eQuator.co.id – Jakarta–RK. Sudah tidak terhitung banyaknya bukti bahwa penyidikan pelepasan lahan milik PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim merupakan proyek titipan dan kejar target. Salah satu buktinya, pembeli lahan yang terlibat negosiasi harga dengan Ketua Tim Pelepasan Wisnu Wardhana (WW) tidak dijadikan tersangka. Padahal, mereka terlibat dalam rekayasa dokumen pembelian lahan.
Berdasar hasil pemeriksaan penyidik Pidana Khusus Kejati Jatim, lahan milik PT PWU di Jalan Hasanudin Nomor 12, Kelurahan Bolowerti, Kota Kediri, dan Jalan Sultan Hasanudin Nomor 1, Tulungagung, dibeli Sam Santoso dan Oepojo Sardjono.
Direksi PT PWU Jatim menunjuk WW selaku kepala biro aset sebagai ketua tim pelepasan aset. Tugasnya adalah membentuk panitia pelepasan lahan, melakukan penaksiran, dan menjualnya kepada pihak ketiga. Mereka juga memproses penjualan sejak awal hingga pelepasan selesai dan uang pembelian masuk ke kas BUMD tersebut.
Dalam berita acara pemeriksaan (BAP) disebutkan, proses jual beli itu diawali dengan pertemuan antara WW dan Sam serta Oepojo di sebuah rumah makan di Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, mereka sepakat dengan harga penjualan dua aset itu. Untuk lahan di Kediri, disepakati harga Rp 17 miliar dan lahan di Tulungagung Rp 8,75 miliar. Padahal, saat itu belum ada proses lelang.
Pertemuan WW dengan Sam dan Oepojo berlanjut di kantor notaris Warsiki di Kediri. Setelah itu, WW mengadakan lelang abal-abal. Lelang tersebut memenangkan Sam dan Oepojo dengan harga sesuai dengan yang mereka sepakati bertiga sebelumnya.
Untuk mendukung lelang abal-abal tersebut, WW dan anggota tim pelepasan memalsukan sejumlah dokumen lelang. Salah satunya berita acara pembukaan surat penawaran. Dokumen itu diteken WW dan anggota tim pelepasan. Padahal, anggota tim pelepasan tidak melakukan pekerjaannya terkait dengan dokumen tersebut. Meski begitu, mereka mau-mau saja menandatangani dokumen yang mereka sendiri tidak tahu asalnya dari mana.
Keterlibatan pembeli dalam rekayasa proses pembelian tidak hanya di situ. Berita acara negosiasi harga juga hanya diteken WW, Sam, dan Oepojo. Padahal, negosiasi seharusnya juga diikuti konsultan hukum dan konsultan akuntansi. Kenyataannya, negosiasi hanya dilakukan WW seorang diri.
Bahkan, untuk pembelian aset di Tulungagung, peran Sam dalam merekayasa data agar menjadi pemenang lelang sangat dominan. Dalam lelang terbuka, ada empat penawar. Salah satunya adalah Ir. Sofyan Lesmono. Ternyata, dokumen penawaran yang diajukan Sofyan dibuat Sam sendiri. Harganya pun ditentukan sendiri, sedangkan Sofyan hanya dimintai tanda tangan dan tidak terlibat proses lelang.
Dari hasil pemeriksaan tersebut terungkap bahwa penjualan dan penentuan harga sebenarnya dilakukan WW, Sam, dan Oepojo. Merekalah yang mengatur harga dan mengatur lelang abal-abal. Rekayasa itu disempurnakan oleh anggota tim pelepasan aset. Mereka mau membubuhkan tanda tangan meski tahu data itu bukan hasil pekerjaan mereka.
Meski peran aktif mereka terlihat jelas, penyidik Kejati Jatim sampai sekarang belum menetapkan mereka sebagai tersangka. Sampai sekarang, penyidik hanya menetapkan Direktur Utama PT PWU Jatim Dahlan Iskan dan WW sebagai tersangka. Dahlan menjadi tersangka karena menandatangani dokumen yang diajukan WW dengan laporan lisan yang sudah direkayasa, sedangkan orang-orang yang mengatur tahap penjualan lahan itu (Sam dan Oepojo) hanya berstatus saksi.
AMAN KARENA MAU DIPERAS?
Masih tak disentuhnya Sam dan Oepojo selaku pembeli aset PT PWU Jatim oleh kejaksaan setempat bisa jadi bukan tanpa sebab. Posisi Sam dan Oepojo sama persis dengan Abdul Manaf dalam kasus penjualan tanah kas desa di Sumenep, Madura.
Manaf ditangkap tim Kejaksaan Agung karena memberikan uang (diperas atau menyuap?) kepada jaksa Ahmad Fauzi. Fauzi, anak buah Kajati Jatim Maruli Hutagalung, merupakan anggota tim yang mengusut kasus pelepasan lahan bekas tanah kas Desa Kalimook, Kecamatan Kalianget, Sumenep, tersebut.
Dalam kasus yang menjerat Fauzi itu, kejati menemukan penyimpangan karena aset tersebut berstatus bekas tanah kas desa yang dibaliknamakan dengan memalsukan dokumen dengan menggunakan identitas petani (warga). Nah, Manaf merupakan pembeli aset yang bermasalah itu. Dia sudah diperiksa berkali-kali dan masih berstatus saksi.
Belakangan terungkap, Manaf tetap berstatus saksi lantaran memberikan uang kepada penyidik bernama Fauzi. Nominalnya Rp 1,5 miliar. Uang itu merupakan mahar agar Manaf tidak menjadi tersangka karena membeli aset bermasalah tersebut.
