Tiga buah tangki berbahan aluminium kokoh berdiri berdampingan. Alat penampung itu berisi madu dengan kadar air yang berbeda. Melalui tangki tersebut madu diproses hingga mencapai takaran tertentu dan siap dikemas sebelum dipasarkan. Begitulah suasana di Rumah Produksi Madu Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) yang terletak di Kampung Semangit, Dusun Batu Rawan, Desa Nanga Leboyan, Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar.
RIZKA NANDA, SEMANGIT
eQuator.co.id – Rumah produksi itu berfungsi sebagai kantor bagi para pengurus koperasi sekaligus tempat menurunkan kadar air madu dengan listrik tenaga surya. Rumah produksi yang beroperasi saat ini relatif kecil. Namun Millennium Challenge Account (MCA) Indonesia melalui Konsorsium Dian Tama telah mendirikan rumah produksi baru yang lebih besar dan megah tepat di sisi bangunan lama. Rumah produksi itu tinggal menunggu kelengkapan sarana dan prasarananya sebelum beroperasi.
Sabtu (26/1) pagi, tampak tiga orang pengurus bergerak telaten. Mereka mengemas madu yang sebelumnya telah mengalami proses pengendapan selama dua hari di dalam sebuah wadah yang disusun rapi di dalam lemari kaca.
Madu yang telah diendapkan itu akan berkurang kadar airnya dari 28 persen menjadi 21 persen. Selanjutnya, madu tersebut dimasukkan lagi ke dalam tangki. Madu yang telah diolah dikemas ke dalam botol plastik dengan takaran 250 mili dan diberi label.
“Dalam dua sampai tiga hari kami bisa mengemas 250 botol,” kata AM Erwanto, Manager Pengolahan Koperasi Asosiasi Periau Danau Sentarum.
Masyarakat Danau Sentarum menjadikan madu sebagai penghasilan tambahan mereka. Madu yang diolah berasal dari jenis lebah Apis dorsata yang sudah dipanen para periau APDS. Periau adalah sebutan masyarakat setempat untuk para petani madu yang tinggal di bantaran Danau Sentarum. Ada tujuh sub sentra periau yang bekerja di Taman Nasional Danau Sentarum.
“Sebenarnya madu ini hanya pekerjaan sampingan tapi dengan begini hasilnya cukup memuaskan. Bisa dijadikan tabunganlah,” ujar Suharjo, Bendahara Asosiasi Periau Semangit.
Sebelum APDS terbentuk, para periau melakukan pengolahan madu secara individu. Tidak ada pemeriksaan di setiap aktivitas. Seluruh sarang lebah itu diambil habis. Hal ini berdampak negatif pada keberlangsungan hidup lebah. Pasalnya, anak-anak lebah juga hidup di dalam sarang.
Selain itu, para periau juga menggunakan teknik peras tanpa menggunakan sarung tangan untuk memindahkan madu dari sarang ke dalam jeriken. Metode panen seperti itu, menyebabkan harga turun naik secara drastis dan kualitas madu yang tidak terjamin.
“Sebelum ada organisasi, harga hanya Rp10 ribu sampai Rp20 ribu per kilogram. Setelah tahun 2006 baru ada standar mutu. Kondisi ini membuat harga merangkak naik menjadi seratus tiga puluh ribu per kilogram,” tutur Suharjo.
Periau pun mengubah cara panen mereka dengan mengambil madu dari bagian kepala sarangnya saja. Kemudian, menggunakan cara tiris untuk memindahkan madu dari sarang ke dalam jeriken.
Para periau diwajibkan memenuhi standar operasional prosedur (SOP) kerja yang telah disepakati oleh seluruh pengurus APDS. Di antaranya, setiap panen harus berjumlah tiga orang. Satu orang yang mengendalikan speed, tidak boleh memegang madu dan wajib menggunakan sarung tangan untuk menjaga kejernihan madu.
“Jika periau melakukan pelanggaran akan ada sanksi tertulis. Pertama akan dilakukan peneguran, tapi jika masih melanggar akan dikeluarkan dari APDS. Jika sudah dikeluarkan orang sudah tidak percaya lagi dengan kwalitas madunya,” jelas Pria berumur 40 tahun itu.
