POPTI Kalbar, Kepedulian terhadap Anak Penderita Thalassemia

Penyakit Diturunkan, Bukan keturunan, Dianjurkan Screening pra-Nikah

HIBUR ANAK-ANAK. POPTI Kalbar ketika membawa anak-anak penderita thalassemia rekreasi ke kolam renang beberapa waktu lalu. POPTI Kalbar for RK
HIBUR ANAK-ANAK. POPTI Kalbar ketika membawa anak-anak penderita thalassemia rekreasi ke kolam renang beberapa waktu lalu. POPTI Kalbar for RK

Windy Prihastari, pegawai Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata Kalbar tak menyangka saat anak pertamanya menginjak usia tiga tahun ternyata mengalami penyakit thalassemia. Suatu penyakit yang menyebabkan kelainan pada hemoglobin.

Bangun Subekti, Pontianak

 

eQuator.co.id – HEMOGLOBIN sendiri memiliki fungsi pengantar oksigen dari darah menuju organ tubuh lainnya. Dengan adanya thalassemia, maka oksigen yang diantarkan tidak berjalan dengan baik. Sehingga organ-organ tubuh kekurangan oksigen.

Berbagai pengobatan telah ia jalani. Awalnya sang anak belum didiagnosa mengidap thalassemia. Dalam penuturannya, ada tiga kemungkinan penyakit yang dialami oleh anak pertamanya itu.

“Selain thalassemia, dokter juga curiga anak saya terkena leukemia atau cacingan,” ujar Windy saat ditemui Rakyat Kalbar di ruang kerjanya, belum lama ini.

Setelah melewati banyak diagnosa, diketahui bahwa anaknya terkena thalassemia. Windy dan suaminya segera membawa sang buah hati ke Jakarta untuk menjalani pengobatan. Namun karena keterbatasan perangkat serta obat-obatan, ia membawa anaknya ke Kuala Lumpur, Malaysia. Di sana, sang anak berhasil mendapat pengobatan intensif.

Sejak saat itulah Windy tertarik untuk mendalami tentang penyakit kelainan genetika pada darah itu. Bersama sahabatnya, dr. Nevita, ia mendirikan Perhimpunan Orangtua Penderita Thalassemia Indonesia (POPTI) Kalbar. Ini dikarenakan bahwa POPTI sendiri sudah bertaraf nasional yang tersebar di seluruh Indonesia. “Salah satu alasan saya bergabung dan mendirikan POPTI ini karena anak saya juga mengidap penyakit itu,” jelasnya.

Perhimpunan ini didirikan dengan tujuan agar para orangtua bisa memahami apa itu thalassemia. Kemudian memberi support pada anak-anak pengidap thalassemia untuk bisa menjalani kehidupannya secara normal.

Berdiri pada 2007, Windy telah banyak turun untuk melihat secara langsung bagaimana kondisi masyarakat, terutama pengidap thalassemia. Ia juga sering diminta menyampaikan materi tentang penyakit tersebut dan memberikan motivasi-motivasi. Perhimpunan ini juga menjadi media komunikasi dan para dokter yang berpengalaman untuk memberikan penjelasan mengenai thalassemia.

“Kebanyakan pengidap penyakit tersebut berasal dari keluarga yang tidak mampu. Ditambah dengan ketidaktahuan masyarakat akan penyakit ini serta tidak adanya dokter spesialis membuat penyakit ini sedikit susah untuk dideteksi,” terang Windy.

Dijelaskannya, thalassemia merupakan penyakit yang diturunkan. Bukan penyakit keturunan. Maksudnya adalah bahwa setiap orang memiliki kemungkinan membawa gen penyakit ini yang kemudian diturunkan pada anaknya. Karena itulah, pengidap penyakit ini tidak memiliki tanda-tanda fisik yang khusus.

Dalam sebuah studi, persentase kejadian thalassemia di Indonesia relatif tinggi dibanding negara lain. Yaitu 6-10 persen dari total penduduk Indonesia.

“Dalam sebuah studi lain mengatakan, bahwa setiap 30 persen kelahiran bisa mengalami thalasemia, bahkan sudah pada tingkat mayor,” tuturnya.

Maka dari itu, langkah pencegahannya dengan melakukan screening pra-nikah serta screening pada masa pre-natal. Untuk pre-natal ini, sebisa mungkin dilakukan saat kandungan mencapai usia 7 minggu. “Kalau lebih dari itu, sangat tidak dianjurkan,” jelas Windy.

POPTI sendiri memiliki beberapa program yang telah dijalankan. Semuanya berkonsentrasi pada mencari sahabat-sahabat yang peduli pada pengidap thalasemia. Dirinya kerap kali mengajak anak-anak pengidap thalasemia berekreasi ke pantai atau kolam renang, nonton bioskop bareng, bahkan makan bareng di restoran.

“Itu pakai dana pribadi. Saya memang selalu menyisihkan sedikit uang dari gaji untuk membawa anak-anak bergembira bersama,” ujarnya.

