eQuator.co.id – JAKARTA. Sikap Ketua DPR RI, Setya Novanto benar-benar bikin masyarakat geleng kepala. Rabu (15/11), Setnov kembali tidak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa sebagai tersangka dalam kasus mega korupsi proyek pengadaan e-KTP. Ketua lembaga wakil rakyat yang terhormat ini lebih memilih membuka sidang paripurna ke-II periode 2017-2018 di Komplek Parlemen, Senayan.
“Saya memang melarang Pak Setya Novanto hadir memenuhi panggilan KPK. Saya sudah kirim juga suratnya ke penyidik KPK, bahwa Pak Setnov tidak hadir karena kami mengajukan judicial review di MK (Mahkamah Konstitusi),” kata Frederich Yunadi, pengacara Setnov, di gedung Senayan, kemarin.
Pantauan INDOPOS (Jawa Pos Group), Setnov, memasuki ruang sidang paripurna bersamaan dengan dua Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah dan Agus Hermanto pada pukul 10.30 WIB. Kemudian, Setnov memberikan perintah kepada Agus Hermanto untuk memimpin rapat paripurna. Namun, sebelum Agus memimpin, Setnov melakukan pidato pembukaan masa sidang paripurna ke-II periode 2017-2018 itu dengan lantan.
Tampak hanya 99 anggota DPR RI yang hadir dalam rapat paripurna. Jumlah tersebut tak sampai 20 persen dari total keseluruhan wakil rakyat yang berjumlah 560 orang.
“Selamat datang bagi seluruh anggota DPR yang telah selesai melaksanakan tugas pengawasan melalui kunjungan kerja dan melakukan kegiatan bersama konstituen di daerah pemilihannya masing-masing,” sapa Setnov mengawali pidatonya.
Dia menuturkan, sesuai pasal 225 ayat 1 Peraturan DPR tentang Tata Tertib, pimpinan DPR akan menyampaikan pidato pembukaan yang menguraikan rencana kegiatan DPR pada masa persidangan II dan menginformasikan perkembangan terkait pelaksanaan tugas DPR lainnya,” ujarnya.
Setnov menuturkan, DPR menargetkan empat Rancangan Undang-undang (RUU) selesai dibahas di tahun sidang 2017-2018. Bahkan, dirinyapun menyinggung Pansus Angket KPK akan terus melakukan kegiatan penyelidikan terhadap aspek kelembagaan, aspek kewenangan, aspek anggaran dan aspek tata kelola sumber daya manusia.
“Diharapkan pada masa persidangan ini, dapat segera dilaporkan hasil kerja Pansus Angket KPK,” ucap Setnov.
Usai rapat paripurna Setnov langsunf diserbu awak media guna menanyakan soal kemangkirannya dari panggilan KPK. “Kan saya sudah kirim surat juga ke KPK karena sedang mengajukan gugatan ke MK,” tuturnya.
Setnov berharap MK segera mengeluarkan putusan atas gugatannya itu. Menurutnya, hal ini penting guna menghindari multitafsir ayat yang selama ini timbul. “Pokoknya kita uji lah. Sama-sama kita uji supaya tidak ada perbedaan-perbedaan,” tutupnya.
Disinggung jika dipanggil paksa oleh KPK, apa sikapnya? Setnov enggan menjawab dan berusaha berlalu dari kerumunan para awak media.
Tak berselang beberapa lama, tampak Sekjen Partai Golkar, Idrus Marham menyambangi ruang kerja Setnov. Ia bersama kuasa hukum Setnov, Frederich Yunadi.
Menurut Idrus, kehadirannya meminta respons Setnov terkait pemanggilan KPK yang tidak dipenuhi itu. “Saya sendiri ketemu dengan Bung Novanto ternyata sudah ada penasihat hukumnya, Pak Fredrich. Tentu saya akan mempertanyakan tentang bagaimana Bung Setya Novanto merespons panggilan pada hari ini untuk hadir di KPK,” kata Idrus .
Idrus mengaku, dirinya bersana Setnov dan kuasa hukum membahas tanggapan Presiden Jokowi soal mangkirnya Setnov ke KPK dengan alasan membutuhkan izin presiden.
