eQuator.co.id – SINTANG-RK. Perusahaan sawit di Kabupaten Sintang ditegaskan supaya menyelesaikan sejumlah permasalahan. Terutama yang berkaitan langsung dengan masyarakat. Ini dilakukan agar tak ada lagi konflik antara warga dan perusahaan sawit.
“Perusahaan harus serius membantu masyarakat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan investasi perkebunan,” ujar Wakil Bupati Sintang, Askiman di rumah dinasnya usai dialog RRI Sintang, Jumat (11/1).
Di Sintang sendiri terdapat 47 perusahaan sawit yang beroperasi. Angka ini terbesar di seluruh Kalbar. Maka itu, perusahaan yang berinvestasi memang mesti memperhatikan kondisi sosial masyarakat.
Selain itu, guna mencegah konflik lainnya, perusahaan diminta taat aturan pemerintah semacam melapor jika ada peralihan kepemilikan. Pasalnya, hal ini bersinggungan langsung dengan kebijakan yang akan diambil pemerintah.
“Kami mendorong semua perusahaan meningkatkan kualitas kebun. Kami akan lakukan evaluasi terhadap luas perkebunan dengan luas izin yang diberikan,” terangnya.
Askiman juga menyinggung soal lahan yang tidak digarap perusahaan. Padahal sudah diberikan izin, sehingga ini masuk dalam kategori penelantaran. Jika itu terjadi, menurutnya lebih baik lahan tersebut dikembalikan ke masyarakat.
“Ada penambahan lahan tetapi kapasitas pabrik tidak ditambah. Pasar luar negeri, khususnya Eropa sekarang juga sudah mulai melihat dampak lingkungan perkebunan kelapa sawit,” terangnya.
Terkait persoalan lingkungan, investor mesti memperhatikan jarak tanam dengan pinggiran sungai dan sumber air. Sejauh ini kondisi yang ada belum ideal.
Sementara itu, pemeliharaan jalan kebun plasma ikut menjadi sorotan. Ini adalah tanggung jawab perusahaan. Perusahaan jangan cuma memelihara jalan kebun inti saja. Agar tidak memicu kecemburuan masyarakat dan berujung konflik sosial.
“Konsep Kabupaten Lestari memerlukan komitmen semua pihak. Ini konsep baik yang harus kita perhatikan. Kita bersyukur investor mau masuk ke Sintang dan membawa dampak positif. Tetapi dampak negatif harus kita selesaikan,” tegasnya.
Terkait harga TBS yang belakangan dikeluhkan, Kepala Bidang Pengembangan Perkebunan Dinas Pertanian dan Perkebunan Sintang, Gunardi menjelaskan, pihaknya rutin menggelar rapat membahas harga ini sebulan sekali.
Harga TBS yang sudah ditetapkan, hanya berlaku bagi petani mitra perusahaan dan petani mandiri yang sudah diakui Pemda. Sekarang di semua kecamatan di Sintang sudah ada perkebunan sawit, dengan delapan pabrik pengolahan.
“2019 ini akan ada lagi pabrik pengolahan kelapa sawit. Kami yakin harga TBS akan terus membaik. Untuk sekarang pendapatan masyarakat menurun akibat turunnya harga sawit dan karet,” terangnya.
Perwakilan PT Lyman Agro, Fakhrurrazi menyebutkan perusahaannya memiliki 64 ribu hektare lahan. Saat ini tengah mengalami masalah terkait daya tampung TBS petani. Karena keterbatasan kapasitas pengolahan pabrik.
“Namun untuk kerja sama dengan para petani sejauh ini sudah baik,” ujarnya.
Dia menyebutkan patuh terhadap aturan harga TBS yang ditetapkan Pemda. Saat ini harga TBS adalah Rp1.100 per kilogram. Kapasitas pabriknya saat ini 30 ton per jam dan ada rencana untuk menaikan kapasitas produksi.
“Proses sertifikasi belum dilaksanakan. Hanya sudah ada rencana untuk ISPO. Kami ingin ikut proses sertifikasi,” terangnya.
Sementara itu, Muhamad Munawir dari WWF Indonesia menjelaskan, Kabupaten Lestari menjadi komitmen Pemkab Sintang ditekankan pada persoalan sosial masyarakat. Petani menjadi aktor utama.
“Konflik sosial muncul karena sejak awal pemerintah dan perusahaan tidak memaparkan dampak negatif hadirnya investor. Yang disampaikan hanya dampak positifnya saja,” katanya.
Kabupaten Lestari bisa diwujudkan dengan melaksanakan IPO, ISPO dan adanya sertifikasi terhadap perusahaan untuk bisa dikatakan sebagai perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
“Saat ini sudah banyak perusahaan yang sudah ISPO. Jadi perusahaan perkebunan kelapa sawit juga bisa mengikuti tahapan untuk mendapatkan sertifikasi,” pungkasnya.
Laporan : Saiful Fuat
Editor : Andriadi Perdana Putra