Pokok Sawit Mampu Menyerap Karbon

Paparan Seputar Kampanye dan Persaingan Industri Perkebunan

SEJAK 1848. Kelapa sawit di Kebun Raya Bogor, menjadi bukti bahwa kelapa sawit masuk Indonesia pada 1848. DOKUMEN KALTENG POS
SEJAK 1848. Kelapa sawit di Kebun Raya Bogor, menjadi bukti bahwa kelapa sawit masuk Indonesia pada 1848. DOKUMEN KALTENG POS

Indonesia kini menjadi produsen terbesar kelapa sawit di dunia. Namun industri ini selalu ditentang baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Ada apa dengan industri ini?

MOHAMMAD ISMAIL, Palangka Raya

eQuator.co.id – Awal bulan Juni ini, menjelang buka puasa, awak redaksi Kalteng Pos (Jawa Pos Group) berkesempatan diskusi dengan seorang pengusaha kelapa sawit di Kalteng. Dia Teguh Patriawan. Hadir dalam diskusi itu juga Profesor Dr. Salampak dan Kepala Dinas Perkebunan Kalteng, Rawing Rambang.

Meski usianya telah kepala tujuh, Teguh Patriawan tetap terlihat energik dan semangat. Apalagi ketika diajak berbicara tentang Industri Sawit. Satu jam ia memaparkan tentang perkembangan industri kelapa sawit.

Slide yang ia tampilkan merupakan papernya pada saat Talkshow di Fakultas Kehutanan UGM akhir tahun lalu. Alumni Fakultas Kehutanan UGM ini memaparkan kemampuan pohon atau pokok kelapa sawit menyerap karbon.

Bisa jadi banyak orang yang lupa atau baru tahu, jika kelapa sawit juga pohon. Karena pohon tentu saja punya kemampuan menyerap karbon sebagaimana halnya pohon-pohon lainnya.

Kenapa persoalan karbon diangkat dalam papernya, karena salah satu persoalan lingkungan dunia saat ini adalah tingginya emisi yang dihasilkan sejumlah negara industri maju. Untuk menyelamatkan dunia dari pencemaran, disepakati Protocol Kyoto untuk negara-negara tertentu menurunkan Emisi.

Negara-negara industri maju yang tak mampu memenuhi target penurunan emisi dengan upaya di negaranya sendiri, bisa membeli karbon ke negara lain. Indonesia menjadi salah satu negara yang jadi incaran Negara maju untuk tempat pembelian karbon yang sampai sekarang skemanya masih diperdebatkan.

Karena itu, negara-negara maju seperti Amerika dan Uni Eropa menyoroti hutan Indonesia. Ketika kawasan hutan yang meski sudah tidak ada pohonnya berubah menjadi kebun kelapa sawit, negara-negera itu pun protes. Dan mengancam memboikot produk-produk sawit karena dianggap merusak hutan.

Jika persoalannya adalah penyerapan karbon, betulkah pohon sawit tidak mampu menyerap karbon ? Hal ini terbantahkan hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Ada juga penelitian University of Hoheinhim, Stuttgart, Germany.

“Hasil penelitian kedua lembaga ini, membuktikan akumulasi karbon pada pokok sawit selama rotasi tanam,” ujar Teguh.

Menurut Teguh, penelitian ini belum memperhitungkan adanya kandungan karbon dalam hasil produk yang dipanen selama masa rotasi tanam. Selama rotasi tanam 25-30 tahun, sawit mampu menyerap emisi karbon rata-rata 60 ton per hektar.

Manfaat penyerapan emisi karbon ini akan semakin besar bila penananam pokok sawit dilakukan di lahan-lahan semak belukar atau hutan yang sudah mengalami degradasi. Jadi berdasarkan penelitian justru industri sawit melalui pokok pohonnnya mampu menyerap emisi karbon.

Berarti, terbantahkan bahwa industri sawit sebagai penghasil emisi. Namun sebaliknya justru industri sawit melalui pohon mampu menyerap emisi.

Jika pohon sawit mampu menyerap emisi karbon, lalu apakah para pelaku industri sawit akan menjadikan itu sebagai alasan mengubah semua hutan-hutan sekunder menjadi hutan sawit? Teguh langsung membantah.

“Kami tidak setuju jika semua hutan diubah jadi kebun-kebun sawit,” ujarnya.

Artinya, hutan-hutan primer dan hutan-hutan sekunder harus tetap ada. Dipertahankan karena keragaman hayatinya.

“Jadi nanti ada titik keseimbangan antara sawit, hutan dan tanaman lain,” tukas Teguh.

