Busyro Muqoddas: Bentuk Pengkhianatan terhadap Rakyat

Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi

TERTIB. Aksi ujuk rasa sekelompok mahasiswa tertib dijaga polisi di Bundaran Digulis Untan Pontianak, Kamis (12/9) sore.

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Sejumlah pemuda-mahasiswa berbeda perguruan menggelar aksi mendukung Revisi UU KPK, di Bundaran Digulis Untan, Pontianak, Kamis (12/9) sore. Mereka mengatasnamakan Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Kalimantan Barat.
“Aksi ini dalam rangka mendukung dan memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di negeri ini, usulan DPR RI tentang revisi UU KPK itu meningkatkan integritas serta penguatan lembaga KPK,” ujar koordinator aksi, Adi Afrianto.

Sambil membawa membawa spanduk dukungan Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002, mereka giliran berorasi. Menurut Adi, revisi UU KPK bukan untuk melemahkan KPK sebagaimana dikhawatirkan banyak kalangan. Revisi, katanya, justru untuk menguatkan kinerja KPK.

Sedikitnya ada lima poin yang disebut Adi tidak untuk melemahkan, salah satunya soal penyadapan yang dikutipnya dari draft revisi. “KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dapat melakukan penyadapan. Namun, pelaksanaan penyadapan dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas KPK,” ucapnya. Dia juga mengutip pasal revisi bahwa KPK harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lain, sesuai dengan hukum acara Indonesia.

Lanjut Adi, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya akan diawasi oleh Dewan Pengawas KPK yang berjumlah lima orang. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Dewan Pengawas KPK dibantu oleh organ pelaksana pengawas.

Menurut dia, dengan adanya revisi UU ini, KPK diharapkan dapat lebih fokus pada fungsi pencegahan dibandingkan penindakan. Dia pun meminta masyarakat tidak perlu khawatir dengan revisi UU KPK. Alasannya, masih banyak lembaga lain yang bertugas membantu KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi.

Sebelum menutup aksinya, kelompok ini mengheningkan cipta guna mengenang mendiang Presiden ketiga RI, Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie yang wafat pada Rabu (11/9/2019) malam. Aksi yang mendapat pengawalan dari personel Kepolisian Resor Kota Pontianak itu pun ditutup dengan pembacaan pernyataan sikap.

TERIMA SURPRES, BELUM MAU BUKA DIM DARI PEMERINTAH
Sementara itu, DPR sudah menerima surat presiden (Surpres) untuk membahas revisi Undang-Undang KPK. Namun, dewan masih enggan membuka daftar inventarisir masalah (DIM) yang diserahkan pemerintah terkait materi perubahan UU. DPR dan pemerintah pun diminta terbuka dalam pembahasan.

Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan, surpres revisi UU KPK sudah diterima DPR. Pembahasan perubahan peraturan itu pun diserahkan ke baleg. Yang pasti, kata dia, pemerintah juga sudah menyertakan DIM yang berisikan materi revisi yang dinginkan pemerintah. “Artinya sudah ada standingnya pemerintah seperti apa,” terang dia.

Materi revisi yang sudah diajukan DPR sudah jelas, yaitu ada empat poin penting. Mulai dari status kelembagaan dan karyawan KPK, dewan pengawas, izin penyadapan, dan kewenangan SP3. Sedangkan materi revisi pemerintah tertuang dalam DIM yang dikirim berbarengan dengan surpres.

Dia mengatakan, DIM dari pemerintah akan dibahas dalam pertemuan antara DPR dan pemerintah. Apakah ada pasal revisi dari DPR yang ditolak pemerintah? Politikus Partai Gerindra itu masih enggan membeberkannya. Yang pasti nanti akan dilakukan pembicaraan.

“Pasti akan ada argumentasinya,” papar dia.
Supratman menjelaskan bahwa dirinya sendiri belum mengecek isi DIM dari pemerintah. Menurut dia, nanti pimpinan DPR akan secara resmi mengirim draf DIM kepada baleg. Soal kapan pembahasan mulai dilakukan, anggota Komisi VI itu menyatakan bahwa pembahasan bergantung dengan pemerintah. Pihaknya akan berkoordinasi dengan pemerintah untuk menetapkan waktu pembahasan.

“Kalau kami setiap saat siap,” terang dia.
Yang menjadi masalah, lanjut dia, sekarang banyak undang-undang yang dibahas di komisi. Para menteri pun ikut sibuk. Mereka harus pindah dari komisi ke komisi lainnya. Apalagi Menteri Hukum dan HAM, karena kementerian itu pasti masuk dalam semua pembahasan RUU.

Terpisah, Wakil Ketua Baleg DPR RI Muhammad Sarmuji mengatakan, DPR belum menerima DIM dari pemerintah. Menurut dia, biasanya materi dari pemerintah itu akan disampaikan saat pembicaraan dengan menteri yang ditunjuk presiden. Jadi, dia belum bisa menyampaikan pasal krusial yang diinginkan pemerintah.
“Setahu saya sampai saat ini belum ada,” tutur politikus Partai Golkar.

HARUS TERBUKA DAN TRANSPARAN
Haryono Umar, mantan komisioner KPK mengatakan, masyarakat harus ikut mengawasi pembahasan revisi UU KPK. “Pembahasan harus dilakukan secara terbuka dan transparan,” ungkap dia. Dengan keterbukaan, publik bisa ikut pembahasan setiap pasal krusial yang diajukan DPR dan pemerintah.

