eQuator.co.id – Jakarta-RK. Korupsi yang dilakukan Eko Susilo Hadi, deputi informasi hukum dan kerjasama Badan Keamanan Laut (Bakamla) dianggap sangat keterlaluan. Sebab, uang proyek itu merupakan anggaran prioritas yang sangat penting untuk ketahanan laut. Total fee yang diminta pejabat Kejagung itu mencapai Rp15 miliar.
Kemarin (15/12), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya membuka tindak pidana korupsi yang sangat merugikan negara itu. “Saya prihatin dengan kejadian ini,” terang Ketua KPK Agus Rahardjo saat konferensi pers di gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said C1, kemarin.
Bagaimana tidak prihatin, kata Agus, anggaran yang akan digunakan untuk pengadaan alat monitoring satelit Bakamla itu masuk dalam anggaran pendapatan belanja negara perubahan (APBN-P). Dana itu menjadi prioritas karena dimasukkan dalam anggaran perubahan. Pemerintah juga melakukan penghematan dengan mengurangi beberapa anggaran.
“Tapi ini malah dikorupsi,” paparnya.
Pejabat asal Magetan itu lantas menceritakan penangkapan terhadap Eko, dan ketiga orang lainnya, yaitu M Adami Okta, Hardy Stefanus, dan Danang Sri Radityo. Mereka ditangkap di dua lokasi berbeda.
Menurut dia, pada Rabu (14/12) pukul 12.30 terjadi penyerahan uang dari M Adami dan Hardy kepada Eko di kantor Bakamla Jalan dr Seotomo. Ketika M Adami dan Hardy keluar dari kantor lembaga yang bertugas menjaga keamanan laut itu, kedua penyuap itu ditangkap Tim Satgas KPK di area parkir instansi tersebut.
Penyidik lantas menangkap Eko yang ada di ruang kerjanya. Petugas juga mengamankan uang senilai Rp 2 miliar yang terdiri Dolar Amerika dan Dolar Singapura.
Sejam kemudian, KPK juga menangkap Danang di kantor PT Melati Technofo Indonesia (MTI) di Jalan Imam Bonjol. M Adami, Hardy, dan Danang, merupakan pegawai PT MTI. Mereka berempat digelandang ke kantor KPK.
Menurut Agus, uang suap itu diberikan kepada Eko karena pejabat Kejagung itu dianggap membantu pemenangan proyek pengadaan alat untuk pengamanan laut tersebut. Jadi, tender proyek sudah selesai dan sekarang mulai pelaksanaan.
Dia menyatakan, dalam perkara tersebut, KPK menetapkan Eko, M Adami, dan Hardy, sebagai tersangka. Sedangkan Danang masih berstatus sebagai saksi. Selain itu, kata Agus, pihaknya juga menetapkan Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah sebagai tersangka.
Agus menyatakan, M Adami, Hardy dan Fahmi sebagai pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat 1huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20/2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sedangkan Eko sebagai penerima disangkakan dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20/2001.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyatakan, nilai anggaran pengadaan alat monitoring satelit mencapai Rp200 miliar. Awalnya, kata dia, anggarannya sebesar Rp 400 miliar. Tapi, akhirnya ada pemangkasan anggaran, karena ada upaya penghematan yang dilakukan pemerintah. Hanya program prioritas yang dimasukkan dalam APBN-P.
“Ternyata tetap saja dikorupsi,” ungkap dia.
Dalam korupsi pengadaan alat monitoring satelit itu, Eko meminta commitment fee 7,5 persen dari nilai proyek Rp 200 miliar. Berarti total fee yang harus disiapkan sekitar Rp 15 miliar. Laode menyatakan, Rp 1,5 miliar merupakan pemberian pertama dari para penyuap.
Alumnus Universitas Hasanuddin Makassar itu menyatakan, pengadaan alat itu sangat strategis untuk pengamanan laut. “Ini sesuatu yang sangat penting,” paparnya. Jika anggarannya dikorupsi, maka akan menganggu program ketahanan negara yang sudah direncanakan dengan matang.
Jubir KPK Febri Diansyah menyatakan, empat orang yang dijadikan tersangka belum semuanya ditangkap KPK. Yaitu, Fahmi Darmawansyah. Sampai sekarang Fahmi masih menjadi buron.
“Kami masih mencari,” ucap dia. Pihaknya belum mengetahui keberadaan pengusaha itu sekarang. Dia meminta Fahmi proaktif dan menyerahkan diri ke KPK.
Fahmi diketahui merupakan suami dari artis Ineke Koesherawati, namun Febri belum bisa memberi penjelasan terkait status Fahmi sebagai suami Ineke.
“Kami belum bisa membukanya. Penyidik masih melakukan pendalaman,” tuturnya. Masih banyak informasi yang harus didalami penyidik untuk membongkar kasus itu.
Terkait dengan kabar adanya anggota TNI yang ikut diamankan, menurut dia, jika ada tentara yang terlibat, pihaknya akan menyerahkannya kepada TNI. Pihaknya hanya berwenang menangani masyarakat sipil. KPK akan berkoordinasi dengan TNI dalam penanganan perkara tersebut.
“TNI sangat mensuport KPK dalam penanganan kasus itu,” ucapnya.
Mantan aktivis ICW itu menyatakan, komisi antirasuah juga siap berkoordinasi dengan Kejagung terkait status Eko yang merupakan pejabat Kejagung. “Kalau saat ini, dia kan pejabat Bakamla,” ujarnya.