Perbedaan hasil dari dua metode panen madu itu semakin terlihat. Dampak utama yang dirasakan Suharjo adalah terhadap penghasilan penjualannya. Harga madu dengan cara pengolahan modern tidak akan mengalami naik turun dalam kurun waktu kapanpun.
“Kalau pakai peras, harganya pasti murah. Tapi kalau kita pakai tiris, tergantung kita berapa harganya masih bisa laku. Sekarang, biar pun stok melimpah, tetap bisa kita tampung dan jual dengan harga tetap seratus tiga puluh ribu,” terang Suharjo.
Selain berdampak terhadap penghasilan, cara panen madu modern juga berdampak pada takaran madu yang dihasilkan. Waktu masih menggunakan cara peras, takaran madu yang diperoleh tidak sebanyak ketika menggunakan sistem tiris.
“Sebelumnya dapat 50 kilogram sudah syukur. Setelah ada pendampingan dari APDS, satu orang bisa mendapat 100 kilogram madu,” ungkapnya.
Para periau tidak hanya memanfaatkan sarang madu alami untuk diolah. Mereka juga membuat tikung, salah satu alat berbahan baku kayu jenis tertentu yang dipasang di atas pohon.
Nantinya, tikung yang dipasang itu akan menjadi tempat lebah bersarang secara alamiah dan menghasilkan madu. Tikung dipasang di atas pohon berbunga yang berada di atas danau. Dominannya jenis pohon masung.
“Tikung saya diwariskan secara turun-temurun dari orangtua. Satu tikung paling sedikit bisa menghasilkan dua kilogram,” kata Suharjo.
INTERVENSI TIKUNG
Lebah tak semata-mata mau membuat sarang di tikung yang sudah disediakan. Oleh karenanya, tikung harus dibersihkan dari sarang semut dan daun-daun yang mengganggu.
Suharjo adalah generasi keempat sebagai periau dalam garis keturunan keluarganya. Menurut cerita ibu dan ayahnya, orang jaman dulu mengolah madu menjadi cuka madu, dan dijual dengan harga yang sangat murah.
Senada, Presiden Asosiasi Periau Danau Sentarum Basri Wadi mengaku mulai membuat tikung sejak 1998. Dirinya menjadikan madu sebagai pekerjaan sampingan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
“Madu ini kartu ATM (anjung tunai mandiri) kami. Hasil dari panennya sangat membantu untuk mendukung perekonomian keluarga,” kata dia.
Pria yang akrab disapa Pak Ug ini mengatakan panen tikung dilakukan pada siang hari. Para periau menggunakan akar kayu jabai (beringin) yang disebut tebauk. Kumpulan akar yang sudah dikeringkan itu, dililit dengan rotan. Serat-serat akar kering itu terasa lembut di tangan. Jika disulut dengan api, akan menghasilkan asap tebal. Ini berfungsi mengalihkan perhatian lebah.
“Tebauk banyak dibuat kalau sudah dekat musim panen. Saat panen nanti, harus tiga orang yang ikut. Satu orang mengendarai speed, satu orang membakar tebauk dan mengasap, satunya lagi bertugas mengumpulkan madu dari sarang lebah,” terang pria bersorot mata tajam itu.
Masa bepuar (panen) biasanya jatuh pada bulan September hingga Maret. Namun, para periau Semangit sudah selesai panen pada bulan Desember tahun 2017. Akhirnya yang menempel ditikung adalah bagian sarang yang tersisa bekas panen.
Sarang lebah itu menggantung ditengah-tengah tikung dengan bolongan di bagian atas, itulah tempat kepala sarang yang telah diambil. “Ini sudah dipanen bulan Desember kemarin. Sarang yang tersisa ini akan mengundang lebah untuk bersarang lagi,” katanya.
Untuk sampai ke tempat tikung dipasang, para periau harus melewati danau menggunakan longboat. Tikung milik Pak Ug dipasang dekat dengan kaki bukit Semujan. Setiap tikung akan diberi tanda kepemilikan berupa plang bertuliskan inisial si pemilik. Dari satu tikung ke tikung lainnya akan dibatasi dua hingga tiga pohon.
Kini, para periau berharap fasilitas rumah produksi madu dan ikan yang dibangun Konsorsium Dian Tama dapat segera beroperasi. Kehadiran rumah produksi itu akan sangat membantu para periau dalam mengelola madunya secara berkelanjutan. (*)