eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Puluhan massa mengatasnamakan Aliansi Rakyat Penegak Demokrasi Kalimantan Barat menggelar aksi damai di depan kantor Gubernur Kalbar, Senin (8/10). Dalam aksinya, mereka menyampaikan pernyataan sikap yang ditujukan kepada Gubernur Kalbar.
“Gubernur harus taat azas dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam mematenkan tugas pokok dan fungsinya sebagai Gubernur tidak boleh menyimpang,” ujar Asdi, Koordinator Aksi dalam orasinya.
Gubernur kata dia, tidak boleh diskriminatif. Harus adil kepada seluruh kabupaten/kota se Kalbar. Kemudian mempertahankan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manuals (HAM). “Dalam hal ini pemerintah berkewajiban untuk melakukan penegakan pemenuhan dan pemajuan HAM,” katanya.
Gubernur untuk semua suku agama ras dan golongan. Sehingga harus mampu merangkul semua suku agama ras dan golongan. Tidak boleh membeda-bedakan dalam segala hal. Gubernur juga harus mampu mengadvokasi, memberikan perlindungan dan mengubah pelayanan kepada semua sebagaimana kehendak Pasal 18 huruf (d) UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. “Kami juga meminta Gubernur harus berdamai dengan Sekda. Dan tidak membawa-bawa persoalan pribadi dalam urusan pemerintahan,” pintanya.
Aliansi ini juga meminta kepada Gubernur agar segera mengembalikan Sekda ke tempat semula. Mampu membangun komunikasi yang baik dengan pemerintah pusat, Bupati dan penyelenggara negara lainnya. Mereka juga minta Gubernur mendukung semua pembangunan di Kabupaten Landak dan Bengkayang serta lainnya. “Kemudian tidak memotong APBD 2018 yang telah disahkan oleh DPRD Kalbar,” ucapnya.
Asdi juga minta Gubernur tidak sewenang-wenang dalam memperlakukan Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan kantornya. Karena tanpa mereka proses pelayanan tidak akan berjalan dengan maksimal dan baik. Dia menyatakan Surat Gubernur Kalbar Nomor: 800/1648/BKD tanggal 18 September 2018 bertentangan dengan kehendak Pasal 162 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada
“Jadi Gubernur harus mempelajari UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Serta UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS secara baik dan benar,” tukas Asdi.
Pernyataan sikap peserta aksi ini langsung dijawab Gubernur Kalbar Sutarmdiji. Ada dua persoalan yang akan dia tanggapi dari aksi damai itu. Pertama, soal pemangkasan APBD.
“Mau lihat saya berpihak atau tidak. Nanti penyusunan APBD 2019 dilihat berpihak atau tidak,” lugasnya.
Pria yang karib disapa Midji ini meyakinkan, kalau dirinya jadi Gubernur untuk semua masyarakat Kalbar. Tidak akan diskriminatif. “Tapi sesuai kebutuhan,” pungkasnya.
Sedangkan terkait pembatalan proyek di Kabupaten Landak, ditegaskannya memiliki alasan tersendiri. Pertama, proyek itu dianggarkan dan dibuat pada APBD tahun 2017 dan 2018. Sehingga ia menilai jika proyek itu penting kenapa harus ditender pada September saat ini.
“Mungkin tidak proyek yang jalan nilainya di atas Rp10 miliar selesai dalam waktu satu bulan? Kan tidak mungkin selesai,” jelasnya.
Pria yang karib disapa Midji ini mengakui, bahwa Kalbar memang tidak memiliki dana untuk tender Rp126 miliar. Kemudian ada juga proyek besar di beberapa kabupaten lain. “Seperti Kabupaten Sanggau dan Ketapang,” ujarnya.
Midji mengaku menghadapi dua pilihan. Melaksakan proyek ini atau memberikan hak daerah tingkat II atau membayar hutang Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) ke setiap kabupaten/kota. Nah, pilihan dia berdasarkan kajian adalah membayar hak daerah tingkat II sebesar Rp 600 miliar lebih. “Itu harus dibayarkan agar mereka (kabupaten/kota) tidak collapse,” tuturnya.
Ia pun meminta kepada masyarakat untuk tidak terlalu cepat menilai kinerjanya. Karena tidak ada masalah dalam progres kerjanya selama menjabat sebagai Gubernur Kalbar.
“Jadi tidak masalah. Karena saya kerje untuk menyelesaikan masalah. Alhamdulillah selesai,” ujarnya.
“Dan demo-demo itu takkan menyelesaikan masalah kita. Harus diskusi, apalagi untuk orang ramai-ramai, tidak bisa selesai penjelasannya,” timpal Midji.
