eQuator.co.id – Seekor bayi orangutan (Pongo Pygmaeus) kembali ditemukan dalam kondisi memprihatinkan di Ketapang. Sudah lah kekurangan nutrisi, didapati sebutir peluru senapan angin yang bersarang di pundak kanannya.
Proses penyelamatan berawal dari laporan seorang pendeta bernama Olke kepada International Animal Rescue Indonesia (Yayasan IARI). Dari penuturan Sang Pendeta pada Rabu (15/6), bayi orangutan tersebut sempat dalam perawatan Cuan, pemilik warung di daerah Desa Sandai Kiri, Kecamatan Sandai, Ketapang.
Minggu (12/6), Cuan sedang mengurus orang yang kecelakaan di sekitar warungnya. Tiba-tiba, orang yang tidak ia ketahui identitasnya menyerahkan bayi orangutan tersebut kepadanya dan kemudian pergi begitu saja.
Karena kasihan, orangutan yang diberi nama Didik ini dirawat oleh Cuan layaknya manusia. Selama tiga hari, Didik diberi minum susu formula. Cuan mencoba memulihkan kondisi Sang Bayi Orangutan sambil mencari-cari informasi kemana dia bisa diserahkan.
Sampailah kabar itu ke Pendeta Olke yang segera menghubungi Yayasan YIARI. Bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam Seksi Konservasi Wilayah I (BKSDA SKW I) setempat, mereka mengambil Didik ke Sandai Kiri dan membawanya ke Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Orangutan YIARI di Kota Ketapang.
Menurut Direktur Program YIARI, Karmele Liano Sanchez, kondisi bayi orangutan yang diselamatkan itu cukup memprihatinkan. “Bahkan ukuran tubuhnya kurus kering dan terlalu kecil untuk orangutan seusianya,” tutur Sanchez dalam siaran persnya, Kamis (16/6).
Menilik giginya, kata dia, Didik berumur kira-kira satu tahun setengah. “Selain mengalami malnutrisi, di tubuhnya juga ditemukan sebutir peluru senapan angin yang bersarang di pundak kanannya mengakibatkan kelenjar di dada kanannya membengkak,” bebernya.
Kemungkinan besar, lanjut Sanchez, induk orangutan itu sudah mati dan tertembak seperti bayinya. Lanjut dia, tak jarang, dalam sejumlah kasus pada saat orangutan dewasa ditembak mati, anaknya juga ikut tertembak.
“Untuk satwa seperti orangutan, kehilangan induknya membuat mereka sangat trauma karena melihat secara langsung kematian Sang Induk. Pengalaman traumatik ini membuat bayi orangutan itu juga terlihat sedih dan depresi,” jelasnya.
Trauma tersebut memerlukan waktu lama untuk disembuhkan. Dalam proses rehabilitasi yang bisa berlangsung bertahun-tahun ini, bayi orangutan itu akan bergabung dengan teman-temannya untuk mempelajari kemampuan bertahan hidup sebelum dikembalikan ke habitatnya. (*)
Ocsya Ade CP, Ketapang