Menurut dia, jika seluruh dataran Pulau Kalimantan yang memiliki luas 74 juta hektare ditanami kedelai, masih perlu satu pulau lagi untuk bisa menghasilkan 51 juta ton minyak kedelai. Sedangkan untuk menghasilkan 65 juta ton minyak sawit, hanya perlu seperenam luas Pulau Kalimantan atau 18 juta hektare saja.

Tahun 2016, industri minyak kedelai dunia telah menggunakan lahan tanam 121 juta hektare. Sedangkan industri sawit baru menggunakan 18 juta hektare.

Perbandingan ini jelas menunjukkan bahwa industri kelapa sawit jauh lebih efisien dibandingkan industri minyak kedelai dan minyak nabati lainnya. Dalam penggunaan lahan.

Data-data angka yang disajikan oleh Teguh ini sedikit membuka fakta-fakta baru industri minyak nabati dunia saat ini. “Keunggulan minyak sawit dibanding dengan minyak nabati lain, adalah produktivitas yang tinggi dan hemat pemakaian lahan,” tegasnya.

Kebutuhan minyak dan lemak dunia tiap tahun terus meningkat. Sejak tahun 2000-2006, data konsumsi minyak dan lemak meningkat sebesar 6 juta ton per tahun. Bilamana minyak sawit terhambat pengembangannya, maka tambahan permintaan dunia akan minyak nabati dan lemak, dengan sendirinya harus dipenuhi dari negara-negara subtropis, seperti Amerika, dan Eropa.

Meningkatnya permintaan minyak nabati dari negara subtropis, akan membawa konsekuensi pembukaan lahan enam kali lebih besar dibandingkan lahan untuk industri sawit. “Lahan yang diperlukan akan lebih luas, dan karbon emisi yang dihasilkan dari pembukaan lahan akan lebih tinggi,” terang Teguh.

Di sisi lain, kelapa sawit hanya cocok tumbuh di daerah-daerah tropika basah. Memiliki curah hujan di atas 2.000 mm per tahun, merata sepanjang tahun. Temperatur optimum 24-28 derajat celcius. Penyinaran matahari sekitar 6 jam per hari, merata sepanjang tahun. Keasaman tanah optimal 5,-5,5.

“Indonesia salah satu negara yang memiliki geografis dan iklim yang sangat sesuai dengan syarat tumbuh kelapa sawit,” ujarnya.

Sawit masuk Indonesia tahun 1848 di Kebun Raya Bogor. Ada empat pokok, dua poko dari Bourbon dan dua pokok dari Hortus Botanicus Amsterdam. Sampai tahun 1870, sawit hanya jadi tanaman hias di Deli Serdang, Sumatera Utara. Uji coba secara komersial baru dilakukan tahun 1911.

Tahun 1916, tanaman sawit mencapai 1.272 hektare. Seiring waktu, budi daya sawit berkembang dan menyebar ke seluruh Nusantara. Kini, komoditi sawit Indonesia menjadi nomor satu di dunia dalam hal suplai minyak nabati.

Total luas tanam sawit di Indonesia mencapai 11,6 juta hektare. Terbagi milik rakyat/plasma 4,7 juta hektare, milik BUMN 755 ribu hektare, dan miliki swasta PBS 6,7 juta hektare. Terluas ada di Riau, dengan hamparan mencapai 2,4 juta hectare. Kedua di Sumatera Utara 1,4 juta hectare. Dan ketiga di Kalteng 1,2 juta hektare. Sedangkan nilai ekspor CPO (crude palm oil) di tahun 2015, telah mencapai 15,3 juta hektare.

Secara ekonomi, sawit memberikan sejumlah kontribusi. Pertama, menyerap 5 juta tenaga kerja di dalam kegiatan perkebunan. Ditambah 3 juta di luar kebun. Menciptakan ekonomi kecil dalam kebun plasma. Telah menghasilkan devisa 17 miliar dolar setiap tahun dari ekspor CPO.

Sementara itu, kontribusi terhadap lingkungan, antara lain, hemat dalam penggunaan lahan. Produktivitas mencapai 10 kali dibanding minyak nabati lain. Memiliki potensi sebagai tanaman reboisasi di lahan-lahan terbuka dan telantar.

“Beberapa peneliti menyatakan, per hektare kebun sawit menyerap kurang lebih 65 juta ton bahan kering, dibandingkan dengan hutan tropis yang menyerap hanya 25,7 juta ton,” ucap Teguh.

Melihat berbagai keunggulan sawit dan kontribusi terhadap ekonomi dan lingkungan, kenapa selalu muncul kampanye hitam terhadap sawit? Kuat dugaan bahwa ini tak lepas dari persaingan bisnis industri minyak sawit dengan negara-negara subtropis penghasil minyak nabati lainnya. (Kalteng Pos/JPG)