Usut Dugaan Megakorupsi Izin Tambang di Kotim

ilustrasi.net

eQuator.co.id– JAKARTA – RK. Kasus kakap kembali diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kali ini, dugaan kerugian negaranya mencapai Rp 5,8 triliun dan USD 711 ribu (Rp 9,911 miliar). Lebih besar daripada kerugian dalam kasus kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), yakni Rp 2,3 triliun. Dan korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rp 4,58 triliun.

Hanya, tokoh yang menjadi tersangka dalam kasus kali ini tidak sebeken perkara e-KTP. Di kasus e-KTP, KPK menetapkan Ketua DPR Setya Novanto kala itu. Sementara di perkara baru ini, KPK “hanya” menyeret kepala daerah. Yaitu, Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) Supian Hadi. Dia disangka merugikan negara atas pemberian izin usaha pertambangan (IUP) untuk sejumlah perusahaan.

Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mengatakan, ada tiga perusahaan tambang yang diuntungkan dalam pemberian IUP itu. Yakni, PT Fajar Mentaya Abadi (FMA), PT Billy Indonesia (BI), dan PT Aries Iron Mining (AIM). IUP tersebut diberikan pada saat Supian menjabat bupati periode 2010-2015 atau periode sebelumnya.

”SH mengangkat teman-teman dekatnya yang merupakan tim suksesnya sebagai direktur dan dirut di PT FMA dan masing-masing mendapat jatah 5 persen saham PT FMA,” ungkap Laode dalam keterangan persnya, kemarin (2/2). PT FMA yang bergerak di bidang pertambangan bauksit mulai beroperasi 2011 lalu. Hasil tambang diekspor ke Cina.

Pada akhir bulan November 2011, pemerintah provinsi (pemprov) Kalimantan Tengah (Kalteng) telah mengirimkan surat perintah untuk menghentikan kegiatan PT FMA. Namun, perintah itu tidak dijalankan bupati. Sampai tahun 2014. Dari kegiatan ilegal pertambangan itu lah dugaan korupsi triliunan rupiah menguat.

”Kerugian negara dihitung dari nilai hasil produksi yang diperoleh secara melawan hukum, kerusakan lingkungan dan kerugian kehutanan,” jelas Laode.

Sementara untuk PT BI, KPK menduga kegiatan eksplorasi pertambangan bijih bauksit dilakukan sejak Oktober 2013. PT BI mendapatkan surat keputusan IUP dari bupati tanpa melalui proses lelang wilayah izin usaha pertambangan (WIUP).

Senada dengan PT BI, Supian Hadi juga diduga telah menerbitkan IUP eksplorasi tanpa proses yang benar pada April 2011 lalu kepada PT AIM. Perbuatan itu menimbulkan kerugian dampak lingkungan yang cukup besar. ”Menurut ahli pertambangan diduga menimbulkan kerugian yang dihitung dari hasil produksi,” jelas Laode.

Selain kerugian negara, KPK juga menduga Supian menerima sejumlah hadiah dari pemberian izin-izin tersebut. Diantaranya, mobil Toyota Land Cruisher senilai Rp 710 juta, Hummer H3 Rp 1,35 miliar dan uang tunai sebesar Rp 500 juta. Pemberian itu diduga diterima Supian pada rentang waktu 2010-2015. ”KPK sangat prihatin atas kondisi ini,” imbuh Laode.

Sejauh ini, KPK belum melakukan penahanan terhadap Supian. Politikus PDI Perjuangan itu saat ini masih aktif menjabat sebagai bupati Kotim. Rencananya, KPK bakal memanggil Supian sebagai tersangka sebagai upaya pendalaman penyidikan tersebut. Begitu pula saksi-saksi lain yang relevan dengan perkara kakap tersebut. (Jawa Pos/JPG)