak tahan lagi dengan perangai adiknya mengambil keputusan untuk meninggalkan Kota Lama mencari tempat pemukiman yang baru.

Berangkatlah Ratu Anum Kesuma Yudha meninggalkan ibu kota negeri Kota Lama dengan menggunakan tujuh puluh buah perahu yang lengkap dengan persenjataan. Sesampainya di Kota Bangun, Baginda singgah sebentar. Kabar keluarnya Ratu Anum dari Kota Lama terdengar oleh Petinggi Nagur, Petinggi Bantilan dan Petinggi Segerunding. Ketiga petinggi tersebut menghadap Ratu menanyakan kenapa sampai Ratu meninggalkan rakyatnya di Kota Lama. Karena rakyat Kota Lama banyak yang pergi akibat tidak tahan dengan perbuatan Pangeran Mangkurat.

Sampai akhirnya Ratu mengambil keputusan untuk membuka pemukiman baru di daerah sungai Selakau. Sebelum berangkat Ratu Anum menyuruh ketiga Petinggi tersebut untuk memanggil Raden Sulaiman. Karena Baginda ingin menyerahkan pemerintahan Negeri Sambas kepada Raden Sulaiman dan istrinya.

Setelah Ratu Anom wafat, maka dinobatkanlah Raden Bekut menjadi Ratu bergelar Penembahan Kota Balai Pinang dengan permaisurinya Raden Mas Ayu Krontika putri Pangeran Mangkurat. Dari hasil pernikahannya, dikaruniai seorang putra bernama Raden Mas Dungun.

Sewaktu Penembahan Kota Balai Pinang wafat, Sultan Muhammad Tsafiuddin diperintahkan beberapa orang menteri dan kiai untuk pergi ke Kota Balai Pinang menjemput Raden Mas Dungun sekeluarga untuk pindah ke Sambas. Dengan pindahnya Raden Mas Dungun ke Sambas Kota Balai Pinang menjadi sepi dan hanya tinggal kenangan saja. “Di Kota Balai Pinang terdapat makam Ratu Anum Kesumayuda beserta keluarganya, termasuk juga makan Pangeran Mangkurat,” jelasnya.

Tiga tahun lamanya Raden Sulaiman bermukim di Kota Bandir, maka timbul keinginannya untuk memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah Sungai Teberau, tepatnya di Lubuk Madung. Di Lubuk Madung ini sebelum beliau dinobatkan sebagai Sultan Sambas yang pertama.

Ada keterangan yang menyatakan bahwa beliau pernah mengutus orang atau beliau sendiri yang berangkat ke Brunai mohon restu kepada pamannya yaitu Sultan Abdul Jalilul Akbar untuk menjadi Sultan di Sambas. “Peristiwa tersebut terjadi pada 20 Agustus 1630 Masehi,” sebutnya.

Dari keterangan tersebut di atas kata dia, ada benarnya juga bahwa setelah mendapat restu dari Sultan Brunai barulah beliau dinobatkan menjadi Sultan Sambas. Bersamaan dengan 9 Juli 1631 setahun setelah keberangkatan beliau ke Brunai untuk mendapatkan restu dari Sultan Brunai. “Setelah dinobatkan menjadi Sultan beliau bergelar menjadi Sultan Muhammad Tsafiuddin , mengikut gelar paman sebelah ibunya di Sukadana, untuk menjadi wazirnya diangkatlah adiknya yang bernama Raden Badarudin menjadi Pangeran Bendahara Seri Maharaja dan Raden Abdul Wahab menjadi Pangeran Temengung Jaya Kesuma,” demikian Urai Riza Fahmi. (*/Bersambung)

 

Editor: Arman Hairiadi