eQuator.co.id – Band yang merupakan aset Kota Jogjakarta, Endank Soekamti, merilis album Soekamti Day pada 16 Februari lalu. Mereka punya kebiasaan khusus dalam penggarapan album-albumnya. Seperti apa?
’’KAMI menggarapnya di Pulau Gili Sudak di Lombok, dari nol,’’ ujar Erix, sang vokalis, saat berkunjung ke redaksi Jawa Pos di Graha Pena Jakarta. Selama sebulan, pada pertengahan tahun lalu, mereka dikarantina. Tujuannya, fokus menghasilkan album.
’’Sudah jadi kebiasaan kami, setiap rekaman pasti dikarantina. Tapi, sebelum-sebelumnya di studio,’’ tutur pria 35 tahun tersebut. Erix menuturkan, Endank Soekamti bukan model band yang mengumpulkan lagu satu demi satu untuk dijadikan album. Bagi mereka, hal itu akan menghasilkan output yang kurang ’’senada’’.
Mereka menginginkan suasana yang berbeda. Terpikir untuk merekam album dengan ambience outdoor sambil liburan. Gili Sudak dipilih karena lokasinya masih tenang, sangat membantu dalam proses kreatif. Hasilnya, 17 lagu menggambarkan apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan saat itu. Rekamannya dilakukan di mana saja, di setiap sudut pulau.
’’Pertama sampai, merasakan seru-serunya liburan, bikin lagu Liburan,’’ ungkap Erix. Kemudian, di hari terakhir, saat akan meninggalkan pulau dan masyarakat di Gili Sudak, tercipta lagu Sampai Jumpa yang akhirnya justru menjadi single pertama dari album tersebut. ’’Padahal, alat-alat sudah di-packing. Jadi, lagu itu direkam dengan alat seadanya,’’ lanjut ayah dua anak tersebut.
Yang tidak kalah menarik, klip Sampai Jumpa dibuat dalam format video lirik yang dibawakan dalam bahasa isyarat sehingga bisa dinikmati pula oleh penyandang tunarungu. Soekamti Day dirilis dalam bentuk boxset berisi CD album, DVD behind the scene, komik, T-shirt, serta dilengkapi sertifikat dan gelang kepemilikan dengan nomor seri dan nama pembeli. Merilis boxset dilakukan sejak album Angka 8 pada 2012. Dari jumlah 5.000 boxset, pekan lalu hanya tersisa 800 yang belum dipesan.
Endank Soekamti memiliki prinsip mandiri dalam bekerja, merdeka dalam berkarya. Erix, Ari, dan Dory berharap hal itu bisa ’’menular’’ ke band-band lainnya. ’’Hakikat kreator atau pekerja seni adalah kemandirian dan kemerdekaan,’’ papar Erix.
Ide serta konsep kreatif mengalir deras di kepala mereka, terutama sejak memutuskan mandiri dari label. ’’Kami sangat mengerti kebutuhan kami as a band,’’ jelasnya. Lahirlah Euforia Records, label yang menaungi Endank Soekamti, kemudian Euforia Digital yang mengelola distribusi, Euforia Audiovisual untuk memenuhi kebutuhan dokumentasi band dan produksi klip maupun film, serta Euforia Pustaka yang mewadahi karya-karya Kamtis Family (sebutan penggemar mereka) yang memiliki talenta membuat komik, serial, atau buku. ’’Sekali lagi, semua berasal dari kebutuhan,’’ lanjut Erix yang diamini Ari dan Dory. (nor/dod/c15/jan)