eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Judicial review (JR) terhadap Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan akhirnya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah menggugurkan norma yang menyebutkan batas usia 16 tahun untuk perempuan yang hendak menikah. Namun, MK menyerahkan kepada DPR untuk menetapkan batas minimal usia pernikahan.
Dalam putusannya, MK menyebutkan Pasal 7 ayat (1) yang menyebutkan batas usia 16 tahun untuk perempuan dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. “Dan tidak mempunyai hukum mengikat,” terang Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan uji materi kemarin (13/12.
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perubahan oleh pembentuk undang-undang. Sebelumnya, Pasal 7 ayat (1) menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Selain bertentangan dengan UUD, pasal itu juga dinilai bertabrakan dengan UU Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Jadi, siapa pun yang masih berumur di bawah 18 tahun masih dikategorikan sebagai anak-anak.
Anggota Majelis Hakim I Dewa Gede Palguna menyatakan, perkawinan anak sangat berdampak negatif, terutama pada sisi kesehatan. Peluang eksploitasi dan ancaman kekerasan kepada anak juga lebih tinggi. Perkawinan anak juga akan berdampak buruk bagi pendidikan anak tu.
Merujuk pada ketentuan Pasal 31 UUD 1945 yang menjelaskan, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dasar 12 tahun. “Maka, ketika seorang perempuan menikah pada usia 16 tahun, mereka akan kehilangan hak pendidikan dasar 12 tahun,” kata Palguna. Padahal, pendidikan merupakan hak konstitusional yang harusnya bisa dirasakan baik laki-laki maupun perempuan.
Setelah batas usia 16 tahun digugurkan, lalu berapa usia bagi perempuan yang boleh menikah? Dalam putusannya, MK tidak menetapkan batas minimal usia pernikahan. MK memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan undang-undang dalam jangka waktu tiga tahun. “Khususnya berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan,” terang Palguna.
Jubir MK Fajar Laksono mengatakan, tengat waktu tiga tahun untuk melakukan revisi undang-undang merupakan angka yang moderat bagi pembentukan UU. Selama menunggu perubahan aturan, MK memutuskan bahwa aturan yang ada masih tetap berlaku. Jadi, tidak sampai ada kekosongan hukum. “Kalau tidak ada perubahan setelah 3 tahun, usia perkawinan harus diharmonisasikan dengan usia anak dalam UU Perlindungan Anak,” terang dia.
Kenapa MK tidak menentukan batas 18 tahun usia pernikahan? Fajar mengatakan, jika MK menetapkan usia 18 tahun, maka akan mengunci pembentukan UU. Sampai kapan pun, kata dia, pembentuk UU tidak bisa mengubah ketentuan usia perkawinan. Menurut dia, menentukan batas minimal usia itu fleksibel menyesuaikan perkembangan zaman. Sekarang misalnya 18 tahun, tapi mungkin 5 – 10 tahun lagi berubah. Dengan tidak ditetapkan batas usia oleh MK, pembentuk UU bisa lebih fleksibel.
Rasminah, salah satu pemohon mengatakan, pihaknya mengapresiasi putusan MK. Namun, kata dia, yang menjadi persoalan kenapa harus menunggu tiga tahun untuk melakukan perubahan UU dan menetapkan batas minimal usia perwakinan. “Kenapa MK serahkan ke DPR, padahal MK sendiri bisa memutuskan,” ucap dia saat ditemui usai sidang.
Jika diserahkan ke DPR, maka prosesnya akan sangat panjang. Tentu dia berharap waktu perubahan UU bisa dipersingkat, sehingga tidak sampai tiga tahun. Menurut dia, Indonesia sudah darurat perkawinan anak, sehingga aturan harus secepatnya diubah dan disahkan. Kasus anak yang identitasnya dipalsukan untuk menikah semakin marak. Hal itu berdampak buruk bagi anak-anak. “Saya merupakan korban perkawinan anak. Saya menikah usia kelas dua SMP,” terang dia.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mengatakan, masa tiga tgahun merupakan ketidakpastian perlindungan hak anak. “Kami khawatir, tiga tahun itu masa tunggu yang lama,” papar dia. Ia pun mendesak agar pemerintah dan DPR segera melakukan revisi regulasi.
Menurut dia, Indonesia sudah masuk darurat perkawinan anak. Presiden bisa mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang (Perppu). Sebab, sudah ada unsur kegentingan memaksa sebagai alasan konstitusional untuk menerbtikan perppu. Pihaknya akan mendorong presiden menerbitkan aturan yang memaksa itu. Perppu harus dikeluarkan ketika situasi genting.
Anggota DPR RI Nihayatul Wafiroh mengatakan, pihaknya sangat sepakat dengan putusan MK. Sudah saatnya UU itu diubah. “UU itu sudah lama, tahun 74 saya belum lahir,” terang dia saat ditemui di gedung DPR kemarin. Apa yang disampaikan MK sangat tepat bahwa jika mereka nikah dalam usia 16 tahun, maka mereka tidak bisa menyelesaikan pendidikan.
Menurut dia, perkawinan dini menyebabkan menyumbangkan angka kematian bati. Di mana angka pernikahan dini tinggi, maka di situ angka kematian bayi juga tinggi. Sebab, perempuan yang menikah di usia dini belum siap mengurus anak dan rumah tangga. Dari segi fisik, mereka sudah siap, tapi dari sisi lain mereka belum siap. Misalnya, dari segi psikologis dan mental.
Politikus PKB itu mengatakan, putusan MK itu akan mendorong DPR untuk segera melakukan perubahan UU. Bisa saja revisi UU dibahas mulai tahun depan setelah Pemilu 2019. Dia mengusulkan agar batas usia minimal untuk menikah adalah 20 tahun. “Baik perempuan maupun laki-laki. Keduanya harus sama-sama dewasa,” perempuan asal Banyuwangi itu.
Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag Muhammadiyah Amin menyampaikan pendapatanya terkait putusan MK tentang usia nikah. Dia menuturkan akan menjalankan regulasi yang berlaku. Dia mengatakan nantinya seluruh Kantor Urusan Agama (KUA) juga ikut menjalankan regulasi baru. Namun dia menegaskan aturan baru tentu masih harus dibahas bersama antara pemerintah dengan DPR.
Jika nanti regulasi baru sudah keluar, Amin mengatakan akan segera menyurati seluruh KUA. Supaya menjalankan regulasi baru. Sampai sekarang Amin mengatakan belum ada patokan baru usia minimal menikah yang diusulkan Kemenag. Dia hanya menyebutkan bahwa usia menikah seperti Rasulullah yang dilakukan pada umur 25 tahun sudah cukup ideal.
Amin lantas mengatakan dari segi usia nikah, semakin matang maka lebih baik. ’’Dalam arti bahwa kematangan itu ditunjukkan juga oleh usia,’’ jelasnya. Dia mengatakan bahwa usia perkawinan ikut memengaruhi tingkat perceraian. Sebab pada pernikahan usia dini, ada kecenderungan belum siap dalam membina keluarga.
Dia menuturkan untuk mencegah tingkat percerian yang tinggi, sejak tahun lalu Kemenag mengeluarkan panduan bagi para calon pengantin. Diharapkan para calon pengantin lebih siap dalam membina keluarga. (Jawa Pos/JPG)