Dia juga meminta pemerintah terbuka terkait DIM yang diserahkan ke DPR, sehingga masyarakat bisa mengetahui apa saja materi revisi yang diajukan pemerintah. Saat ini, publik baru mengetahui poin-poin revisi yang diajukan DPR. Haryono mengatakan, sebelumnya presiden berjanji tidak akan mengurangi independensi dan tidak melemahkan KPK. Maka, masyarakat perlu tahu DIM yang diajukan pemerintah.

Mantan Komisioner KPK Busyro Muqoddas menilai bahwa keputusan presiden mengeluarkan surpres adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat. Apalagi, dia sudah terpilih untuk periode kedua dan sebelumnya berjanji untuk tidak akan melemahkan KPK. Padahal seharusnya secara undang-undang, Presiden punya waktu 60 hari untuk mempertimbangkan surat revisi UU dari DPR. Waktu sebanyak itu mestinya digunakan untuk menampung aspirasi dari berbagai kalangan.
“Apalagi kesimpulannya kalau ini bukan kolaborasi antara parpol-parpol di Senayan dengan istana?” paparnya.

Uji kelayakan dan kepatutan yang telah berlangsung juga dinilai sebagai cara kasar legislatif dalam pelemahan KPK. Para calon pimpinan ditanyai soal dukungan terhadap revisi UU dan ini menjadi salah satu tolok ukur untuk meloloskan capim ke kursi tertinggi KPK.

Busyro menyatakan sudah tidak ada harapan lagi selama DPR diberi kewenangan untuk melakukan fit and proper test. Untuk itu, dia menyarankan agar masyarakat bersama-sama menuntut adanya perubahan terhadap aturan DPR sendiri. Perlu dipertanyakan kapasitas DPR dalam menguji calon pejabat publik.
“Ayo ramai-ramai masyarakat geruduk secara hukum demi penghormatan terhadap demokrasi dan kedaulatan rakyat,” lanjutnya.
Terpisah, para pimpinan KPK bersama ribuan pegawai KPK menggelar aksi di lobi gedung lembaga mereka, kemarin. Aksi itu merupakan sikap perlawanan terhadap pernyataan dan manuver kontroversi terkait tahapan seleksi calon pimpinan (capim) KPK serta RUU KPK yang tengah bergulir di DPR saat ini.

Ketua KPK Agus Rahardjo menyebut serangan-serangan terhadap pemberantasan korupsi belakangan ini membuat gerakan antikorupsi dalam kondisi mengkhawatirkan. Karena itu dia berharap suara-suara penolakan terhadap revisi UU KPK dan capim bermasalah didengar oleh para pengambil keputusan. Baik di DPR maupun di pemerintahan.
“Kami sudah melihat rencana UU-nya, itu pun dilihat di berita-berita karena secara resmi kami di KPK tidak dilibatkan, berbeda dengan sebelumnya kami dilibatkan melalui undangan dalam rapat-rapat di DPR tetapi hari ini kita terkejut hal itu begitu cepat,” kata Agus. Menurut dia, pemerintah dan DPR mestinya menyelesaikan RUU KUHP, memperbaiki UU Tipikor, baru kemudian masuk ke UU KPK.
Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mempertanyakan kenapa RUU KPK sama sekali tidak ditembuskan ke lembaganya. Melainkan langsung dikirim Presiden Joko Widodo ke DPR. “Mengapa UU KPK itu seakan-akan tertutup dan dikebut diselesaikan, ada kegentingan apa sehingga tertutup antara pemerintah dan parlemen?,” tanya Laode. “Seharusnya tata kramanya surat ditembuskan juga ke KPK agar kami bisa melihat,” imbuh dia.
Di sisi lain, langkah Jokowi menyetujui RUU KPK inisiatif DPR dinilai bentuk pengingkaran janji presiden terhadap pemberantasan korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai ada beberapa catatan penting dalam persetujuan revisi itu. Antara lain, presiden terlihat tergesa-gesa dalam mengirimkan surpres ke DPR tanpa adanya pertimbangan yang matang.
Merujuk pasal 49 ayat (2) UU No 12 tahun 2011 secara tegas memberikan tenggat waktu 60 hari kepada Presiden sebelum menyepakati usulan UU dari DPR. “Harusnya waktu itu dapat digunakan oleh Presiden untuk menimbang usulan DPR yang sebenarnya justru melemahkan KPK,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana.
Catatan lainnya adalah presiden abai mendengarkan aspirasi masyarakat. Sebelum surpres itu dikirim, berbagai elemen masyarakat, organisasi, dan tokoh bangsa sejatinya banyak yang telah bersuara menentang revisi UU KPK. “Harus diingat bahwa Presiden bukan hanya kepala pemerintahan, namun juga kepala negara yang mesti memastikan lembaga negara seperti KPK tidak dilemahkan oleh pihak-pihak manapun,” ujarnya.
ICW juga menyebut presiden ingkar janji tentang penguatan KPK dan keberpihakan pada isu anti korupsi. Padahal pada poin 4 Nawa Cita dari Presiden Joko Widodo menyebut bahwa menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
“Jika saat ini presiden tidak menepati janji untuk memperkuat KPK dan pemberantasan korupsi maka sudah barang tentu barisan pendukung Presiden akan semakin berkurang drastis,” tegasnya.

Laporan: Tri Yulio HP, Jawa Pos/JPG
Editor: Mohamad iQbaL