eQuator.co.id-Sanggau. Wabah rabies semakin membuat pemerintah daerah pusing tujuh keliling. Epidemi ini pun akhirnya memantik Pemerintah Provinsi Kalbar untuk mengumumkan status tanggap darurat.
Daerah yang paling banyak ditemukan kasus rabies adalah Kabupaten Sanggau. Pemerintah setempat berusaha menekan penyebaran penyakit infeksi akut pada susunan saraf itu dengan menetapkan level Kejadian Luar Biasa (KLB).
Dinas Kesehatan (Dinkes) Sanggau mencatat, terjadi 620 kasus rabies selama 2017. Artinya, jika dirata-ratakan, terdapat 88 kasus perbulan. Sembilan diantara korban gigitan hewan penyebar rabies ini telah meninggal dunia.
“Saya sudah minta kepada masyarakat, ini sudah darurat, tolong jangan main-main lagi dengan anjing, targetnya (basmi rabies,red) harus tuntas,” tegas Bupati Sanggau, Poulus Hadi, ditemui usai rapat paripurna, di gedung DPRD Sanggau, Senin (31/7).
Instruksi tersebut dilontarkan kepada Dinas Perkebunan dan Peternakan, serta Dinas Kesehatan Kabupaten Sanggau. “Terutama vaksin (untuk) anjing itu, kedua harus terkawal yang sudah tergigit itu,” tukasnya.
Poulus merasa ada kejanggalan di balik wabah ini. “Kok fenomenanya agak berbeda ini, sudah disuntik kok masih ada,” sebut dia.
Pria yang akan kembali mengikuti Pilkada Sanggau 2018 ini menyatakan kendala yang dihadapi pemerintah menangani epidemi tersebut. Salah satunya personel di lapangan yang minim.
“Yang nyuntik anjing itu, kita (Pemkab Sanggau) tidak banyak, kita sudah minta supaya ini dibantu dengan kabupaten lain, atau dari pemerintah provinsi,” jelas Poulus.
Kemudian, ia meminta masyarakat lebih proaktif. Artinya, para pemilik harus rela anjing atau hewan yang berpotensi menyebarkan virus tersebut disuntik.
“Jangan ndak mau anjingnya disuntik, petugas-petugas kan sudah berusaha datang. Kita ndak tahu, kalau dia sembunyikan, ada fenomena itu (tak mau anjingnya disuntik),” pungkasnya.
MINTA SOSIALISASI LEBIH SERIUS
Senada, Ketua Komisi D DPRD Sanggau, Robby Sugianto. Ia juga sangat khawatir dengan kasus rabies yang telah mencapai 620 buah sepanjang 2017. Bahkan, ia mengaku orangtuanya sempat terinfeksi virus tersebut.
“Maksud saya, dua dinas ini (Dinas Perkebunan dan Peternakan, Dinas Kesehatan) bekerja maksimal. Khususnya untuk Dinas Perkebunan dan Peternakan, sudah sampai mana mereka mendata hewan-hewan yang berpotensi menyebar virus tersebut?” tanya Robby.
Imbuh dia, “Apakah sudah maksimal mengecek, kemudian bagaimana kerja sama dengan pihak desa untuk mengimbau masyarakat desa, terutama yang memiliki hewan peliharaan untuk segera melapor”.
Sembilan orang yang telah tewas gara-gara rabies, dikatakannya, merupakan bukti persoalan ini tak bisa dipandang remeh. “Jangan nanti kalau sudah terjadi dengan keluarga kita, baru kita sibuk.
Nah ini, kasus ini sudah ada. Bukan hanya di kabupaten kita, ada juga di beberapa kabupaten lain,” tutur Robby.
Ia juga meminta petugas dari Pemkab Sanggau melakukan sosialisasi lebih serius. Pasalnya, tak semua masyarakat langsung bisa memahami dan menerima dengan baik pemaparan para petugas. Belum lagi, ada beberapa desa yang tak dapat layanan sinyal seluler maupun listrik.
“Modenya (sosialisasi) terus-menerus, jangan kalau sudah kejadian seperti orang kelabakan. Jadi harus dipetakan, wilayah mana yang banyak anjingnya, wilayah mana yang masih jauh dari pusat pelayanan kesehatan masyarakat,” paparnya.
Tak kalah pentingnya, lanjut dia, pendistibusian vaksin-vaksin tersebut. “Karena waktu kasus bapak saya, seharusnya yang vaksin untuk ayah saya itu untuk orang lain, cuma karena waktu itu saya desak, makanya diberikan karena orang yang bersangkutan tak datang,” ungkap Robby.
Ia menduga, bukan tidak mungkin masih ada kasus-kasus yang belum terlaporkan. “Kita harus sedia payung sebelum hujan,” tutupnya.
