Pelarangan Kratom Jangan Mendadak

RAKER. Gubernur Sutarmidji membuka rapat kerja Bupati, Wali Kota dan Camat se Kalbar di Balai Petitih Kantor Gubernur, Senin (22/7). Humas Pemprov for RK

“Kita jangan bisa satu sisi melarang, tapi solusinya gimane, jangan juga dadakan ya, harus ada masa transisinya, sambil dilakukan penelitian-penelitian” — Sutarmidji, Gubernur Kalbar

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Tanaman kratom sejatinya sudah lama dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk bahan obat. Di tengah anjloknya harga sawit dan karet, sejumlah petani di Kapuas Hulu pun telah membudidayakan tanaman yang bernama latin mitragyna speciosa itu.

Karena memiliki khasiat yang cukup manjur sebagai obat, tanaman yang juga familar disebut dengan daun purik itu pun menjadi alternatif peluang bisnis baru. Nilai ekonomisnya cukup baik. Bahkan, pasar kratom kini tak hanya laris di tingkat lokal saja. Namun juga sudah diekspor ke beberapa negara.

Di tengah geliat bisnis kratom yang cukup menjanjikan itu, tiba-tiba muncul pernyataan dari Badan Narkotika Nasional (BNN). Yang menyatakan kratom mengandung zat berbahaya. Bahkan, disetarakan dengan narkotika jenis kokain.

Tentu saja, hal itu memicu polemik. Juga kegelisahan di kalangan petani dan pebisnis kratom. Sebab, bisnis kratom sangat menjanjikan. Di lain sisi, tak sedikit orang sudah mengakui manfaat besar kandungan kratom. Sebagai obat untuk penyembuhan penyakit tertentu.

Kamis (15/8) pagi, pejabat dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) melakukan pertemuan dengan Gubernur Sutarmidji. Pertemuan itu secara khusus membahas polemik kratom tersebut.

Pemerintah, sepertinya harus terus mengkaji polemik kratom ini. Midji, karib Gubernur Kalbar disapa, tegas menyatakan pelarangan perdagangan kratom tak boleh dilakukan secara mendadak.

“Kita jangan bisa satu sisi melarang, tapi solusinya gimane, jangan juga dadakan ya, harus ada masa transisinya, sambil dilakukan penelitian-penelitian,” paparnya.

Karena itu, lanjut dia,  pemerintah saat ini terus melakukan pembahasan tentang kratom. Yang selama ini diyakini punya khasiat yang manjur untuk pengobatan penyakit tertentu.

“Bagaimanapun, kita akan mencarikan solusi-solusinya,” jelas Midji.

Ia mendorong kajian tentang zat yang terkandung di dalam daun kratom itu dipaparkan secara rinci. Apa sisi positif dan negatifnya secara jelas.

“Manfaatnya apa? Kalau misalnya mengkonsumsi ganja, pengaruhnya pada pola pikirnya dratis berubah. Tetapi menggunakan kratom, tidak langsung mempengaruhi perilaku orang pada saat itu, ini kan harus diteliti,” paparnya.

Imbuh Midji, ”Ini sayang, karena tanaman ini bisa untuk obat. Kalau itu misalnya untuk terapi orang ketergantungan diolah dalam bentuk obat, bisa,”.

Sebelumnya, Asisten Deputi 1/V Kamtibmas Kemenko Polhukam, Brigjen TNI Gamal Haryo Putro, telah meninjau pabrik kratom di Kecamatan Kalis, kemudian dilanjutkan dengan peninjauan kebun milik warga di Desa Sambus, Kecamatan Putussibau Utara, Selasa (13/8).

Kunjungan Asdep 1 dan beberapa staffnya ke lokasi pabrik dan kebun kratom didampingi Bupati Kapuas Hulu, Abang Muhammad  Nasir Wabup, Antonius L. Ain Pamero, Ketua DPRD Kapuas Hulu, Rajuliansyah, Dandim 1206/Psb, Letkol Inf. Basyarudin, Sekda Kapuas Hulu, H. Sarbani, serta sejumlah Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungan Pemkab Kapuas Hulu.

