Mengapa Sepak Bola Bisa Seemosional Ini?

KECEWA. Ekspresi Suporter Inggris usai tim kebanggannya kalah dari tim Kroasia pada pertandingan semifinal Piala Dunia 2018 di Stadion Luzhniki, Moscow, Rusia, Rabu (11/7). Angger Bondan/Jawa Pos
KECEWA. Ekspresi Suporter Inggris usai tim kebanggannya kalah dari tim Kroasia pada pertandingan semifinal Piala Dunia 2018 di Stadion Luzhniki, Moscow, Rusia, Rabu (11/7). Angger Bondan/Jawa Pos

eQuator.co.id – SETENGAH jam sudah pertandingan semifinal Piala Dunia 2018 antara Inggris melawan Kroasia berlalu. Saya telah beranjak dari tempat duduk. Namun, saya belum mau hengkang dari Stadion Luzhniki. Saya masih ingin menikmati sisa-sisa euforia yang masih belum hilang dari pertandingan yang berlangsung dramatis dan menegangkan itu.

Saya lantas berjalan ke deretan bangku paling bawah, menuju tempat berkumpulnya suporter Kroasia. Sama seperti saya, ribuan orang berbaju merah putih kotak-kotak itu juga enggan meninggalkan stadion. Mereka masih ingin berlama-lama, sepuas-puasnya merayakan kemenangan timnya.

Saya juga ingin mengetahui bagaimana sih kebahagiaan fans yang tim nasionalnya berhasil menembus final Piala Dunia. Dan ternyata, apa yang saya rasakan jauh melebihi apa yang sebelumnya saya bayangkan.

Aura kebahagiaan suporter Kroasia cepat menyebar dan menulari saya. Mereka menyanyi dan bersorak-sorak penuh semangat dalam kata-kata yang sama sekali tidak saya mengerti. Namun karena kebahagiaan adalah bahasa yang universal, melintas batas bangsa, negara, ras, dan agama, maka saya juga merasa happy. Mereka mengajak saya berpelukan dan berfoto bersama.

Sebaliknya, fans Inggris terlihat sangat terpukul dan sedih. Impian mereka untuk melihat negaranya ke final Piala Dunia setelah 52 tahun, kembali gagal terwujud. Saya memahami betapa mereka frustrasi. Unggul dulu 1-0, harapan membumbung sangat tinggi, namun pada akhirnya dibanting keras-keras ke tanah Luzhniki.

Sepanjang pertandingan, beberapa di antara mereka mengumpat dan menyumpah-nyumpah. Setelah wasit asal Turki Cuneyt Cakir (idola lama saya, hehehe) meniup peluit tanda pertandingan berakhir, satu gelas plastik yang berisi bir melayang tepat di atas kepala saya. Tetesan airnya sedikit mengenai pundak saya. Tetapi ya sudah. Begitu saja. Orang-orang Inggris lain memeloti sang pelempar, alih-alih ikut-ikutan melontarkan gelasnya ke lapangan. Sang tersangka terlihat malu karena aksi tidak beradabnya tersebut tidak mendapatkan dukungan dari kawan-kawannya.

Tak lama setelah itu, ada momen yang begitu membuat saya merinding. Ribuan suporter Inggris kompak bernyanyi Don’t Look Back in Anger, sebuah lagu superpopuler dari band asal Manchester, Oasis. Melupakan semua kesedihan, fans Inggris dengan semangat mengikuti lagu yang dihasilkan pengeras suara Luzhniki Stadium tersebut. Ketika lirik ”Slip inside the eye of your mind…” mulai mengalun, secara refleks saya ikut bernyanyi keras-keras penuh dengan semangat.

Saat lagu sampai pada bagian chorus, ”And soooooo, Sally can wait, she knows it’s too late as we’re walking on by”, tidak terasa air mata saya meleleh. Entah mengapa, saya merasa sangat terharu malam itu. Mengapa sepak bola bisa bikin orang seemosional ini? Padahal saya bukan pendukung Inggris.

Ketika beranjak keluar stadion, dua kelompok suporter serta para penonton dari negara-negara netral membawa pulang perasaaanya masing-masing. Kroasia masih tetap gembira. Sedangkan fans Inggris tidak terlihat begitu sedih dan terpuruk. Fans yang punya citra resek dan suka bikin ulah itu ternyata tidak mengekspresikan dukanya dengan cara merusak dan merugikan orang lain.

”Saya memang kecewa, namun sangat bangga kepada Inggris. Mencapai semifinal untuk tim semuda ini adalah pencapaian penting dan luar biasa,” kata Smith McDonald, seorang fans Inggris asal London. ”Kami sempat unggul sampai sekitar 70 menit, lalu saya melihat pemain kami sangat kelelahan. Apapun itu, mereka sudah berjuang dan saya bangga,” imbuh dia.

Ketika saya sampai di hotel pukul 01.00 dini hari, suasana bar masih ramai. Saya lantas nongkrong dengan beberapa fans Inggris dan mendengarkan kesan mereka paska pertandingan. Yang jelas, meski berat, mereka menerima hasil ini.

”Saya sedih. Tapi ya sudah, mau bilang apa lagi,” ucap Craig Walker, pendukung Inggris, juga dari London. ”Generasi emas kami itu sebetulnya di Piala Dunia 2006. Di sana ada Steven Gerrard, Frank Lampard, David Beckham, Wayne Rooney, Rio Ferdinand dan lain-lain. Semoga tim muda ini tetap solid dan kami bisa mencapai final di Qatar 2022,” harap pria yang mengaku pendukung Queens Park Rangers tersebut.

Malam itu, kami ngobrol hingga hampir subuh. Setelah itu, kami bubar, kembali ke kamar masing-masing. Pertandingan sudah berlalu, namun perasaan dan kenangan tersebut saya kira akan tetap bertahan selamanya. Di benak saya. Di benak mereka. (Ainur Rohman)