eQuator.co.id – Ikut Unas di Usia 66 Tahun demi Jadi Penyuluh
Nenek Suniaty Mongilong mengaku tak menemui kesulitan selama mengikuti ujian nasional paket C. Kalau lulus, Kakek Nasrun berencana kuliah.
CIPTA MOLANU, Kotamobagu
ARFANDI IBRAHIM, Bone Bolango
SANDIJAYA-ALIT, Badung
SUNIATY Mongilong melenggang santai ke luar ruangan itu. Tak tampak lelah. Tak tampak baru saja menjalani ujian yang berat. Senyumnya bahkan terus tersungging.
”Tak ada yang sulit. Biasa-biasa saja,” kata perempuan berjilbab itu kepada Radar Bolmong (Jawa Pos Group) di SMPN 5 Kotamobagu, Sulawesi Utara, Rabu lalu (6/4).
Padahal, tes yang baru saja dia selesaikan itu fisika, momok bagi begitu banyak siswa. Padahal lagi, Suniaty kali terakhir menyandang status siswa hampir lima dekade silam.
Ya, Suniaty, peserta ujian nasional (unas) paket C di SMPN 5 Kotamobagu, memang sudah sangat sepuh. Usianya 66 tahun. Ada memang Ardi Yusuf, seorang kakek di Bogor, Jawa Barat, yang juga ikut unas.
Namun, usia Ardi ”baru” 61 tahun. Di Bone Bolango, Gorontalo, juga ada dua kakek yang tercatat sebagai peserta unas paket C, Ibrahim Badu dan Nasrun.
Tapi, umur mereka jauh di bawah Suniaty. Ibrahim berusia 53 tahun. Nasrun tiga tahun lebih muda. Sedangkan I Wayan Sadia, peserta ujian serupa di Denpasar, Bali, ”hanya” lebih tua tiga tahun daripada Ibrahim.
Di usia sesepuh itu, semangat Suniaty mengikuti ujian demi mendapatkan ijazah persamaan SMA tersebut toh masih demikian tinggi. Maklum, dia sudah memendam impian tersebut begitu lama.
”Saya mengikuti unas paket C ini karena ingin menjadi penyuluh di Kementerian Agama. Karena syarat menjadi penyuluh harus berijazah minimal SMA,” kata guru mengaji di Pengajian Al Mukaromah itu.
Mama Naning –sapaan akrab ibu dua anak tersebut– menuturkan, pendidikannya memang terputus di bangku setingkat SMA. Persisnya sekolah kesejahteraan keluarga atas yang dia masuki pada 1972.
Karena kendala ekonomi, Suniaty tidak bisa melanjutkan studi. ”Setelah putus sekolah, saya akhirnya menjadi guru mengaji. Jadi, meski putus sekolah, setidaknya cita-cita saya sejak kecil ingin menjadi guru tercapai,” sambung dia, lalu tertawa lebar.
Cita-cita tercapai, tapi impian memiliki ijazah setara SMA terus dia pelihara. Akhirnya, pada Juli 2015, Suniaty mendaftar paket C kesetaraan melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kotamobagu.
Seminggu tiga kali dia harus mengikuti proses belajar. Mama Naning mengikutinya dengan tertib. Tak sekali pun membolos.
Total, ada 326 peserta ujian paket C di Kotamobagu tahun ini yang berakhir Rabu lalu. Para ”kolega” Mama Naning itu berusia 20–30 tahun dengan latar belakang beragam.
Kalau Mama Naning hanya ingin mendapatkan ijazah SMA, Nasrun malah ingin meraih impian yang lebih tinggi. Jika lulus, kakek yang mengikuti ujian paket C di SMA Negeri Kabila 1, Bone Bolango, itu berencana kuliah.
”Mengejar ilmu itu kan tidak harus mengenal usia,” kata staf di Kantor Desa Bilungala, Bone Bolango, tersebut kepada Gorontalo Post (Jawa Pos Group) dengan penuh semangat.
Semangat yang tak kalah tinggi ditunjukkan Ni Luh Endriani. Padahal, nenek satu cucu itu mengaku bahwa mata tuanya tak lagi jelas untuk melihat tulisan. Semakin dipaksakan melihat, semakin keluar air mata.
Kadang terasa perih. ”Pakai kacamata saja, harus pelan-pelan bacanya,” kata perempuan lulusan SMP Widya Pura 3 Blimbing Sari, Jembrana, itu kepada Bali Express (Jawa Pos Group).
Tapi, dia tak mau menyerah. Bagi perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai tukang sapu Dinas Kebersihan dan Pertamanan Badung, Bali, itu, ijazah SMA adalah sebuah kesempatan untuk menuju taraf hidup yang lebih baik.
”Saya pensiun umur 60 tahun, masih ada 11 tahun buat mengabdi. Mumpung masih ada waktu, saya ikut paket C,” katanya.
Padahal, persiapan menuju unas sungguh menguras fisik sepuhnya. Bertugas di rumah jabatan bupati Badung, dia berangkat kerja pada pukul 5 pagi dan pulang enam jam kemudian. Istirahat sebentar, Endriani kembali menyapu jalanan pada pukul 15.00 hingga selesai.
”Dibilang capek, ya capek sekali. Tapi, masak kalah sama yang muda,” tutur I Nyoman Budiasa itu, lalu tersenyum.
Melihat semangat para kakek dan nenek mengejar impian itu, para ”cucu” mereka mestinya malu kalau lantas bermalas-malasan di sekolah. Apalagi kalau biaya tak menjadi kendala. (*/JPG/c11/ttg)