Menjernihkan Perkara Tanaman Kratom

Oleh: Agustinus, S.S.

Agustinus, S.S.

eQuator.co.id – Menarik untuk kita respons bahwa Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji di berbagai media lokal maupun nasional menyampaikan bahwa potensi tanaman kratom sangat besar dan bisa menjadi alternatif penghasilan bagi warga Kalbar khususnya masyarakat yang berada di daerah Kapuas Hulu. Hal ini ditanggapi Pak Gubernur karena isu tanaman kratom masih menjadi polemik di masyarakat.

Salah satu kasus yang membuat heboh para petani kratom di Kapuas hulu adalah beredarnya di media sosial soal surat yang berisikan simpulan rapat koordinasi pemerintah bersama The American Kratom Association (AKA) 14 Juni 2019 di Badan Karantina Pertanian. Setidaknya, ada lima poin utama hasil koordinasi tersebut.  Pertama, Badan Narkotika Nasional akan mengirimkan Surat Edaran kepada Kementerian/Lembaga (K/L) perihal pengawasan dan/atau pelarangan penggunaan dan peredaran termasuk impor dan ekspor tanaman kratom dalam bentuk apa pun, sebagai bahan penyusunan kebijakan K/L terkait.

Kedua, Badan Pengawasan Obat dan Makanan telah menerbitkan peraturan yang melarang kratom digunakan dalam; obat tradisional herbal terstandar dan fitofarmaka (Perka BPOM 2015); obat tradisional dan suplemen kesehatan (Keputusan Kepala BPOM 2014); obat tradisional dan suplemen kesehatan (Surat Edaran Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen tahun 2016), dan; pangan olahan (Peraturan Kepala BPOM Nomor 7 Tahun 2018 tentang Bahan Baku yang Dilarang dalam Pangan Olahan.

Ketiga, Menteri Pertanian telah menerbitkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 140 Tahun 2019 tentang Perizinan Perkebunan, yang menyatakan bahwa kratom tidak termasuk tanaman binaan Direktorat Jenderal Perkebunan. Keempat, Badan Karantina Pertanian akan menyusun pedoman pengawasan dan tindakan karantina untuk tanaman kratom dan produknya, sebagai pengganti Surat Edaran Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 8111/HM.110/L/05/2013 tanggal 27 Mei 2013.

Kelima, forum rapat menyepakati perlu dilakukan pertemuan koordinasi lanjutan yang melibatkan Kementerian/Lembaga terkait yang menangani isu pengawasan, penggunaan, dan peredaran tanaman kratom.

Beredarnya surat tersebut di Medsos, walaupun  hanya sebatas notulensi cukup membuat ketar-ketir para petani yang mengetahuinya. Informasi ini memang diamini oleh Kepala  Seksi Pengawasan dan Penindakan Balai Karantina Pertanian Pontianak, Taryu yang mengatakan surat tersebut benar. Namun, hanya sebatas notulensi hasil rapat dan belum ada edaran secara resmi ke institusi pemerintah.

Sestama BNN RI, Irjen Pol Adhi Prawoto menjelaskan bahwa tanaman kratom ini memang mengandung zat aktif mitragyna speciosa, dari keluarga rubiaceae dan bahan aktif utama kratom adalah alkaloid mitragini dan 7-hydroxymitragynine yang terbukti dapat memberikan efek analgesik, antiinflamasi serta pelemas otot. Tetapi melihat pertimbangan sosial ekonomi masyarakat di Kalimantan Barat, maka akan dilakukan percepatan regulasi mengenai tanaman kratom ini. Dengan pemberlakukan bertahap selama 5 tahun akan dilakukan alternatif development atau penggantian tanaman dan perlu sosialisasi yang terstruktur kepada masyarakat.

Perlu juga para petani kratom ketahui bahwa Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) pernah mengeluarkan edaran terkait pelarangan peredaran kratom. Nah, edaran yang dikeluarkan oleh BBPOM pada tahun 2016 lalu itu hanya berupa pelarangan pengunaan kratom yang dikemas sebagai obat tradisional dan suplemen kesehatan. Sedangkan pelarangan lainnya belum ada aturannya.

Untuk menjernihkan persoalan tanaman kratom ini agar tidak membuat khawatir di kalangan petani maka regulasi-regulasi yang akan disusun harus benar-benar adil dan mempertimbangkan juga kehidupan ekonomi, khususnya petani kratom yang sudah menggantungkan hidupnya dari tanaman ini.

