eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Mukti Sardjono optimis industri sawit masih dapat bertahan menghadapi sejumlah tantangan baik dari dalam maupun luar negeri.
“Tetap optimis di tengah pusaran badai, barangkali itulah ungkapan yang menjadi gambaran industri sawit Indonesia pada triwulan pertama 2019,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, kemarin.
Mukti menyebut, awal tahun industri ini digoyang oleh Uni Eropa dengan kebijakan Renewable Energy Directive ll (RED ll) yang akan menerapkan kebijakan penghapusan penggunaan biodiesel berbasis sawit karena minyak sawit digolongkan sebagai berisiko tinggi terhadap deforestasi (ILUC Indirect Land Used Change).
Sentimen RED II Uni Eropa, kata dia, telah ikut menggerus kinerja ekspor Indonesia. Di samping lesunya perekonomian di negara tujuan utama ekspor, khususnya India yang berdampak sangat signifikan pada permintaan minyak sawit negara tersebut.
“Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Cina yang tak kunjung usai, mempengaruhi perdagangan kedelai kedua negara yang berujung pada menumpuknya stok kedelai di AS,” terangnya.
Sementara tantangan di dalam negeri juga berdatangan. Saat ini, lanjut Mukti, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terus menekan industri untuk keterbukaan informasi HGU (Hak Guna Usaha). Sedangkan dari pasar, industri dibayangi kekhawatiran harga CPO global yang trennya terus menurun.
Dapat dilihat, meskipun dalam kekalutan, industri ini terus berperan dalam menambal neraca perdagangan Indonesia yang minus dengan kinerja ekspornya. Gapki mencatat, pada triwulan pertama 2019, kinerja ekspor minyak sawit secara keseluruhan meningkat sekitar 16 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau dari 7,84 juta ton triwulan 1 2018 meningkat menjadi 9,1 juta ton di triwulan I 2019.
“Dengan kinerja ini, artinya ekspor minyak sawit Indonesia masih tetap tumbuh meskipun masih di bawah harapan,” katanya.
Sekretaris Eksekutif Gapki Kalbar, Idwar Hanis menuturkan, industri sawit Indonesia memang masih menghadapi sejumlah tantangan. Mulai dari fluktuasi harga yang amat bergantung dengan permintaan global, persaingan minyak nabati komoditas lainnya, hingga kampanye negatif sawit.
“Seperti isu-isu yang kurang produktif ini harus ditangkal. Ini juga karena ada persaingan yang ketat antar produsen minyak nabati dunia,” jelasnya.
Namun di sisi lain, dia menilai sawit berpotensi besar apabila dikelola secara baik di dalam negeri. Maka dari itu, menurut dia, industri hilir sawit harus segera dibangun. Supaya industri ini tidak hanya bergantung pada ekspor CPO ke luar negeri.
“Di Kalbar saya melihat berpotensi melahirkan industri hilir sawit, mengingat produksi sawitnya sangat besar,” tandasnya. (ova)