eQuator.co.id – Pontianak-RK. Sidang lanjutan kasus korupsi pengadaan alat kesehatan (Alkes) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sultan Syarif Mohamad Alkadrie (SSMA) Pontianak Tahun 2012 kembali membongkar fakta baru di Pengadilan Tipikor Pontianak, Selasa (20/3). Jika di sidang yang sama terungkap faktur fiktif Rp6 miliar, kali ini masih dalam pemeriksaan saksi disebut-sebut ada invoice (dokumen tagihan) fiktif sebesar Rp4,2 miliar.
Terbongkarnya invoice fiktif Rp4,2 miliar ini ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan dua orang saksi atas Sumino selaku Direktur PT. Trigels Indonesia dan Iran Purwanto selaku Divisi Manager PT. Medtek. Majelis Hakim pertama kali melakukan pemeriksaan terhadap Sumino. Tidak hanya Majelis Hakim dan JPU, Penasehat hukum terdakwa atas nama Yekti (PPK), Suhadi dan Sugito (pihak ketiga) juga mengajukan sejumlah pertanyaan dalam kasus yang merugikan negara sebesar Rp13 miliar itu.
Sumino mengungkapkan nama Fransiska yang meminta kepada perusahaannya untuk membuat invoice fiktif Rp4,2 miliar kepada PT. Bina Karya Sarana (BKS) selaku pemenang tender. Kemudian uang tersebut dicairkan melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI). Invoice ini fiktif lantaran seolah telah terjadi pembelian Alkes dari PT. BKS ke PT. Trigels Indonesia. Padahal PT. Trigels Indonesia tidak pernah menjual Alkes kepada PT. BKS. “Invoice ini diminta Ibu Fransiska, perusahaan saya membuatkan dan saya tandatangani. Saya melakukan ini, karena berteman dengan Fransiska, tidak ada iming-iming maupun janji mendapat bagian berapa. Saya juga tidak mengetahui para terdakwa dalam persidangan ini,” beber Sumino dalam persidangan.
Mendengar penjelasan itu, ketiga hakim berulang kali menanyakan kepada Sumino, apakah ada atau tidak menikmati hasil invoice fiktif. Pertanyaan yang sama juga diajukan sejumlah penasehat hukum terdakwa. “Tidak ada, setelah masuk ke rekening perusahaan saya, uang itu saya kirim ke PT. BKS dan Fransiska. Tidak ada ke saya,” jawabnya.
Ketika Majelis Hakim menanyakan keberadaan Fransiska kepada JPU, dikatakan, bahwa perempuan tersebut sedang menjadi tahanan Mabes Polri.
Sementara itu, Divisi Manager PT. Medtek, Iran Purwanto dalam kesaksiannya menyebutkan nama PT. Kharisma yang meminta surat dukungan untuk tiga perusahaan, yakni PT. Panda, PT. BKS dan PT. Bina Mitra Medika. Keterangan Iran ini tentu saja menguatkan saksi-saksi sebelumnya.
Dalam penjualan Alkes, PT. Medtek tak langsung kepada pemenang lelang (PT. BKS). Melainkan menjual kepada PT. Kharisma yang harganya sudah mendapat diskon 40 persen. Di mana PT. Kharisma hanya membayar Rp88 juta. Diskon tersebut tidak pernah diberitahukan kepada pihak Pemkot Pontianak dalam hal ini adalah Dinas Kesehatan. Sehingga diduga kuat diskon ini dinikmati oleh PT. Kharisma.
JPU bertanya kepada Iran berkaitan dengan harga yang dijual PT. Kharisma kepada perusahaan pemenang lelang proyek pengadaan dengan harga Rp160 juta. “Iya saya tahu ini dijual kepada perusahaan lain, tapi itu sudah harga dengan diskon 40 persen, kalau dijual dengan harga Rp160 juta, itu kemahalan,” jelas Iran.
Setelah pemeriksaan dua saksi ini berakhir, Majelis Hakim akan melanjutkan persidangan pada 27 Maret mendatang.
Dewi Purwatiningsih selaku penasehat hukum terdakwa Yekti, ketika dijumpai usai persidangan mengatakan, bahwa memang saksi yang dihadirkan tidak ada satu pun yang mengenal dengan para terdakwa dan sebaliknya. Namun saksi mengungkap adanya invoice fiktif dari perusahan PT. Trigels dan permintaan surat dukungan dari PT. Medtek atas pengadaan itu. “Memang iya, jika dilihat sejumlah saksi, mereka menyebutkan nama PT. Kharisma. Seharusnya kalau dilihat dari dakwaan, memang ada aliran dana diterima oleh PT. Kharisma,” ulasnya.
Beberapa Alkes dibeli melalui PT. Kharisma. Kemudian PT. Kharisma mendapatkan diskon dan dinikmati perusahaan itu. “Semua tidak ada pemberitahuan kepada klien kita. Selain itu pula PT. Kharisma juga menjual Alkes kepada pemenang lelang (PT. BKS) atas pengadaan ini,” pungkasnya.
“Keuntungan menjual lebih tinggi oleh PT. Kharisma setelah mendapatkan diskon dari perusahaan tempat membeli Alkes. PT Kharisma ini kepanjangan untuk berkomunikasi dengan perusahaan-perusahaan pendukung,” timpal Dewi.
Ditegaskan Dewi, Fransiska juga harus dihadirkan dalam persidangan berikutnya. Pasalnya, Fransiska selaku orang yang meminta invoice fiktif sebesar Rp4,2 miliar kepada PT. Trigels untuk PT. BKS. Kendati begitu, dalam pengadaan ia menyatakan Fransiska bukan lah siapa-siapa. Melainkan seorang makelar.
Dewi menduga ada orang di balik Fransiska yang menyuruh untuk meminta invoice fiktif Rp4,2 miliar tersebut. Sehingga seolah-olah ada pembelian Alkes dari PT. BKS ke PT. Trigels Indonesia. “Kita belum mengetahui apakah ada kaitan atau tidak Fransiska dengan PT. BKS. Karena belum diperiksa dalam persidangan,” tutur Dewi.
Laporan: Achmad Mundzirin
Editor: Arman Hairiadi