eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Wajah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise semringah. Kedua matanya berkaca-kaca usai keluar dari ruang Rapat Paripurna di Komplek Parlemen Senayan kemarin (16/9).
Dia bahagia setelah DPR RI mengesahkan revisi Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dengan begitu, pria dan perempuan boleh menikah bila sudah mencapai usia 19 tahun.
”Rasa sedih bercampur bahagia. Saya pengin menangis. Ini adalah kado bagi anak-anak Indonesia yang pernah janjikan saat peringatan Hari Anak Nasional, 23 Juli lalu di Makassar,” ucap Yohana sambil sesekali mengusap matanya.
Menurut dia, meningkatkan usia perkawinan memberi banyak keuntungan. Mulai menurunkan angka kematian ibu dan anak, menekan angka putus sekolah, mengurangi angka perceraian, dan mengoptimalkan pemenuhan hak anak. Khususnya perempuan. Mereka memiliki risiko lebih besar.
Kehamilan di usia muda juga sangat rentan bagi sang ibu maupun si jabang bayi. Secara fisiologi, kondisi rahim belum matang. Bentuk pinggul masih kecil yang berpengaruh terhadap proses melahirkan.
”Makanya risiko kematian ibu usia muda lebih besar. Sedangkan, bayi yang dilahirkan rentan mengalami stunting,” kata Yohana. Perempuan yang sudah menikah dan hamil biasanya juga tidak melanjutkan sekolahnya.
Dari sisi ekonomi, akan muncul pekerja anak. Mereka harus bekerja meski dengan ijazah, ketrampilan, dan kemampuan yang rendah demi menafkahi keluarga. Praktis, upah yang didapat juga sedikit. Akibatnya keluarga tidak sejahtera, kemudian cerai. Makanya, Yohan menyebut dengan tegas bahwa perkawinan anak adalah kekerasan sekaligus bentuk pelanggaran hak anak dan hak asasi manusia.
Data Badan Pusat Statistik 2017 menunjukkan 25,2 persen dari jumlah anak perempuan usia di bawah 18 tahun sudah menikah. ”Artinya, satu dari empat anak perempuan menikah pada usia anak,” terangnya. Kondisi tersebut tentu sangat mengkhawatirkan.
Lantas, bagaimana jika terjadi hamil di luar nikah atau married by accident (MBA) pada anak di bawah 18 tahun? Yohana menuturkan, dalam revisi UU Nomor 1 Tahun 2017 menyebut orang tua dari salah satu atau dua pihak dapat mengajukan permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam atau Pengadilan Negeri bagi lainnya. Dengan alasan, memang keduanya terpaksa harus dikawinkan.
Pengadilan Agama/Negeri wajib mendengarkan pendapat kedua belah pihak. Juga, didukung dengan bukti-bukti yang cukup. Seperti, surat keterangan yang membuktikan bahwa usia kedua mempelai di bawah ketentuan undang-undang.
”Dan surat keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan,” jelas menteri kelahiran Manokwari, 60 tahun lalu itu.
Sementara itu, Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin merespons ketentuan baru batas usia minimal pernikahan. Dari semula 16 tahun, kini menjadi 19 tahun.
“Artinya pasangan muda kita yang akan menikah, bisa lebih matang dari sisi usia,” katanya di komplek DPR kemarin.
Lukman menuturkan dengan usia minimal pernikahan yang ditetapkan 19 tahun, diharapkan calon mempelai bisa lebih dewasa. Sehingga persiapan untuk membina keluarga bisa lebih baik lagi. Dia menegaskan membangun keluarga bukan perkara sederhana. Selain butuh kematangan fisik, juga mental.
Lukman menampik jika menambah usia minimal nikah bakal menyuburkan praktik nikah siri atau kumpul kebo. “Dua hal berbeda. Jangan disimpulkan seakan-akan menunda usia pernikahan itu melegalisasi kebebasan atau praktik seperti kumpul kebo,” katanya. Dia menegaskan bahwa menambah usia minimal pernikahan semata untuk menyiapkan pasangan muda supaya lebih memiliki persiapan.
Politisi PPP itu juga mengatakan selalu kementerian yang membidangi urusan pencatatan pernikahan, sudah siap jalankan amanah undang-undang. Nantinya seluruh kantor urusan agama (KUA) akan diberi sosialisasi untuk pelaksanaan ketentuan baru batas usia minimal pernikahan itu. Meski begitu sampai sekarang Kemenag belum menyurati KUA di seluruh Indonesia. (Jawa Pos/JPG)