Makassar-RK. Nasib mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad berbeda dengan tersangka kasus pemalsuan dokumen kependudukan, Feriyani Lim. Perempuan kelahiran Pontianak, 5 Februari 1986, itu ‘digantung’ Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan dan Barat.
Kajati Sulselbar, Hidayatullah mengatakan, kelanjutan kasus Feriyani masih dikaji. Pihaknya akan berkonsultasi kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) terlebih dahulu. Dia menjelaskan kasus Feriyani tidak dideponering dengan alasan yang bersangkutan orang biasa. Bukan pegiat antikorupsi.
“Bisa saja dilakukan penyelesaian hukum dengan cara yang lain,” jelas Hidayatullah, kepada Fajar (Jawa Pos Group), Jumat (4/3).
Ia menambahkan bahwa Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Makassar, Deddy Suwardy Surachman, sedang berada di Jakarta untuk menyaksikan penyampaian petikan surat Jaksa Agung tentang deponering.
Sementara Samad, setelah kasusnya dideponering oleh Jaksa Agung, maka secara otomatis dianggap berakhir. Namun, tidak ada rehabilitasi nama baik, mengingat kasus tersebut bukannya tanpa bukti. Hidayatullah menyebut, kasus Samad sebenarnya masih terkait dengan Feriyani. Hanya saja, perkara pokoknya berada di Samad.
Seperti pernah diberitakan tahun lalu, Nama Feriyani Lim jadi pembicaraan publik di level nasional setelah Abraham Samad dituduh melakukan tindak pidana pemalsuan dokumen kependudukan. Dia dilaporkan ke Bareskrim Polri awal Januari 2015. Kasus itu kemudian dilimpahkan ke Polda Sulsel.
Samad dituduh membantu Feriyani memalsukan dokumen kependudukan untuk mengurus perpanjangan paspor di Makassar pada 2007. Dia dijadikan tersangka bersama Feriyani. Keduanya dikenakan pasal 263, pasal 264 dan pasal 266 KUHP tentang pemalsuan, dan pasal 93, pasal 94, dan pasal 96 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Sebelum Feriyani hijrah ke Jakarta, dia pernah tinggal di rumah orangtuanya di Gang Suez, Jalan Tanjungpura, No 116, Pontianak Selatan. Februari 2015, Ketua RT setempat membenarkan hal itu. Warga sekitar memanggil Feriyani dengan sapaan Aling.
Meski begitu, disebutkan perempuan yang pernah bersekolah di Gembala Baik itu sudah lama tidak kembali ke Pontianak. Rumahnya kosong.
Orangtua Aling, Ng Chiu Bwe dan Lim Miaw Tian, hanya pulang ke Pontianak jika ada kegiatan keagamaan seperti sembahyang kubur dan Imlek saja. Dulu, ayah Aling pernah buka usaha penjualan Sembako di Ambawang.
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Pontianak menyatakan data Feriyani Lim telah diblokir. Menurut Kepala Disdukcapil kala itu, pemblokiran data tersebut mungkin karena yang bersangkutan sudah mempunyai kartu tanda penduduk pengganti karena telah berpindah kediaman. Nomor induk kependudukan (NIK) yang tercatat di Disdukcapil Kota Pontianak (NIK) 6171011407110007.
Sementara itu, pada kartu keluarga di Makassar, Feriyani Lim mencantumkan nama Ngadiyanto dan Hariyanti sebagai ayah dan ibunya. Sedangkan pada kartu keluarga Feriyani Lim dengan alamat apartemen Kusuma Chandra Tower III/22-K, Senayan, Jakarta Selatan, tercantum nama Ng Chiu Bwe dan Lim Miaw Tian sebagai nama ayah dan ibunya.
DEPONERING SAMAD DIAPRESIASI
Jumat (4 Maret 2016), kuasa hukumnya Samad, Kadir Wokanubun mengapresisasi keputusan Jaksa Agung M. Prasetyo yang melakukan deponering terhadap kasus Samad dan Bambang Widjojanto. Menurutnya, kebijakan itu sejalan dengan instruksi Presiden Joko Widodo.
Kedua, kata dia, deponering memiliki pesan korektif terhadap kinerja kepolisian dalam kasus ini. “Ini mempertegas bahwa kasus ini memang kriminalisasi. Sehingga perlu ada evaluasi internal maupun eksternal terkait kinerja kepolisian dalam kasus ini,” jelas Kadir.
Di sisi lain, semangat Samad untuk memberantas korupsi belum surut. Setelah lepas dari jeratan hukum, dia kembali mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama terlibat dalam tugas mulia itu.
“Entah wartawan, petani atau siapapun, harus bersama-sama memberantas korupsi,” kata Samad ditemui di kantor Kejagung, Jakarta.
Pemberantasan korupsi ini, lanjut dia, bisa dilakukan segala profesi. Samad lantas menyebut wartawan yang bisa mengungkap segala bentuk perbuatan merugikan negara. “Peran ini yang dibutuhkan untuk menghilangkan korupsi di negeri ini,” paparnya.
Dia masih sangat optimis bahwa perilaku korupsi di Indonesia cepat atau lambat akan habis. Semua tinggal menunggu waktu. Sekalipun ada bentuk perlawanan dari koruptor yang juga begitu kuat.
“Mimpi itu harus terus dijaga dan terus melawan,” tutur Samad.
POLISI KECEWA
Terpisah, Polda Sulselbar tidak senang dengan kebijakan Jaksa Agung. Alasannya, mereka telah menggarap kasus sesuai prosedur hukum yang berlaku.
“Kapolri mengatakan penyidik pastinya kecewa dengan deponering itu, kalau Kami (Polda Sulselbar, red) juga merasakan hal yang sama seperti Kapolri. Jelas kami kecewa,” ujar Kepala Bidang Humas Polda Sulselbar, Kombespol Frans Barung Mangera.
Barung melanjutkan, walau pemberian deponering merupakan hak yuridis Jaksa Agung, semestinya harus mempertimbangkan kinerja yang ditempuh pihaknya. Apalagi sudah sesuai prosedur yang berlaku. Pemberian deponering itu dianggap tidak menghargai kinerja Polda Sulselbar. (FAJAR/JPG/M1Q)