eQuator.co.id – Meski digempur kampanye hitam dan lonjakan pengenaan bea masuk, pelaku usaha sawit meyakini industri ini tidak bakal mati. Apalagi pemerintah ikut membantu melawan kampanye hitam tersebut. Karena itu, perusahaan tetap optimistis dan terus meningkatkan produktivitas.
“Pengenaan tarif sesuatu yang normal. Kami tetap optimistis,” tutur Direktur Utama PT Dharma Satya Nusantara, Andrianto Oetomo.
Sekadar diketahui, sejumlah tantangan ekspor memang tengah dihadapi industri sawit Indonesia. Mulai dari larangan produk sawit pada 2030 di Eropa hingga pengenaan tarif naik cukup signifikan. Misalnya India, sejak tahun lalu memberlakukan kenaikan tarif impor dua kali lipat. Di mana, tarif CPO menanjak dari 7,5 persen menjadi 15 persen. Dan, produk olahan dari 15 persen menjadi 25 persen. Bahkan, tarif itu masih akan dinaikkan lagi menjadi 44 persen dan 54 persen.
”Palm oil masih kompetitif,” ujarnya.
Andrianto mengatakan, tahun ini pihaknya berencana membangun satu pabrik kelapa sawit (PKS) baru di Kalimantan Barat (Kalbar). PKS itu berkapasitas 30 ton per jam. Dengan pengoperasian PKS baru ini, total kapasitas PKS milik perusahaan mencapai 480 ton per jam.
Selain itu, perseroan juga tengah mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTB) di Kalimantan Timur (Kaltim). ”Intinya, sepanjang tahun ini, kami akan berusaha semaksimal mungkin. Ekspansi belanja modal kami patok Rp 600 miliar. Itu untuk pabrik PKS, tenaga gas, dan perawatan infrastruktur jalan di perkebunan. Sumber pendanaan dari laba ditahan dan pinjaman,” ulasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono mengaku dukungan pemerintah terhadap industri kelapa sawit sangat besar. ”Kami akan terus bekerja sama dengan pemerintah dalam memajukan sektor kelapa sawit nasional,” tutur Joko. ”Kerja sama atau partnership dengan pemerintah semakin perlu dilakukan mengingat tujuan dan tantangan ke depan tidak bisa dianggap sepele,” beber Joko.
Menurut Joko, partnership dengan pemerintah perlu dilakukan dengan sejumlah pertimbangan. Pertama untuk memperkuat pasar ekspor kelapa sawit. Pasar ekspor harus terus diperluas dan diversifikasi. ”Ketika bicara perluasan pasar dan penanganan hambatan pasar pasti harus government to government (G-to-G), maka perlu kerja sama dengan pemerintah,” ulasnya.
Adapun produksi CPO Indonesia pada 2017 mencapai 38 juta ton. Di mana, sebanyak 31 juta ton untuk memenuhi pasar ekspor tepatnya meliputi lebih dari 50 negara. Selanjutnya, sisanya untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Nah, dari 31 juta ton yang diekspor itu, dalam bentuk CPO hanya 7 juta ton. Sisanya 24 juta ton di ekspor dalam bentuk olahan. ”Ini membuktikan program hilirisasi dalam rangka nilai tambah di negeri sendiri sudah menunjukan hasil,” tukas Joko.
Ia menambahkan untuk nilai ekspor sawit pada 2017 diperkirakan mencapai USD 22,9 miliar. ”Kontribusi devisa yang dihasilkan cukup signifikan,” jelasnya. (Jawa Pos/JPG)