Ditinjau dari sudut kekayaan alam di Kalimantan Barat, maka keberadaan tanaman kratom menjadi sangat penting untuk menghidupi  sisi ekonomi masyarakat. Bahkan, hasil jual daun kratom menjadi pilihan utama banyak keluarga, khususnya di Kapuas Hulu karena tanaman karet tidak lagi menguntungkan. Pernyataan Gubernur Sutarmidji pun memberikan secercah harapan, bahwa potensi kratom ini janganlah dimatikan tapi justru dicarikan solusinya. Bahkan, tanaman kratom bisa dijadikan komoditas tanaman obat-obatan yang mampu memberikan penghasilan kepada masyarakat.

Jika merujuk pada penjelasan Sestama BNN RI, Irjen Pol Adhi Prawoto bahwa pemerintah akan segera membuat regulasi berdasarkan hasil penelitian dan rekomendasi, maka ada beberapa hal yang perlu juga dipertimbangkan dengan baik mengingat hajat hidup masyarakat, khususnya petani kratom.

Pertama, jika pemerintah ingin menggantinya dengan alternatif tanaman lain maka diperlukan kajian yang matang dan komprehensif sehingga para petani tidak dirugikan. Jika perlu, expert-expert dari IPB/ITB perlu didatangkan untuk melihat struktur tanahnya, sehingga tanaman yang dipilih juga memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat.

Kedua, jika memang tanaman kratom ini memang dikategorikan sebagai tanaman narkotika maka diperlukan penjelasan dan sosialisasi yang terstruktur dan informatif kepada petani sehingga bisa memberikan pemahaman tentang dampaknya bagi kesehatan. Ketiga, pemerintah perlu membuat regulasi yang adil. Bisa saja alternatifnya begini, jika pemerintah tetap ingin menghidupkan ekonomi masyarakat lewat legalisasi tanaman kratom, maka harus ada penegasan dalam aturan hukumnya bahwa tanaman ini tidak boleh diproduksi dalam bentuk obat atau narkoba, hanya bisa dijual untuk dikelola negara.

Belajar dari negara negara lain seperti, perdagangan koka di negara Bolivia, Peru, dan Colombia. Pemerintah bisa belajar mengikuti kebijakan Bolivia dan Peru dalam hal menangani persoalan tanaman koka yang dianggap sebagai bahan baku kokain. Kita mengetahui bahwa tanaman koka dan daun koka itu ilegal sesuai UU Narkotika Internasional Tahun 1961 yang dikeluarkan PBB.

Dulunya, Bolivia dan Peru mengikuti Amerika Serikat (ditekan Amerika Serikat)  yang berusaha memusnahkan tanaman koka karena koka adalah bahan baku kokain, tetapi apa yang terjadi mereka justru kewalahan dan kesusahan menghabisi tanaman koka sebagai tanaman asli di negara tersebut. Selain faktor koka sebagai tanaman asli di Bolivia dan Peru, ada faktor lain yang membuat sulitnya pemusnahan tanaman koka, yaitu tradisi mengunyah daun koka yang dilakukan orang-orang di Bolivia dan Peru. Tradisi mengunyah koka ini sudah ribuan tahun sebelum penemuan kokain dan sebelum adanya penyalahgunaan kokain. Jadi, sangat susah membuang tradisi pengunyahan daun koka yang telah mengakar kuat dan turun temurun di masyarakat Bolivia dan Peru .

Karena faktor  alam yaitu tanaman koka sebagai tanaman asli, serta faktor tradisi kunyah daun koka maka Peru dan Bolivia segera mengubah kebijakan dengan melegalkan tanaman koka untuk mengunyah, tetapi Peru dan Bolivia tetap melarangnya dalam bentuk penggunaan dan industri kokain. Bolivia dan Peru secara bertahap bisa mematikan perdagangan kokain karena petani – petani koka hanya menyerahkan hasil koka kepada asosiasi pertanian yang dikelola oleh negara. Kebijakan ini membuat petani koka untung karena daun koka dibeli lebih mahal dibanding oleh kartel kokain. Peru ataupun Bolivia pun tetap jadi negara eksportir terbesar daun koka di dunia. Kebijakan Peru dan Bolivia ini telah berhasil mengurangi perdagangan kokain tanpa merugikan petaninya, dan tidak merugikan masyarakat yg sudah lama melalukan tradisi mengunyah koka serta  memperkecil biaya operasi perang terhadap kokain.

Kembali ke persoalan kratom di Kalbar, intinya jika pemerintah sebagai tulang punggung rakyat akan membuat regulasi tentang tanaman kratom maka diperlukan analisis yang benar-benar menguntungkan dari kedua belah pihak, baik dari sisi legalisasi, kesehatan, dan dampak ekonominya bagi masyarakat Kalbar. Semoga.

*Guru/Pendidik SMP & SMA Santo Fransiskus  Asisi Pontianak, Alumnus Universitas Sanata Dharma