Dia tidak mau anak-anak penderita thalassemia hidup dalam kesedihan. Walaupun pemerintah sudah menetapkan bahwa perhimpunan tidak boleh punya anggaran, kecuali menjadi yayasan.

Tak hanya itu, POPTI juga mengajak masyarakat agar bersedia menjadi pendonor darah tetap untuk anak-anak penderita thalasemia. Dikarenakan penyakit ini memiliki tiga tingkat. Tingkat minor, yaitu si penderita tidak begitu memerlukan transfusi darah. Tingkat kedua, yaitu intermediate, yang mana penderita thalasemia kadang memerlukan transfusi darah. Tingkat terakhir, yaitu mayor, adalah tingkat paling berbahaya. Penderita harus melakukan transfusi darah secara berkala.

“Untuk event mencari pendonor darah tetap, kami mengadakan di Mujahidin kala itu. Untuk saat ini, syukurnya Pemerintah sangat membantu,” paparnya.

Beberapa pengidap telah dibantu untuk masalah biaya transfusi. Kemungkinan juga Dinas Kesehatan akan membuat sebuah peraturan agar setiap masyarakat melakukan screening thalasemia sebelum mereka menikah. Windy ingin mendirikan rumah singgah bagi penderita thalassemia. Karena penderita penyakit itu tidak hanya berada di Pontianak, tapi di seluruh kabupaten/kota.

Ia merasa kasihan kepada keluarga yang berada jauh di luar Pontianak yang harus menempuh jarak jauh. Dengan adanya rumah singgah, mereka tidak perlu khawatir untuk masalah tempat tinggal sementara selama pengobatan. Dalam rumah singgah itu juga disediakan fasilitas-fasilitas pendukung yang bisa membuat nyaman.

“Sangat-sangat berharap bisa terlaksana. Karena pengobatan itu tidak hanya pengobatan fisik tapi juga pengobatan psikologis. Dalam rumah itu, saya ingin membuat suasana yang hidup agar para pengidap tidak bersedih hati dan merasa berat akan akomodasi,” demikian Windy.

Thalassemia merupakan penyakit yang disebabkan oleh kelainan genetika dalam memproduksi hemoglobin dalam darah memang bukan penyakit yang umum didengar, terutama bagi masyarakat Kalbar. Namun faktanya, hampir 30 persen kelahiran anak di Indonesia membawa penyakit ini.

“Penyakit thalassemia merupakan penyakit yang diturunkan. Artinya setiap orang memiliki gen pembawa penyakit tersebut,” jelas Nevita, dokter spesialis anak RSUD Soedarso.

Pada pasangan gen thalassemia minor, maka akan melahirkan anak yang memiliki thalassemia mayor. Penderita thalassemia minor sendiri tidak menunjukkan gejala fisik apa pun. Kalau pun ada, maka hanyalah anemia ringan.

“Tapi bila seseorang menderita thalassemia mayor, maka penanganannya adalah dengan transfusi darah secara berkala untuk mempertahankan hemoglobinnya tetap di angka 9 dan mengkonsumsi obat yang berguna untuk mengurangi penumpukan kandungan zat besi dalam darah,” papar Nevita.

Dijelaskan lagi, penumpukan zat besi dalam darah akan mengakibatkan pengerasan dalam organ tubuh. Sehingga zat besi yang terbawa saat transfusi harus dikurangi dengan mengkonsumsi obat. Namun, saat ini telah dikembangkan metode transplantasi sumsum tulang belakang. “Sayangnya harga terapi ini sangat mahal dan tingkat keberhasilannya pun tidak mencapai seratus persen,” ujarnya.

Baginya, thalassemia ini bagaikan fenomena gunung es. Setiap kabupaten/kota di Kalbar pasti memiliki kasus penderita thalassemia. Namun yang tercatat bukanlah jumlah keseluruhan para penderita. Karena masyarakat masih awan dengan thalassemia.

Mereka juga minder bila anaknya menderita penyakit tersebut. Sehingga tidak dibawa menuju balai kesehatan. Padahal tidak semua anak akan minder dengan penyakit itu. “Mereka bisa beraktivitas seperti biasa, hanya kali ini perlu transfusi darah secara berkala,” tukasnya.

Nevita imbauan bagaimana mencegah penyakit thalassemia. Salah satunya dengan screening pra-nikah. Pasangan yang hendak menikah perlu melakukan pemeriksaan kesehatan. Apakah mereka atau salah satunya membawa gen thalassemia.

“Sebab bila orangtuanya membawa gen thalassemia, sekitar 25 persen si anak akan membawa gen thalassemia mayor sekitar 50 persen,” jelasnya.

Screening ini bukan untuk menyarankan agar kedua pasangan tidak boleh punya anak. Tapi lebih pada menekankan agar tidak memiliki anak dalam waktu singkat sampai kedua pasangan bisa terbebas dari thalassemia. Karena sejatinya thalassemia ini termasuk penyakit mematikan. “Bila seluruh organ tubuh tidak mendapat asupan oksigen dari darah yang mengandung hemoglobin, maka metabolisme tubuh bisa tidak stabil,” tuntas Nevita. (*)

Editor: Arman Hairiadi