HAPUS SANKSI ADAT PEMUSNAHAN ANJING DAN HEWAN BERBAHAYA
Soal sosialisasi yang kurang kencang ini, Ketua Komisi B DPRD Sanggau, Jana, sepakat dengan Robby. Ia menanggapi pernyataan Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Sanggau, Sarimin, yang menyebut korban rabies yang meninggal kebanyakan karena lambat melapor.
“Kadang-kadang masyarakat ini kan tidak tahu kemana mau melapor, tapi kalau petugas-petugasnya ada, merekalah yang harusnya melaporkan ke tingkat kecamatan hingga kabupaten. Harapan kita hal-hal seperti ini harus disosialisasikan ke tingkat masyarakat yang paling bawah,” tegasnya.
Selain pemberian vaksin pada hewan, lanjut dia, harus pula dilihat apakah hewan yang ada berpotensi menyebar rabies atau tidak. “Kalau memang membahayakan, ya harus ditindak, masyarakatnya diberi pemahaman, anjingnya itu dimusnahkan,” terang Jana.
Sebagai Ketua Umum Majelis Tertinggi Adat dan Budaya Sub Suku Dayak Desa (Khusus Meliau, Toba, dan Ketapang), ia menyatakan telah mengambil kesepakatan dengan para pengurus adat, bahwa memusnahkan binatang yang membahayakan tak akan dikenai sanksi adat. “Kita perintahkan masyarakat, kalau ada anjing atau binatang berbahaya, silakan dimusnahkan. Tidak ada sanksi adatnya, karena ini berdampak pada yang lain, dan berbahaya bagi yang memelihara,” bebernya.
Hanya saja, sebelum pemusnahan, harus ada komunikasi antara petugas dan masyarakat maupun para pengurus adat. Di sisi ini, Jana sangat menginginkan Dinas Perkebunan dan Peternakan bisa bersosialisasi hingga ke masyarakat bekerja sama dengan ketemenggungan, kepala adat, domo, dan kepala desa.
“Beri motivasi dan keterangan dan penjelasan tentang hal-hal begini. Saya juga, karena sudah diberi kepercayaan dari masyarakat bertanggung jawab terhadap hal ini,” tukasnya.
Karena itu, ia berjanji menggelar rapat dengan Dinas Perkebunan dan Peternakan, terkait sebaran wabah ini. “Rencananya tanggal 7 atau 8 (Agustus 2017). Jangan sampai lebih banyak korban berikutnya, (jumlah kasus) ini sudah termasuk tinggi,” demikian Jana.
LATIH VAKSINATOR MALAYSIA
Menjawab permintaan Bupati Poulus Hadi, Dinas Pangan Peternakan dan Kesehatan Hewan Kalimantan Barat menetapkan status tanggap darurat rabies. “Dengan status itu maka penanganannya bisa menggunakan dana tanggap darurat yang ada di APBD,” tutur Kepala Dinas Pangan Peternakan dan Kesehatan Hewan Kalbar, Abdul Manaf, Senin (31/7).
Manaf mendorong pemerintah kabupaten yang daerahnya terserang wabah rabies menetapkan status serupa, agar mendapat bantuan dana dalam penanganan wabah ini. Kata dia, bantuan juga bakal segera datang dari pemerintah pusat. Selain vaksin, Jakarta pun siap menggelontorkan dana untuk operasional penanganan, contohnya membayar tenaga vaksinator.
Hanya saja, ia melanjutkan, untuk mendapat bantuan dana itu, daerah yang kasus rabiesnya mencuat dan sudah tanggap darurat diminta untuk ikut menyampaikan permohonan kepada pemerintah pusat. “Pemerintah siap membantu, dengan catatan menyampaikan surat dari gubernur kepada Menteri Pertanian untuk penetapan status wabah, ini (status tanggap darurat Kalbar) sudah kami naikkan ke Kementerian Pertanian, semoga segera diproses,” harap Manaf.
Tak cukup itu saja, mengatasi rabies ini, Indonesia menjalin kerja sama dengan Malaysia. Salah satu kesepakatan yang diambil adalah vaksinasi wilayah perbatasan, dengan jarak 30-50 kilometer dari batas dua negara.
Kerja sama dengan Malaysia ini dilakukan dengan segera memberikan pelatihan bagi tenaga vaksinator dua negara. Setelah itu, tenaga vaksinator tersebut dikirim ke wilayah perbatasan untuk melakukan vaksinasi hewan penular rabies.
“Ada dua daerah yang segera kita lakukan vaksinasi, Bengkayang dan Sanggau,” tuturnya.
Ia berharap, kerja sama tersebut bisa segera diimplementasikan. “Harapannya, Agustus ini sudah bisa jalan, dari vaksinasi hingga pelatihan sumber daya mereka (Malaysia) di Kalimantan Barat,” tandas Manaf.
Laporan: Kiram Akbar, Rizka Nanda
Editor: Mohamad iQbaL