eQuator.co.id – Dunia pendidikan memang penting bagi anak-anak Indonesia. Bukan hanya bagi mereka yang sedang di tanah air. Di negara tetangga pun, pendidikan untuk anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) perlu senantisasa diberikan. Seperti di Sarawak, Malaysia.
Namun, mendirikan dan menyelenggarakan pendidikan di negara bagian Sarawak ini bukan perkara mudah. Dalam konteks pendidikan, hal tersebut merupakan hak asasi setiap anak-anak dan telah menjadi kesepakatan internasional.
Untuk itu, membiarkan atau tidak memberikan akses pendidikan kepada anak Indonesia bisa dikatakan kesalahan atau “kejahatan” terhadap anak. Sedangkan berdasarkan data dari Imigrasi Sarawak tercatat sedikitnya 3.600 anak Indonesia usia sekolah yang terpaksa harus ikut orangtuanya bekerja.
Sayangnya, anak-anak TKI sektor perkebunan sawit di Sarawak ini tidak mendapatkan pendidikan formal sebagaimana mestinya. Mengingat tidak adanya akses pendidikan bagi mereka.
Selain tempat tinggal mereka yang jauh di pedalaman perkebunan sawit, mereka juga tidak dapat diterima di sekolah milik pemerintah setempat. Karena regulasi di sana mengatur pekerja asing tidak diperbolehkan membawa keluarga sesuai dengan Ordinan Buruh Nomor 119 Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Kuching.
Maka itu, pemerintah Malaysia memberikan imbauan kepada pemilik perusahaan agar memberikan fasilitas pendidikan sementara kepada anak-anak tersebut.
Imbauan ini pun mendapat sambutan dari beberapa perusahaan. Ada yang menyediakan ruangan khusus untuk ruang belajar mengajar. Ada juga yang membangun gedung khusus untuk studi anak-anak buruh migran.
Setidaknya, saat ini negara bagian Sarawak memiliki 15 wadah untuk belajar mengajar yang disebut Community Learning Center (CLC). Wadah tersebut tersebar di sejumlah perusahaan di daerah Miri dan Bintulu.
Di Sarawak Oil Palm Berhad misalnya yang terdapat 5 CLC, Sime Darby Plantation Sarawak 3 CLC, Sarawak Plantation Development 1 CLC, Wilmar Plantation Sarawak 2 CLC, Tradewinds Plantation Sarawak 3 CLC, serta 1 CLC yang masih dalam tahap pengerjaan.
Dari jumlah tesebut, sedikitnya 805 anak TKI mengenyam pendidikan di tempat itu. Keberadaan CLC sendiri sudah disetujui dan diakui pemerintah Malaysia melalui Menteri Sosial, Wanita dan Pembangunan Wanita yang diberi amanat untuk menangani masalah tersebut di Sarawak.
Persetujuan tersebut berdasarkan Hasil Rapat Kabinet Sarawak pada 26 Februari 2015 dan diumumkan melalui media pada 10 Maret 2015. Garis panduan secara terperinci mengenai mekanisme pendaftaran CLC kepada Kementerian Pendidikan Malaysia telah diberikan secara lengkap dan terperinci.
Jenjang di CLC juga beragam. Mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Dasar (SD), meski ada juga satu dua CLC yang memulai jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Guru yang mengajar di CLC merupakan para buruh migran yang direkrut dengan persyaratan minimal lulusan SMA. Mereka mendapatkan bimbingan dan pelatihan rutin yang diselenggarakan KJRI Kuching.
Begitu juga bangunan sekolah yang difasilitasi perusahaan, masing-masing memiliki kondisi yang berbeda-beda. Ada yang dibangun dengan gedung khusus, ada pula yang memanfaatkan rumah barak para buruh yang disulap menjadi ruang kelas.
Narasi dan Fotografer: Ocsya Ade CP