Bentuk Satgas Gugat Uni Eropa ke WTO

Ilustrasi : Internet

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Pemerintah akan membentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk menghadapi pemasalahan diskriminasi produk kelapa sawit oleh Uni Eropa (UE). Satgas itu terdiri atas pemerintah, pelaku usaha sawit, dan firma hukum asing.

Di samping itu, pemerintah bakal menunjuk satu firma hukum untuk mendampingi satgas tersebut dalam menyampaikan gugatan mengenai kelapa sawit ke World Trade Organization (WTO).

Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan menyatakan, pemerintah telah berkonsultasi dengan lima firma hukum asing. Nanti dipilih satu firma hukum yang dirasa paling cocok dengan misi pemerintah Indonesia. ’’Nanti di task force (satgas) kita ada tim, ada kepanitian khusus,’’ kata Oke, Kamis (18/4).

Saat ini pemerintah telah menyiapkan dokumen yang dibutuhkan untuk melayangkan gugatan terhadap UE ke WTO. Namun, Indonesia baru akan melayangkan gugatan pada 15 Mei 2019. Tepatnya setelah kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II Delegated Act disahkan parlemen Eropa.

Kebijakan itu mengategorikan kelapa sawit sebagai bahan bakar nabati berisiko tinggi. Yakni, memberikan efek buruk pada lingkungan, kesehatan, serta pekerja di bawah umur.

Sebelumnya, Indonesia, Malaysia dan Kolumbia yang tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) memprotes UE di Brussel, Belgia, pekan lalu. Presiden Joko Widodo dan PM Malaysia Mahathir Mohamad juga telah mengirimkan surat ke UE. Namun, pihak UE tidak mengubah niatnya dalam mengategorikan produk kelapa sawit.

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala BPN Sofyan Djalil menuturkan, pemerintah masih berupaya melakukan upaya negosiasi ke Eropa. Pemerintah bakal menjelaskan bahwa kelapa sawit tidak mengakibatkan dampak buruk terhadap lingkungan.

Setidaknya tidak seburuk dampak lingkungan dari penanaman komoditas vegetable oil lain seperti rapeseed dan bunga matahari.

“Nanti ada nanti tim yang membicarakan ini lebih detail dengan pihak UE. Mereka akan menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi selama ini,’’ ujar Sofyan.

Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai, penerapan RED II oleh Uni Eropa semakin menjadi hambatan perdagangan sawit. Diskriminasi ini, bakal sangat merugikan negara produsen sawit, tak terkecuali bagi Indonesia.

“Saat ini kita juga sedang dihadapkan pada tantangan hambatan perdagangan yang diterapkan oleh Komisi Uni Eropa yang pada tanggal 13 Maret 2019 ini telah mengadopsi RED II,” ujar Direktur Eksekutif Gapki, Mukti Sardjono.

Mukti mengatakan, RED II menjadi kebijakan yang akan menghapus penggunaan biodiesel berbasis sawit. Karena sawit digolongkan sebagai minyak nabati beresiko tinggi terhadap deforestasi.

“Meskipun Iandasan ilmiah RED ll banyak dipertanyakan, diskriminasi negara Uni Eropa ini tentunya sangat merugikan negara produsen sawit,” katanya.

 

Laporan : Jawa Pos/Nova Sari

Editor : Andriadi Perdana Putra