Raih Predikat Peneliti Cilik Terunggul Nasional

Tanah Manfaatkan Limbah Kelapa Sawit

SCIENTIST MUDA DAN PEMBIMBINGNYA. Dari kiri. Margareta Lowe (Kepala SMPN 01 Sanggau), Idelle Ariqa, Dustin Raka Widiananta Aslam, dan Wiwin Asriningrum, menunjukkan piala dan piagam yang berhasil diraih pada ajang Kalbe Junior Scientist Award 2017 pada 10-16 Oktober di Jakarta, Selasa (17/10)---Kiram Akbar-RK

eQuator.co.idSanggau-RK. Luar biasa! Kabupaten Sanggau seperti tak henti-hentinya menelurkan siswa-siswi berprestasi, bahkan hingga tingkat nasional. Terbaru, dua pelajar SMPN 01 Sanggau, Idelle Ariqa, Dustin Raka Widiananta Aslam, berhasil menyabet predikat Peneliti Cilik Terunggul tingkat nasional dalam ajang Kalbe Junior Scientist Award 2017, 10-16 Oktober, di Jakarta.

Mereka berhasil menemukan formula sederhana untuk meningkatkan kesuburan tanah dengan memanfaatkan limbah kelapa sawit. Abu hasil pembakaran CPO (abu boiler) yang kerap dibuang berhasil disulap menjadi campuran penyubur lahan.

“Sudah dilakukan ujicoba, kalau tanah Podsolid Merah Kuning (PMK) saja dengan abu boiler tanamannya (daunnya) menjadi keriting. PMK itu tanah yang sangat tidak subur. Karakteristiknya itu kemerah-merahan, kekuning-kuningan, berlempung, dan berpasir. Kemudian unsur haranya sangat rendah, PH-nya rendah, peyerapan tingkat kesuburannya sangat rendah sekali,” kata Wiwin Asriningrum, S.Pd, guru pembimbing kedua peneliti cilik itu, Selasa (17/10).

Ia menyebut, hampir 50 persen tanah di Kalbar, khususnya di Kabupaten Sanggau bertipe PMK itu. Tanah dengan karakteristik ini hanya cocok ditanamai ‘tanaman keras’ seperti karet dan sawit. Itu mengakibatkan harga sayuran di Kabupaten Sanggau, khususnya, sangat tinggi.

“Media tanam ini kita temukan dengan perlakuan-perlakuan khusus, sehingga dengan campuran dari abu boiler, dan tandan kosong kelapa sawit, atau kita menyebutnya acakesa. Aplikasi campuran abu boiler dan tandan kosong kelapa sawit, yang diperlakukan khusus dengan campuran tertentu sehingga pas di tanah itu. Ketika dijadikan media tanam, tidak perlu menggunakan media tanah bakar. Nah ini meminimalisir harga,” bebernya.

Wiwin, sapaan akrabnya, menyebut dalam ajang prestisius itu, tak kurang dari 1103 karya dari 26 provinsi se-Indonesia yang dikirim ke panitia. Kemudian dipilih 18 karya sebagi finalis. Ada tiga kategori yang diperebutkan; terbaik, terunggul, terbaik dan terunggul.

Yang lebih membanggakan, bahwa siswa yang dibimbingnya merupakan perwakilan satu-satunya dari Kalimantan. “Jurinya dari LIPI dua orang, kemudian dari UGM, UI, satu lagi psikolog,” ungkap Wiwin.

Ia mengaku, prestasi yang diperoleh tersebut, bukan hasil instan. Ada proses yang cukup panjang yang harus dilalui.

“Kita melakukan penelitian itu sejak Janurai 2016. Setelah lima bulan baru kita temukan fomula yang pas, karena ujicobanya harus ada perlakuan satu, dua, tiga, dan gagal. Sekitar lima bulan itu bisa tumbuh dengan baik, hampir sama ketika menggunakan pupuk kimia. Cuma pupuk kimia itu kan tanah semakin lama semakin rusak, karena tanah itu seperti dipaksakan,” terangnya.

Harga sayur yang relatif mahal di Kabupaten Sanggau menjadi inspirasi baginya dan anak-anak didiknya untuk melakukan inovasi. “Jadi, saya dengan anak-anak harus berfikir kita harus menciptakan media tanam dengan memanfaatkan limbah pabrik yang terbuang. Kami bebas mengambil abu limbah pabrik. Abunya itu dari kuali besar yang dipanggang menghasilkan CPO. Nah abunya itu yang kita ambil,” papar Wiwin.

