eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya terancam dilarang di negara-negara Uni Eropa. Pemerintah pun sedang menyusun langkah yang lebih agresif agar ancaman itu tidak terjadi. Tak menutup kemungkinan Indonesia juga mempersulit barang-barang dari Eropa masuk ke dalam negeri.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Senin (9/4) bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk membahas hal tersebut. Dalam pertemuan hampir sejam itu, Enggar melaporkan kondisi ekspor CPO ke Eropa dan Amerika.
”Kita sudah menang di beberapa perkara, tapi mereka tetap berkeras sampai 2021 biodiesel dikeluarkan dari sana, Eropa,” ujar Enggar.
Dia telah mengingatkan Norwegia bila mereka melarang CPO, Indonesia juga akan melarang ikan mereka. Begitu pula dengan pesawat terbang Airbus dan Boeing.
”Kalau ini terus berkembang, kita berada dalam posisi bukan tidak mungkin akan menghentikan itu juga,” tegas dia.
CPO dan seluruh derivatifnya menjadi produk ekspor tertinggi dari Indonesia. Data Kementerian Perdagangan menyebutkan, total ekspor CPO dan turunannya sebesar USD 13,814 miliar pada 2017. Hingga Januari 2018 tercatat ekspor senilai USD 1,064 miliar.
”Kalau biodiesel dikeluarkan dari Uni Eropa pada 2021, dampaknya besar. Ekspor kita yang tertinggi atau nomor satu adalah CPO dan seluruh derivatifnya,” ujar Enggar.
Dia menuturkan, Eropa selalu beralasan CPO dianggap tidak ramah lingkungan. Padahal, masalah utamanya adalah soal persaingan usaha.
”Mereka memroduksi vegetables oil yang lain. Mereka harganya mahal, CPO kita lebih murah,” kata dia. CPO juga menggunakan lahan yang lebih sedikit.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menuturkan, sebenarnya nilai perdagangan ke Uni Eropa termasuk kecil. Tetapi yang menjadi persoalan bila pelarangan itu dibiarkan akan mempengaruhi negara-negara yang lain.
”Sekarang itu yang terbangun negative impression terhadap produk sawit,” ujar dia.
Di sisi lain, hubungan ekonomi Indonesia dengan negara-negara di Afrika bakal semakin meningkat. Wakil Presiden Jusuf Kalla yang membuka Indonesia-Afrika Forum (IAF) 2018 optimistis perdagangan yang telah mencapai USD 8,84 miliar pada 2017 atau meningkat 15,25 persen dari 2016.
JK menuturkan selama ini hubungan yang terjalin dengan negara Afrika itu lebih banyak di bidang politik. Hubungan ekonomi memang perlu dikembangkan terus menerus di sektor investasi dan perdagangan. Dia berharap ada peningkatan tiga kali lipat kerjasama peningkatan kapasitas dan teknik dengan Afrika.
”Indonesia membutuhkan minyak mentah, kapas, biji kopi dari Afrika. Sedangkan Afrika membutuhkan minyak sawit, sepeda motor, dan tentu yang paling populer mie instan Indonesia,” ungkap JK di Bali Nusa Dua Convention Center, kemarin (10/4). Hadir pula dalam pertemuan itu Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, dan Menter Luar Negeri Retno Marsudi.
Selain itu, barang komoditi lain yang akan diekspor ke Afrika adalah kapal dan kereta api. Ada pula barang-barang tekstil yang dikirim ke benua tersebut. ”Daripada orang Afrika penuhin (Pasar) Tanah Abang untuk beli tekstil, lebih baek kita kirim ke situ. Lebih baek harganya kan,” imbuh dia.
JK memperinci pada 2017 perdagangan Indonesia dengan beberapa negara Afrika meningkat tajam. Misalnya dengan Liberia meningkat 284 persen, Comoro (268 persen), Gabon (215), Togo (105), Burundi (105), dan Cabo Verde (100). ”Sedangkan investasi Afrika di Indonesia pada 2017 mencapai USD 1,28 miliar,” tambah dia.
IAF yang digelar di Bali Nusa Dua Convention Center hingga hari ini (11/4) itu diikuti sekitar 500 peserta dari 53 negara. Forum itu akan membahas kerja sama Indonesia dan Afrika di bidang pangan, infrastruktur, ekonomi kreatif dan ekonomi digital, energi, serta pembangunan. Kesepakatan bisnis yang dicapai lebih dari USD 500 juta.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menuturkan forum tersebut akan membuka pasar baru untuk ekspor. Ditargetkan bakal ada perjanjian-perjanjian perdagangan baru untuk meningkatkan ekspor.
”Salah satu yang menjadi prioritas adalah negara-negara yang disebut sebagai pasar non-traditional. dan peningkatannya tajam sekali,” ujar dia. (Jawa Pos/JPG)