Mantan Wali Kota Pontianak dua periode itu menegaskan kebijakan yang diambilnya tidak ada sedikit pun niat untuk balas dendam kepada pihak manapun. Bahkan ia mengaku telah menawarkan kepada Bupati Landak untuk membuat akses jalan menuju Pelabuhan Internasional Kijing di Kabupaten Mempawah yang sedang dibangun saat ini.
“Nanti dijelaskan yang mana kewenangan Pemprov dan yang mana kewenangan Pemkab Landak. Apakah saya masih dianggap diskriminatif?” tanya Midji.
Ia juga sudah meminta Dinas Pekerjaan Umum untuk mengkaji akses jalan dari Mandor menuju Pinyuh dan Mempawah. Sehingga ia akan mencanangkan jalan lurus dari Jalan 28 Oktober yang berkisar hanya 37 kilo meter. “Kalau jalan itu jadi dibuatkan lebih dekat,” ucapnya.
Selanjutnya perihal jabatan Sekda. Ia menegaskan, bahwa ia Gubernur atau kepala daerah yang baru terpilih. Selama 6 bulan tidak boleh mengambil kebijakan tanpa seizin dari Menteri dalam Negeri (Mendagri). Sehingga ia menegaskan bahwa prosedur pengajuan pemberhentian Sekda tetap berlanjut.
“Masalahnya sekarang pasal 117 ayat 1 itu menyebutkan bahwa jabatan tinggi hanya boleh 5 tahun. Kalau lebih bisa diperpanjang dengan dapat memenuhi 5 syarat. Kalau tak terpenuhi saya surati Mendagri,” terangnya.
Pada intinya kata dia, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Pasal 117 ayat 2 huruf B menjelaskan, bahwa Gubernur Kalbar selaku pejabat pembina kepegawaian (PPK) dapat mengambil langkah kebijakan pendayagunaan sekretaris daerah yang telah menduduki jabatan lebih dari 5 tahun. “Artinya saya diberi kewenangan untuk pemberdayaan. Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” tegasnya.
Ia juga mengaku sudah berkoordinasi dengan Komisi ASN melalui surat tertulis. Akan tetapi ia belum terima balasannya. Pada intinya, dirinya tidak melakukan persetujuan terhadap perpanjangan masa jabatan Sekda. Maka jabatan Sekda kosong. Sehingga jabatan Sekda Plh. Tidak hanya Sekda, semua yang sudah 5 tahun harus mengikuti prosedur itu.
“Tapi karena eselon II A dan eselon I saya lebih cenderung ada nanti pergeseran yang sudah pensiun. Ini ketentuan undang-undang bukan mau saya,” tukas Midji.
Dalam hal ini ia pun enggan memiliki pejabat yang tidak kompeten dalam menduduki jabatannya. Serta cacat hukum. Ia juga menjelaskan tidak ada sedikitpun dirinya membawa masalah pribadi antara dia dan Sekda. Karena dirinya tetap melalui prosedur yang benar.
“Insya Allah tidak salah. Nah, kalau nanti sudah ada keputusan pak M Zeet kalau keberatan boleh melakukan PTUN, kan ada pengacaranya. Intinya saya bekerja sesuai aturan,” demikian Midji.
Terpisah, kebijakan Pemerintah Provinsi Kalbar akan membayar hutang Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) ke setiap kabupaten/kota disambut baik Plt Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono. Sebab Pemkot memang menunggu DBHP yang jumlahnya mencapai Rp126,2 miliar. Karena DBHP itu sudah masuk dalam APBD murni Kota Pontianak 2018. “Tentu ini yang kita harapkan,” katanya, Senin (8/10).
Edi menjelaskan, di dalam APBD Pontianak tahun 2018, DBHP sudah dialokasikan ke sejumlah pos. Dalam aturan pun mengatakan bahwa DBHP wajib dibayarkan. “Karena menjadi salah satu pos pemasukan daerah,” jelasnya.
Wali Kota Pontianak terpilih ini mengatakan, DBHP ditransfer Pemprov ke Pemkot secara bertahap. Empat bulan sekali. Untuk tahun 2018, hingga September memang dana hak daerah tingkat II itu belum masuk. Namun, dalam APBD murni sudah dianggarkan DBHP.
“Jika tidak dibayarkan, kita bisa gagal bayar. Kalau ini tidak ditransfer ke kota, tentu kita jadi susah mau bayar, padahal sudah ada beberapa kegiatan yang sudah dilaksanakan. Kalau ini ditransfer ke kota, alhamdulilah sekali,” ucapnya.
Edi menambahkan bahkan untuk DBHP tahun 2017, jatah pembayaran di Desember belum terealisasi. Karena biasanya dana tersebut ditransfer di tahun berikutnya. “Dengan majunya kota, DBHP makin besar. Dalam aturan juga seharusnya dibayarkan on time karena hak daerah,” pungkas Edi.
Laporan: Rizka Nanda, Maulidi Murni
Editor: Arman Hairiadi