“Pak Fredrich selaku penasihat hukum Setya Novanto menjelaskan tadi, kebetulan baru saja juga ada pernyataan Presiden tentang perlunya izin presiden untuk tiap anggota DPR apabila ada panggilan pemeriksaan di KPK. Setelah itu, Pak Fredrich menjelaskan, ternyata setelah UU itu dibuka, itu ada perbedaan-perbedaan di dalam memahami aturan itu. Konstruksi berpikir kita Pak Setya Novanto tak hadir pada hari ini karena memang persoalan ini sedang dilakukan JR (judicial review/uji materi, red) di MK,” paparnya.
Frederich Yunadi ikut angkat bicara. “Surat resmi sudah saya kirim. Saya yang kirim dan tanda tangani sendiri. Saya kirim kepada penyidik,” terangnya.
Frederich menuturkan, alasan dirinya melarang kliennya untuk hadir ke KPK masih sama. Pihaknya masih menunggu hasil uji materi di MK terkait Pasal 16 dan Pasal 46 ayat (1) dan (2) UU KPK. “Sambil menunggu hasil putusan MK terhadap judical review yang diajukan,” kata dia.
Terkait dengan wacana penjemputan paksa terhadap Setnov jika kembali mangkir dalam pemeriksaan oleh penyidik, Frederich malah beranggapan KPK tidak mengerti hukum.
“Kalau begitu kan berati KPK tidak mengerti hukum, kan gitu. Kan harus tahu, anggota dewan termasuk beliau Ketua Dewan mempunyai hak imunitas yang tertera dalam UUD 45. UUD 45 tiada seorang pun bisa melawan termasuk Presiden. Kalau KPK melawan, berarti dia melakukan kudeta,” tudingnya.
Menurut dia, saat MK memutuskan pihaknya juga belum tentu membiarkan Setnov untuk datang memenuhi panggilan penyidik. “Putusan itu kan bisa iya, bisa tidak. Kalau iya berati tidak perlu hadir selamanya. Kalau tidak, mau enggak mau kita harus tunduk pada hukum. Hukum adalah panglima di Republik Indonesia. Marilah semua pihak itu, termasuk media menghormati hukum. Jangan kipas-kipas, memanas-manasi ya,” pungkasnya.
Dikonfirmasikan secara terpisah, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan, surat yang dilayangkan Frederich itu diterima KPK pada pukul 10.00. Pada surat tertanggal 14 November 2017 itu, terdapat tujuh poin yang menjadi dasar ketidakhadiran Setnov ke KPK.
“Surat pemberitahuan tidak dapat memenuhi panggilan KPK tersebut berisikan 7 poin yang pada pokoknya sama dengan surat sebelumnya,” kata Febri.
Poin-poin itu di antaranya, sambung Febri, pihak Setnov yang menyatakan telah menerima surat panggilan tersangka dari KPK pada 10 November 2017. Pihak Setnov mencantumkan sejumlah pasal sebagai dasar ketidakhadiran Setnov. Misalnya Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum’.
Kemudian, lanjutnya, Pasal 20 A huruf (3) UUD 1945. Pasal ini berbunyi, ‘Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas’.
“Pasal berikutnya yakni. Pasal 80 UU No 17 Tahun 2014 yang terkait dengan hak imunitas anggota DPR. Selanjutnya, Pasal 7 dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan dan Perundang-undangan. Pasal ini menyangkut jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan,” urainya.
Masih menurut Febri, pihak Setnov juga mencantumkan Pasal 224 ayat (5) dan Pasal 245 ayat (1) dalam UU Nomor 17 Tahun 2014. Pasal 224 ayat 5 berbunyi, ‘Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan’. Kemudian, Pasal 245 ayat 1 berbunyi, ‘Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan’.
“Dasar lain yang digunakan pihak pengacara Setnov yakni, adanya permohonan judicial review tentang wewenang memanggil Setnov selaku Ketua DPR RI. Pihak Setnov juga mengutip pernyataan Ketua KPK tentang Pansus Angket,” bebernya, seraya nemanbahkan, Setnov juga beralasan ada tugas negara untuk memimpin dan membuka sidang paripurna DPR. (Jawa Pos/JPG)