Hal itu menjadi jawaban atas pertanyaan besar mengapa para pembeli lahan PT PWU Jatim (Sam Santoso dan Oepojo) masih berstatus saksi dan tidak menjadi tersangka. Tidak berlebihan pula bila banyak yang menduga bahwa keduanya ikut melakukan upaya seperti yang dilakukan Manaf agar tetap berstatus saksi.
Ahli hukum pidana asal Universitas Islam Indonesia (UII) Mahrus Ali menyatakan, pertanggungjawaban hukum terhadap pembeli aset daerah yang prosesnya bermasalah bisa dilakukan. Apalagi jika pembeli terlibat dalam serangkaian perbuatan yang dikategorikan melawan hukum.
’’Misalnya, terlibat dalam pengaturan harga sebelum lelang. Bisa saja dikenai pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP,’’ ujar Mahrus.
Dalam delik penyertaan itu, ada pelaku delik dan pelaku turut serta. Pelaku delik adalah orang yang memenuhi unsur delik, sedangkan pelaku turut serta adalah orang yang tidak harus memenuhi unsur delik.
’’Dalam kasus korupsi juga rata-rata pelakunya lebih dari satu. Umumnya ada penyelenggara negaranya, juga pihak swastanya,’’ ujarnya.
Mantan pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji turut angkat bicara terkait dengan tidak ditetapkannya para pembeli aset PT PWU Jatim sebagai tersangka. Pria yang akrab disapa Anto itu menjelaskan, pembeli harus dijadikan tersangka jika memang ada dua alat bukti terkait dengan mens rea (sikap batin berbuat pidana).
’’Kalau terlibat dalam pengaturan harga sebelum lelang atau terjadi kickback antara pembeli dan penjual, pembeli seperti itu dapat dianggap melakukan formele wederrechtelijkheid (melawan hukum formil, Red),’’ kata putra mantan Ketua Mahkamah Agung Oemar Seno Adji itu. Pembeli yang seperti itu bisa dijerat sebagai tersangka sesuai dengan pasal 55 KUHP.
Kuasa hukum Dahlan Iskan, Mursyid Murdiantoro, juga mempertanyakan alasan mengapa sampai saat ini pembeli tanah yang dilepas PT PWU tidak dijadikan tersangka. ’’Kalau pendekatan hukum ilmiah, tidak boleh ada tebang pilih. Ini kok kesannya dipilih dulu baru ditebang,’’ ujarnya.
Selama ini Dahlan disangkakan menjual tanah dengan harga di bawah NJOP. Nah, seharusnya pembeli juga dimintai pertanggungjawaban karena menikmati apa yang disangkakan kepada Dahlan. Apalagi, dalam kasus ini, para pembeli ikut aktif dalam pengaturan lelang. ’’Lucu kalau pembelinya tidak ikut dijerat. Ada apa ini? Kok sepertinya sama dengan kasus Ahmad Fauzi (tidak menjadi tersangka karena mau diperas, Red)?’’ tanya Mursyid.
Terkait dengan belum dijeratnya pihak pembeli sebagai tersangka, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Jatim Richard Marpaung tidak bisa menjawab dengan berbagai alasan. Dihubungi via telepon kemarin, Richard awalnya bersikap biasa saja. Namun, begitu wartawan koran ini menanyakan kasus PT PWU Jatim, Richard mendadak mengatakan sedang mengalami masalah.
’’Saya sedang di jalan. Ban saya bocor ini. Besok saja ya,’’ ujar Richard pendek.
SERAHKAN UANG KARENA DITEKAN
Cerita tentang pemerasan oleh jaksa Fauzi kepada Abdul Manaf datang dari Sumenep, Madura. DL, salah seorang kolega Manaf, menyampaikan apa yang diketahuinya tentang hal tersebut.
Menurut DL, jauh sebelum ditangkap tim Kejagung, Manaf pernah mendatanginya. Saat itu Manaf menyampaikan keinginan untuk meminjam uang dalam jumlah besar.
”Katanya semula, untuk bayar utang ke bosnya yang di Surabaya,” ujar DL kepada Jawa Pos Radar Madura, Minggu (27/11).
Tapi, belakangan DL mengetahui bahwa uang yang hendak dipinjam itu akan digunakan untuk menutup kasus di Kejati Jatim. Laki-laki yang sudah lama bekerja sama dengan Manaf tersebut tahu dari pengakuan Manaf sendiri.
”Saya sudah ingatkan Manaf kalau yang memberi juga bisa kena. Eh, nggak tahunya mendengar Manaf sudah ditangkap,” beber DL.
DL mengungkapkan, saat menemui dirinya, Manaf tampak tertekan. Sebab, Manaf harus mengamankan bosnya yang selama ini menjadi pemodal dalam urusan bisnis jual beli tanah di Sumenep. Manaf berkepentingan agar bosnya lolos dari jerat hukum.
Dari pengakuan DL, terungkap Manaf membeli tanah kas Desa Kalimook, Kalianget, Sumenep, seluas 10,5 hektar. Namun, aset tersebut tidak diatasnamakan Manaf sendiri, melainkan atas nama bosnya yang biasa dipanggil Ko Han.
”Manaf mau menyelamatkan aset bosnya. Saya dengarnya dia ditekan,” ucapnya. Atas tekanan itulah, papar DL, Manaf mau menyerahkan sejumlah uang yang diminta jaksa Fauzi. (Jawa Pos/JPG)