Dunia penerbangan tidak hanya terdiri dari pilot dan pramugari saja. Di darat ada petugas-petugas yang mengatur lalu lintas pesawat. Kesalahan jangan sampai dilakukan.
FERLYNDA PUTRI, Tangerang
eQuator.co.id – ADA 10 orang yang bekerja di ruangan itu. Masing-masing fokus dengan mikrofon, layar, dan kertas-kertas laporan yang besarnya hanya selebar penggaris.
Mereka harus mencatat dan memonitor pesawat yang berada di sekitar bandara. ”Harus hafal lokasi parkir, taxiway, runway,” ungkap Lestari Catur Wulandari Rini, salah seorang air traffic controller (ATC).
Pada Senin tiga pekan silam lalu itu (19/3), Jawa Pos berkesempatan mengintip dapur para petugas pengantur lalu lintas pesawat di Bandara Soekarno Hatta (Soetta), Tangerang. Mereka memang seperti bekerja di balik layar. Jarang disorot.
Padahal, memainkan peran vital dalam keselamatan penerbangan. Dan, karenanya, menuntut konsentrasi sangat tinggi.
Yang bertugas di Soetta tantangannya malah lebih berat lagi. Sebab, Soetta adalah bandara yang sangat sibuk. Terpadat ketiga di dunia. Dalam satu jam maksimal ada 81 kali pergerakan pesawat. Bahkan pemerintah berencana menambah slot menjadi 100 kali pergerakan.
Di Soetta, para ATC atau pengatur lalu lintas udara terbagi ke dalam tiga bagian. ”Bagian tower (TWR), Approach Control (APP), dan Area Control Center (ACC),” tutur Rini yang mendampingi Jawa Pos berkeliling.
Peraturan pertama untuk masuk ke ruang kerja ATC adalah mengheningkan telepon. Sebab mikrofon yang digunakan untuk komunikasi dengan pilot sangat peka dengan suara.
Aturan kedua adalah tidak boleh ngajak ngobrol yang sedang kerja. Mereka harus benar-benar fokus sebab berkaitan dengan keselamatan pesawat. Ketiga, tidak boleh memotret menggunakan flash. Cahaya dari flash bisa memecah fokus juga.
TWR berada di bagian paling atas tower. Jika di lihat dari luar, ruang kerja TWR seperti gardu pandang. Kaca-kaca besar mengelilingi ruangan tersebut. Petugas di sini memang bertujuan untuk memantau pesawat yang dapat terlihat dengan mata. Biasanya pesawat yang mau landing, take off, dan sedang parkir.
Perempuan 43 tahun yang menjabat sebagai supervisor APP itu memberi contoh pesawat Lion Air yang kebetulan akan parkir. Dari pantauan mata terlihat ada garis bertuliskan A1, A2 hingga A7.
A1, A2, hingga A7 itu merujuk kepada slot parkir. Pesawat Boeing tersebut akan parkir ke A6.
”Berarti harus ada komunikasi dengan pilot agar pesawat itu parkir dan di sekitarnya tidak boleh ada pergerakan. Takutnya tidak cukup dan senggolan,” katanya.
Sedangkan untuk daerah yang tidak terlihat dengan mata, misal sekitar Terminal 3 Soetta, petugas mengandalkan CCTV. Nah untuk pesawat yang akan mendarat , petugas biasanya melihat dari monitor.
Di monitor, pesawat hanya berbentuk titik dan kode yang berupa angka dan huruf. Biasanya terdiri dari kode pesawat, ketinggian dan kecepatan, serta datang atau pergi.
Walaupun di udara tidak ada jalan seperti angkutan darat, petugas memiliki rute yang harus diikuti pesawat. Rute itu di monitor petugas digambarkan sebagai titik-titik memanjang.
Di ruangan tersebut juga terdapat sofa besar. Bisa digunakan untuk tidur dua orang. Sofa warna krem itu memang digunakan untuk beristirahat.
Bekerja di tempat ini memang tidak boleh terlalu lelah. Kelelahan bisa menurunkan konsentrasi. ”Setiap 1,5 jam atau maksimal dua jam harus istirahat,” katanya.
Betapa mereka yang bekerja di dapur pengaturan lalu lintas udara ini dituntut berkonsentrasi penuh bisa dilihat dalam film Pushing Tin (1999). Dalam film itu diceritakan betapa tingginya tingkat stres para ATC di salah satu bandara tersibuk di Amerika Serikat yang berlokasi di New York.
Dibumbui persaingan antara Nick Falzone (John Cussack) dengan Russell Bell (Billy Bob Thornton), di film karya Mike Newell itu singgung bagaimana sekitar 50 persen rekrutan baru memilih mundur. Sebab, mereka tak tahan tekanan.
Itu sebabnya pula, sebelum masuk ke ruang kerja TWR, ada ruangan yang memang disediakan khusus untuk istirahat. Ada sebuah TV dengan Playstation (PS).