Bupati Nasir menjelaskan,  kunjungan Asdep 1 dari Kemenko Polhukam ini sebagai tindak lanjut dari pertemuan Pemkab Kapuas Hulu dengan Kemenko Polhukam di Jakarta pada 8 Agustus lalu.

“Ini kaitannya dengan daun purik atau kratom. Pemkab Kapuas Hulu sudah beberapa kali pertemuan dengan Pemerintah Pusat membahas kratom termasuk dengan Kemenko Polhukam.  Jadi ini tindak lanjutnya, beliau datang untuk melihat  fakta lapangan yang sudah kami sampaikan di Kementerian,” tutur Nasir saat mendapingi Asdep 1 Kemen Polhukam bertemu dengan petani kratom di Sambus.

Kratom juga terdapat  di kabupaten lain di Kalbar, namun kata Nasir, Kratom dari Kapuas Hulu memiliki kualitas paling baik dan banyak diekspor juga. Kratom menjadi solusi dari anjloknya harga karet, yang dulunya komoditi andalan warga. “Kratom sebenarnya sudah 20 tahun digarap warga di sini, hanya sekarang jadi lebih marak,” ujarnya.

Terakhir ini, lanjut Nasir, memang ada hasil riset kratom dari Badan Narkotika Nasional (BNN). Kratom ternyata memiliki kandungan narkotika. “Ini juga buat masyarakat galau. Kami berusaha cari solusi. Kita cari rumusan yang bagus. Ini sudah dilarang walau belum sepenuhnya,” kata Nasir.

Sementara itu, Brigjen TNI Gamal Haryo Putro mengatakan, hasil tinjauan ini akan disampaikan ke Menko Polhukam. “Insyallah, apa yang kami lakukan ini untuk kemasalahatan masyarakat. Saya tahu ini hal penting bagi masyarakat, tapi ada hal lain yang harus dipertimbangkan,” tegasnya.

Gamal menambahkan, dalam rapat di Kemenko Polhukam 8 Agustus lalu, Kepala Pusat Laboratorium BNN RI menyatakan bahwa ada kandungan narkotika pada  kratom, yang dalam jumlah tertentu bisa merusak kesehatan. “Saat uji pada tikus-tikus juga terpantau ada pembesaran limpa dan hati, ini berbahaya. Apalagi saat proses produksi itu saya lihat ada debu-debu yang masyarakat hirup, impeknya itu dikhawatirkan terjadi kedepannya. Masyarakat harus tahu memproduksi kratom seperti ini merusak kesehatan,” tuturnya.

Namun disisi lain, kratom adalah mata pencaharian utama masyarakat di Kapuas Hulu. Hal ini, kata Gamal, harus juga dipahami bersama oleh pemangku kebijakan. “Jadi apa yang saya dapat dilapangan akan dilaporkan ke pimpinan, sesuai dengan apa adanya,” ujarnya.

Saat ini, lanjut Gamal, Kementerian Kesehatan RI telah membentuk komite. Komite itu membuat rekomendasi untuk pemakluman sementara waktu, hingga ada mata pencaharian pengganti lainnya. “Brunei, Malaysia dan beberapa negara sudah melarang kratom. Untuk itu masyarakat harus mulai mengganti kratom ini,” pungkasnya.

Sebagai informasi, kratom atau Mitragyna speciosa adalah pohon cemara tropis di keluarga kopi asli Asia Tenggara. M. speciosa berasal dari Thailand, Indonesia, Malaysia, Myanmar, dan Papua Nugini. Kratom telah digunakan dalam obat-obatan tradisional sejak setidaknya abad ke-19.

 

Laporan: Abdul Halikurrahman

Editor: Mohamad iQbaL