Ia menduga hasil penelitian itu terpilih menjadi yang terunggul lantaran pas dengan tema yang diusung panitia, yaitu Inovasi Hijau untuk Bumi Lestari. “Karya kita mungkin pas dengan temanya itu. saya juga tidak berpikiran ke sana. Yang rata-rata menang itu recycle, dan aplikatif sekali di masyarakat dan sangat dimanfaatkan,” pungkasnya.

Kepada Rakyat Kalbar, Idelle Ariqa dan Dustin Raka Widiananta Aslam, menyatakan sempat nervous (tegang) ketika harus mempresentasikan hasil penelitian tersebut. Sebab, para juri yang dihadirkan bukan orang-orang sembarangan. Hampir semua bertitel profesor di bidangnya masing-masing.

“Cuma pas presentasi terbawa suasana, jurinya juga baik,” tutur Idelle, Selasa (17/10). Ia mengaku sekitar sebulan mempersiapkan bahan dan cara presentasi itu.

Tegang plus kikuk juga dialami Dustin Raka Widiananta Aslam. Siswa kelas VIII ini tak pernah terbayang bakal masuk final, terlebih tingkat nasional. Karena telah dipersiapkan dengan baik, ia bersama Idelle akhirnya meredam rasa nervous itu.

“Lumayan tegang, karena pertama kali di tingkat nasional,” ungkap remaja yang mengidolakan sosok ilmuwan Issac Newton ini.

Pelajar cerdas ini berharap prestasi tersebut bukanlah akhir. Harus ada inovasi-inovasi yang lebih baik lagi ke depannya.

WIWIN GURU YANG “GILA”

Keberhasilan pelajar SMPN 01 Sanggau menyabet predikat Peneliti Cilik Terunggul tingkat nasional dalam ajang Kalbe Junior Scientist Award 2017 di Jakarta, tak lepas dari tangan dingin Wiwin Asriningrum. Hal itu diakui sendiri oleh Kepala SMPN 01 Sanggau, Margareta Lowe.

Ia bersyukur memiliki sosok Wiwin di sekolah yang dipimpinnya. “Kebetulan gurunya juga “gila”, gila meneliti. Kadang-kadang judul apa lagi, misalnya daun-daun ini dibuat apa lagi. Kita sudah planning akan ada penelitian apa, kita sudah ada. Jadi tidak dadakan,” ujarnya, Selasa (17/10).

Ia mengaku hampir tiap tahun sekolahnya meraih prestasi. “Tahun lalu di Jakarta juga, dengan event dan orang yang berbeda. Jadi browsing dulu di internet, jadi kita cari dulu masalahnya apa, dan apa yang mau diangkat, baru kita cari anaknya yang akan bertanding,” beber Margareta.

Imbuh dia, “Kita latih mereka, terutama untuk presentasi. Karena mereka akan berhadarapan dengan juri, dan guru pendamping tidak ikut”.

Margareta berharap, setiap tahun paling tidak sekolahnya bisa mewakili Sanggau dalam berbagai ajang. Namun, capaian anak didiknya kali ini benar-benar membuatnya bangga bukan buatan.

“Ini prestasinya luar biasa, di akademik juga (kedua penelitik cilik) ini luar biasa,” ungkapnya.

Hanya saja, ia mengaku, persoalan klasik keterbatasan dana kerap menjadi kendala. “Kadang-kadang keterbatasan juga, uang BOS itu terbatas. Kalau sudah dibiayai negara kami tidak boleh lagi gunakan BOS, akhirnya pas-pasan,” tukasnya.

Persoalan dana yang pas-pasan ini juga sempat menjadi kendala ketika mengikuti event di tingkat nasional. “Kami membuat batako dari abu boiler, tidak tembus ke final karena tidak ada uji lab. Kami sudah bawa ke lab Untan (Universitas Tanjungpura), karena satu sample biasanya Rp800 ribu,” jelas Margareta.

Beruntung, karena membawa nama sekolah, biayanya tak sampai segitu. “Ada dukungan juga dari Untan. Kita kalah di Nasional karena tidak ada uji labnya. Tapi sekarang, kalau mau uji lab dari sekolah untuk penelitian, sudah ada diskon dari Untan,” terangnya.

Laporan: Kiram Akbar

Editor: Mohamad iQbaL