Penangkapan terhadap Eko mendapat perhatian dari Kejaksaan Agung (Kejagung). Korps Adhyaksa itu ikut angkat bicara menanggapi kasus yang mencoreng nama baik Bakamla tersebut. Sebab, Eko merupakan jaksa yang ditugaskan di instansi yang dipimpin Laksamana Madya TNI Arie Soedewo itu.
Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Widyo Pramono mengakui masih banyak pekerjaan rumah (PR) dalam memperbaiki Kejagung. Masih banyak terjadi korupsi yang dilakukan oknum Kejagung. Baik yang bertugas di lingkungan Kejagung maupun jaksa yang ditugaskan di lembaga lain.
”Di dalam ada, di luar juga ada,” tuturnya.
Apakah korupsi yang terjadi ini sistemik? Widyo menjawab bahwa pimpinan selalu mengarahkan ke perilaku yang baik. Namun, bila ternyata oknum masih ada yang berperilaku jelek tentu harus bertanggungjawab. Jaksa itu jumlahnya mencapai 10 ribu orang, tentu sulit dihindari ada yang melanggar aturan.
”Saya sudah berulang kali berikan wejangan, jangan bermain api. Ternyata, masih saja bermain api,” keluhnya.
Kejadian oknum jaksa kena operasi tangkap tangan (OTT) ini tentu akan menjadi pelajaran bagi semua jaksa. Hukuman tegas akan dilakukan, namun tetap harus berkoordinasi dengan lembaga yang menangkap, KPK.
”Saya sudah minta Asisten Jamwas untuk koordinasi dengan komisi antirasuah,” paparnya kemarin.
Dia menjanjikan, sanksi yang diberikan akan menjadi shockterapi bagi semua jaksa se-Indonesia. ”Saya sudah berulang kali mengingatkan jangan main-main,” tuturnya.
Apa penyebab korupsi yang dilakukan jaksa? Widyo mengaku perlu untuk menelusurinya lebih dalam. Namun, biasanya karena ingin cepat kaya, melihat yang lain enak. Oknum juga ingin secepatnya merasakan itu.
”Tapi, seharusnya tidak boleh melanggar aturan apapun,” paparnya.
Dia mengakui, mengenal oknum jaksa yang menjadi tersangka kasus korupsi tersebut. Namun, tidak terlalu dalam mengenal pribadinya.
”Ya, kenal, tapi gak kenal-kenal amat,” papar mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus tersebut.
Sementara itu, keberhasilan KPK yang melakukan OTT terhadap Eko Susilo Hadi, pejabat Bakamla yang merupakan lembaga di bawah Kemenkopolhukam tersebut, mendapat apresiasi oleh Menko Polhukam Wiranto. Dia mengatakan bahwa penangkapan tersebut telah menambah panjang daftar kasus korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (apgakum), dan kemudian terungkap oleh KPK.
Menurutnya, meski miris namun hal tersebut dapat menjadi indikasi yang positif bagi pemerintah yang tengah melakukan bersih-bersih di lembaga penegak hukum, salah satunya di Bakamla. “Karena itu saya justru bersyukur bahwa di tubuh Bakamla atau Kepolisian, ternyata melakukan OTT di sana itu bukan sesuatu yang mustahil,” kata Wiranto di Kemenkopolhukam, Jakpus, kemarin.
Wiranto juga mengatakan bahwa penangkapan yang dilakukan oleh KPK tersebut sejalan dengan semangat Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) dalam memberantas praktek pungli di lingkungan pemerintah, termasuk terhadap aparat penegak hukum.
“Kita tidak pandang bulu. Saya juga ingin katakan bahwa yang pertama itu aparat yang harus dibersihkan dulu,” ujarnya.
Menurutnya, tidak mungkin melakukan bersih-bersih di berbagai instansi jika aparat penegak hukumnya masih dirong-rong oleh oknum yang melakukan pungli atau korupsi. “Tidak mungkin kita melakukan bersih-bersih dengan sapu yang kotor,” imbuhnya.
Diberitakan sebelumnya, Eko merupakan jaksa senior di Kejaksaan Agung (Kejagung) yang ditugaskan di Bakamla. Selama menjadi jaksa dia pernah berdinas sebagai Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejati Bangka Belitung pada 2010 dan Kepala Kejari (Kajari) Kualatungkal, Jambi pada 2007. Di Bakamla, dia pernah merangkap sebagai Plt Sekretaris Utama (Sestama) yang merupakan orang kedua di Bakamla.
Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Soedewo membenarkan penangkapan tersebut. Kata dia, informasi penangkapan itu disampaikan kepadanya Rabu (14/12) sekitar pukul 15.00. Saat itu, Arie tengah berada di Gedung Pola, yang juga kantor Bakamla, untuk mengurusi persiapan peringatan ulang tahun Bakamla kemarin (15/12).
“Saya dapat kabar yang bersangkutan ditangkap KPK karena pungli. Selain yang bersangkutan, ada staf beliau dan pihak penyuap juga (yang diamankan, Red.),” ujarnya di kantor Bakamla.
Arie mengaku cukup kaget dengan informasi penangkapan tersebut. Sebab, Eko sendiri sudah mengajukan izin tidak bisa mengikuti persiapan peringatan ulang tahun Bakamla karena ada saudara yang meninggal dunia.
Arie menambahkan, bila yang bersangkutan nantinya benar ditetapkan tersangka maka pihaknya akan langsung memulangkannya ke pihak Kejagung. Eko sendiri sudah empat tahun bekerja di Bakamla. (Jawa Pos/JPG)