Saksi Ahli: Suatu Perbuatan Pasti Ada Niat

Sidang Dugaan Korupsi Hamka Siregar

SIDANG KORUPSI. Penasehat hukum terdakwa korupsi meubeler Rusunawa IAIN Pontianak, Syarifuddin Nasution memberikan pertanyaan kepada saksi ahli hukum pidana dari Untan Pontianak, Rabu (17/1) di Pengadilan Tipikor Pontianak. Achmad Mundzirin-Rakyat Kalbar

eQuator.co.idPontianak-RK. Sidang lanjutan dugaan tindak pidana korupsi meubeler rusunawa IAIN Pontianak atas terdakwa Hamka Siregar di Pengadilan Tipikor, Penasehat Hukum menghadirkan Dekan Fakultas Hukum Untan Pontianak Dr. Sy Hasyim Azizurrahman, SH, MHum, Rabu (17/1). Saksi ahli ini menyampaikan teori hukum pidana berkaitan dengan kasus tersebut.

Sidang korupsi dengan kerugian negara sebesar Rp520 juta kali ini dipantau langsung oleh Koordinator Komisi Yudisial Kalbar, Budi Dharmawan. Seluruh persidangan direkam menggunakan handcam.

Ketika ditanya Tim Penasehat Hukum Hamka Siregar berkaitan soal pengembalian kerugian negara, apakah masih dapat terjerat tindak pidana dalam kasus korupsi?

Hasyim mengatakan, sesuai UU Tipikor, pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana yang terjadi. Pengembalian tersebut hanya meringankan pelaku. “Tidak menghapus tindak pidana, meringankan saja,” jelasnya.

Dijelaskannya, dalam suatu tindakan pidana atau perbuatan, pasti ada niat. Untuk mengukur niat, maka melihat modus operandinya. “Akan terlihat dari modus operandinya niat dari suatu perbuatan,” ujarnya.

Dalam hukum pidana, ada namanya asas fiksi hukum. Di mana setiap orang yang mengatakan tidak tahu, tetap dianggap mengetahui. Misalkan terjadi satu tindakan pidana, tapi karena ketidaktahuan. “Tetap dianggap tahu, itu lah asas fiksi hukum, apalagi sudah terbit berita acara negara,” katanya.

Dalam suatu tindakan pidana juga dapat dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. Sehingga itu dapat dilihat dari perannya masing-masing.

Di Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, ada perbuatan melawan hukum yang sengaja dan ada kelakuan, sehingga menyebabkan kerugian negara.

Sementara itu, Penasehat Hukum terdakwa, Syarifuddin Nasution menegaskan, bahwa di Perpres Nomor 54 Tahun 2010, jelas PPK wajib meminta persetujuan KPA/PA untuk menetapkan PPHP. Namun kenyataannya, PPK dengan kebijakan sendiri menunjuk sendiri dengan Pokja untuk bentuk PPHP. “Artinya itu sudah melampaui kewenangan PPK. Ini kan kealpaan, identik dengan maladministrasi,” ujarnya. “Apakah ada unsur Tipikornya? tanya Syarifuddin.

Ahli menyarankan dilihat dulu niatnya apakah tidak membentuk PPHP itu untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Kalau memang tidak ada, tidak ada pidananya. Itu jelas maladministrasi. “Maladministrasi masuk pidana? Tidak,” tukas Syarifuddin.

Tak hanya itu, dirinya pun menegaskan, bahwa kliennya tidak ada unsur melawan hukum. “Tipikor tidak ada. Hanya maladministrasi,” pungkasnya.

Penasehat Hukum terdakwa lainnya, Maskun menambahkan, soal menekankan modus operandi. Perkara-perkara sebelumnya PPK, Pokja termasuk penyedia jasa sudah dipidana. “Modus operandi mereka sudah terbukti dan dipidana dalam merugikan keuangan negara. Tidak ada hubungan PA dan KPA,” ulas Maskun.

JPU Juliantoro menuturkan, sesuai dengan yang dikatakan ahli bahwa sengaja itu erat kaitannya dengan niat. Maka kesengajaan dilihat dari banyak faktor dan kualifikasinya. “Misalkan seperti sengaja sebagai kepastian, sengaja sebagai kemungkinan terjadi dan sengaja sebagai tujuan. Nanti tinggal kita simpulkan dituntutan kita bahwa terdakwa ini tuntutannya apa,” paparnya.

Kalau sekarang mereka berdalih ketidaktahuan atau kealpaan terhadap kewajiban dia, itu bukan alasan. Seperti teori fiksi hukum yang dinyatakan ahli, bahwa setiap orang dianggap tahu undang-undang, sepanjang sudah diundangkan dan diumumkan dalam lembaran negara (berita acara negara). “Artinya apa? Nggak ada alasan untuk tidak tahu bahwa aturannya ada atau sudah dibuat,” tegasnya.

Ditambahkan Juliantoro, dilihat dari sosok Hamka Siregar, seharusnya ketika mendapat SK sebagai KPA atau PA, dia patut mempelajari apa yang jadi hak dan kewajibannya. “Adanya penyalahgunaan wewenang atau tidak itu dilihat dari adanya kewajiban. Kalau itu suatu kewajiban bukan hak, itu harus dilaksanakan. Tidak ada cerita tidak dilaksanakan,” pungkas Kasipidsus Kejari Pontianak ini.

 

Laporan:Achmad Mundzirin

Editor: Arman Hairiadi