Pro Kontra Subsidi Pendidikan di Tengah Asap Rokok

Banyak subsidi pendidikan gratis di Kota Pontianak besutan pemerintah setempat yang terancam dicabut. Kalau masih mau disubsidi, orangtua siswa tak boleh merokok. Pro dan kontra dari kalangan muda Pontianak pun mencuat atas wacana Walikota Sutarmidji tersebut.

eQuator.co.id – Diskusi digelar Rakyat Kalbar untuk mendengar suara anak SMA, kuliah, dan seorang pendidik, Jumat (1/4) sekitar pukul 14.00 WIB. Rata-rata menolak wacana pencabutan subsidi tersebut.

Mantan Duta Pendidikan Anak Kota Pontianak, M. Iqbal Kamarul, mengakui merokok memang sangat berbahaya bagi kesehatan. Tak hanya bagi bagi orangtua, juga terhadap anak-anak.

Bahkan, dari kondisi kekinian yang diamatinya, Iqbal memperkirakan di satu sekolah terdapat 50% perokok usia pelajar. Hanya saja, aksi itu jauh dari penglihatan guru.

“Di tempat tinggal saya saja anak SD merokok kok. Ini sudah keterlaluan, memang harus ada aturan yang mengatur tentang rokok ini,” jelasnya, dalam diskusi.

Tapi, dia tidak setuju jika gara-gara orangtua merokok lalu hak seorang anak yang sudah diatur untuk mendapatkan pendidikan tergerus. “Jangan dihilangkan hak itu. Kasihan anak-anak. Masak cuma karena orangtuanya atau anggota keluarganya merokok lalu hilang hak subsidi tersebut,” tutur Iqbal.

Bagi dia, yang terpenting dalam aturan tersebut adalah pengaturan tempat dilarang untuk merokok. Menghembuskan asap rokok di kawasan sekolah dan rumah sakit yang merugikan bukan perokok tentu harus dilarang keras.

“Kita setuju tempat-tempat itu dilarang (merokok,red). Namun untuk pencabutan subsidi pendidikan, itu tidak perlu dilakukan,” tegas Siswa Man 2 Pontianak.

Ditegaskannya pula, jika memang subsidi pendidikan kepada anak yang orangtuanya merokok diberlakukan, ia meminta dengan hormat agar Walikota Pontianak lebih keras membuat aturan.

“Kalau begitu larang saja semua jenis rokok masuk di Pontianak agar tidak ada yang merokok lagi dari yang tua sampai anak-anak. Jadi Pak Walikota tak perlu mencabut subsidi pendidikan lagi,” ujar Iqbal.

Rekan satu sekolahnya, Rifqi Anugerah pun tidak setuju jika subsidi dicabut. Bagi dia, aturan yang tertera dalam Perda Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTA) saja yang diperkuat dengan sanksi tegas. Toh merokok memang harus dilarang karena membahayakan kesehatan tanpa memandang usia dari perokok tersebut.

“Kita setuju wacana itu, tapi kalau subdisi tidak diberikan kepada orang yang berhak mendapatkan, karena statusnya sebagai pelajar tadi, gimana itu ya,” tuturnya.

Imbuh Rifqi, “Jadi saya 50% setuju dan 50% tidak”.

Jika wacana itu berlanjut jadi aturan, lanjut dia, bisa-bisa banyak anak yang bakal putus sekolah. “Kalau pelarangan merokok di beberapa kawasan itu jelas saya sangat setuju. Perokok harus menghargai orang-orang yang tidak merokok. Mengingat perokok pasif alias hanya menghirup asap rokok saja sudah terancam kesehatannya,” jelas Rifqi.

Peserta diskusi lainnya, mahasiswi Universitas Tanjungpura Pontianak, Rizky Dwinda sepaham dengan wacana itu. Bagi dia, Walikota Sutarmidji berniat baik.

“Saya sangat setuju. Orang akan berpikir dua kali untuk merokok terutama bagi orangtua siswa ya. Selain karena kesehatan, orangtua akan memikirkan dampak lainnya yakni mengenai biaya pendidikan anaknya,” ujar dia.

Perlu diingat, peran pemerintah dalam upaya pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan sangat besar. Pendidikan merupakan barang publik atau sebagai hak-hak sosial yang dijamin oleh pemerintah. Upaya ini tidak bisa diharapkan akan disediakan sektor swasta mengingat biaya yang besar dan tidak menghasilkan keuntungan seketika.

Sehingga, pemerintah lah yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan, seperti tercantum dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 2, 3, dan 4, yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, pemerintah mewajibkan setiap warga negara untuk mengikuti pendidikan dasar dan wajib membiayainya, serta pemerintah minimal mengalokasikan dana pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD. (*)

Achmad Mundzirin, Pontianak