Serapan CPO Tak Tumbuh Signifikan

Ilustrasi : Internet

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Industri minyak sawit Indonesia terus menghadapi tantangan global yang berat.

Salah satu tantangan tersebut adalah ketidakpastian dalam dinamika pasar minyak nabati dunia. Permintaan dari pasar ekspor tidak meningkat signifikan sehingga harga minyak sawit mentah (CPO) tetap bergerak pada kisaran harga yang rendah.

Sementara itu, pertumbuhan daya serap pasar minyak sawit di dalam negeri juga tidak terlalu besar.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Mukti Sardjono mengatakan, kinerja ekspor minyak sawit Indonesia tidak tumbuh secara maksimal karena ada beberapa dinamika di pasar global khususnya di negara tujuan utama ekspor Indonesia seperti India, Uni Eropa, China dan Amerika Serikat.

Di India, Indonesia kalah bersaing dengan Malaysia khususnya untuk refined products di mana bea masuk refined products dari Indonesia Iebih tinggi daripada Malaysia dengan selisih 9 persen, yang mana tarif bea refined products dari Malaysia adalah 45 persen dari tarif berlaku 54 persen.

“Uni Eropa menggaungkan RED II ILUC dan tuduhan subsidi biodiesel ke Indonesia sedikit banyak juga telah mempengaruhi ekspor Indonesia ke Uni Eropa. Perang dagang Cina dan Amerika Serikat juga telah mempengaruhi pasar minyak nabati dunia,” ujarnya, Rabu (14/8).

Gapki mencatat, semester pertama 2019 kinerja ekspor minyak sawit Indonesia (CPO dan turunannya, biodiesel dan oleochemical) membukukan kenaikan hanya 10 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun.

Menurut dia, kenaikan volume ekspor ini seharusnya masih bisa digenjot Iebih tinggi lagi, akan tetapi karena beberapa hambatan dagang membuat kinerja ekspor tidak maksimal.

Sementara itu, untuk volume ekspor khusus CPO dan turunannya saja (tidak termasuk biodiesel dan oleochemical) semester I 2019 hanya mampu terkerek 7,6 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2019.

Dia bilang, volume ekspor Indonesia khusus CPO dan turunannya pada semester pertama 2019 mengalami penurunan hampir di semua negara tujuan utama ekspor Indonesia kecuali Cina.

“Meningkatnya permintaan dari Cina merupakan salah satu dampak dari perang dagangnya dengan AS dimana Negeri Tirai Bambu ini mengurangi pembelian kedelai secara signifikan dan menggantikan beberapa kebutuhan dengan minyak sawit,” paparnya.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tanjungpura, Eddy Suratman menilai, harga sejumlah komoditas ekspor andalan Kalimantan Barat seperti kelapa sawit dan karet, akan dipengaruhi dengan kondisi ekonomi global.

Menurut dia, rendahnya pertumbuhan ekonomi global yang masih diprediksi terjadi di tahun ini akan mengakibatkan harga kedua komoditas tersebut sulit mengalami kenaikan.

“Pertumbuhan ekonomi global menurut proyeksi IMF, di tahun 2019 hanya sekitar 2,1 persen. Dengan pertumbuhan yang relatif rendah itu, akibatnya adalah, petani-petani kita masih akan menikmati harga komoditas yang relatif rendah, terutama karet dan kelapa sawit yang menjadi andalan Kalimantan Barat,” jelas Eddy belum lama ini.

Laporan: Nova Sari
Editor: Andriadi Perdana Putra