Ada tiga petugas yang saat itu sedang beristirahat dan main PS. ”Ada ruangan untuk tidur juga,”kata Rini.
Sebelum bekerja biasanya ada dokter yang memeriksa kesehatan. Dokter akan melakukan cek tensi darah. Kalau kurang fit, dianjurkan untuk istirahat terlebih dahulu.
Untuk itu, setiap ATC diwajibkan menjaga kondisi tubuh. Misalnya dengan menjaga pola tidur. Mood juga mesti dijaga benar agar jangan sampai mengganggu konsentrasi.
Apapun yang terjadi di rumah, misalnya, harus ditinggal di rumah. ”Kalau anak sakit, kita percayakan dengan yang di rumah saja. Kecuali dalam keadaan gawat seperti harus ke rumah sakit atau yang meninggal,” tutur Rini yang memiliki tiga buah hati itu.
Untuk waktu libur, biasanya tiga hari masuk kerja bisa libur satu hari. “Tanggal merah masuk dan kalau lebaran nanti biasanya tukar waktu dengan teman. Pokoknya saling mengerti,” ucapnya.
Dia pun merasa beruntung karena keluarganya tidak banyak memberikan tuntutan. “Anak-anak sudah biasa sejak kecil,” imbuhnya.
Muhammad Guntawan, ATC senior yang kini bertugas di ACC menyebutkan kalau bekerja di TWR lebih bikin deg-degan. Sebab, harus mengatur pesawat mau landing dan take off. Sementara Soetta adalah bandara yang padat.
“Saya punya penyakit jantung, jadi tidak cocok di TWR,” kelakar bapak satu anak itu.
Namun, tidak setiap jam dalam keadaan tegang. Siang hingga sore biasanya sedikit pergerakan pesawat di Soetta. Sehingga petugas bisa sedikit lebih santai.
”Bekerja di sini harus bisa dibuat fun. Jangan sampai ada masalah dengan rekan kerja sebab ini kerja tim,” ujar Rini yang merupakan alumnus Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug itu.
Selain komunikasi dengan rekan kerja, komunikasi dengan pilot harus juga terjalin baik. ”Ada juga yang tidak masuk bandara tapi berada di kawasan udara kita. Itu juga harus ada komunikasi,” ucapnya.
Komunikasi dengan pilot ini memang bukan seperti percakapan ngobrol sehari-hari. Petugas ATC hanya memberikan informasi bagaimana pergerakan pesawat, cuaca, dan kondisi lalu lintas di udara maupaun di bandara. Mereka lebih banyak berbicara menggunakan sandi-sandi.
Misal untuk huruf A disebut alfa, C disebut Charlie, dan untuk angka disebut dengan pengucapan Bahasa Inggris. ”Harus benar-benar peka. Sebab sering pelafalannya lain,” ungkap Rini.
Kemampuan bicara ini juga harus disertai kemampuan menulis yang cepat. Jadi, ketika mulut sedang bicara, tangan harus menuliskan laporan. Pada saat-saat tertentu juga harus membuat solusi dengan singkat. Hitungannya hanya detik.
Dari ruang TWR, Rini lantas mengajak Jawa Pos ke ruang APP yang satu lantai dengan ACC. Ruangan kerja tersebut berbeda, tidak ada kaca besar dan memang lebih gelap.
Di ruangan ini terdapat banyak monitor untuk memantau pergerakan pesawat. Hal yang dikerjakan para petugas hampir sama dengan ATC di TWR. Yang berbeda adalah mengenai ketinggian pesawat. Untuk alasan itu pula mereka memantau dengan monitor sebab pesawat tidak terlihat dengan mata.
Tory Tri Ruknomo, manajer perencanaan dan evaluasi TWR-APP Kantor Cabang JATSC, menjelaskan, pekerjaan sebagai ATC bergantung pada kekompakan tim. Sebab, satu pesawat tidak hanya ditangani satu ATC.
Ibarat pesawat itu tongkat estafet, ATC adalah atlet yang berada dalam lintasan. “Apabila ATC sudah masuk Ruang Operasi Control, segala permasalahan, baik itu permasalahan keluarga ataupun dengan rekan sejawat, harus dilepaskan dahulu,” ujarnya.
Upgrade kemampuan juga harus rutin dilakukan. Untuk meningkatkan kapasitas, tiap enam bulan sekali para ATC menjalani performance check. Dalam kegiatan tersebut, para ATC diuji kompetensinya. Dinilai oleh seorang check controller.
“Passing mark nilai 70,” tutur Tory.
Dengan segala tuntutan kualifikasi dan tekanan itu, baik Rini maupun Guntawan mengaku sangat menikmati pekerjaan mereka. Meski mereka juga mengaku sangat down jika ada kecelakaan pesawat. Dan, itu tak dialami satu-dua orang saja. Tapi, seluruh tim.
“Kami turut ditanya-tanya. Investigasinya lama dan membuat tidak nyenyak tidur,” ungkap Guntawan. (Jawa Pos/JPG)