eQuator.co.id – Sebuah tanda tanya besar ketika tercetus wacana Presiden Joko Widodo untuk merekrut figur muda di kabinet pemerintahannya. Tidak tanggung-tanggung kisaran usia 20 sampai 30 tahun (Kompas,2/7/2019).
Menelusuri sejarah tentang menteri termuda pasca reformasi adalah usia 34 tahun pada masa pemerintahan Abdurraman Wahid (1999-2001). Sementara usia para menteri di Indonesia saat dilantik berkisar antara 51-56 tahun dan bahkan ada yang berusia 66 tahun. Tentunya usia tersebut menunjukkan kematangan emosional, kemampuan manejerial yang mumpuni serta kepekaan dalam berpolitik yang sudah tidak diragukan lagi.
Namun demikian bukanlah hal yang mustahil jika ada figur muda yang memiliki kompetensi dan rekam jejak yang baik, dapat menduduki kursi kabinet mendatang. Presiden mengisyaratkan bahwa figur muda yang dimaksudkan adalah figur yang memiliki karakter eksekutor program yang kuat. Namun perlu juga menjadi pertimbangan adalah bagaimana efektifitas kerja-kerja pemerintahan dibawah kepemimpinan menteri muda. Menjalankan amanat Negara tidak seperti memimpin sebuah perusahaan. Proses komunikasi, pengelolaan birokrasi, kebijakan, koordinasi, relasi dengan parlemen serta relasi dengan menteri lainnya menjadi perhatian utama bagi para figur muda ini.
Sebelum mencetuskan ide untuk merekrut menteri muda di kabinet, Presiden pasti sudah mempertimbangkan dengan sangat matang. Pada periode pertama pemerintahannya public dikejutkan dengan langkah pak Jokowi saat merekrut menteri Perikanan Susi Pujiastuti yang kala itu banyak disoroti terutama kaum akademisi. Namun kenyataannya Susi memanglah orang yang paling tepat pada jabatan itu walau hanya bermodalkan ijazah SMP. Pengalaman dan keberanian ibu Susi bisa melakukan revolusi bidang kelautan dan perikanan tanah air. Berani melakukan terobosan untuk menindak tegas kapal penangkap ikan dari negeri jiran yang melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia. Kebijakan perlindungan terhadap nelayan tanah air juga menjadi semakin diperhatikan. Keberhasilan Menteri kelautan ini pula mengundang perhatian masyarakat dunia. Beberapa kali beliau diundang sebagai pembicara di beberapa Universitas ternama di Amerika Serikat. Bermodalkan ijazah SMP ternyata bukan patokan untuk mampu tidaknya seseorang memimpin kabinetnya, melainkan kompetensi yang dimiliki seseoranglah yang menghantarkannya untuk bisa menjadi pemimpin sejati.
Demikian juga halnya dengan keinginan menempatkan menteri muda dalam kabinet kerja mendatang. Secara teknokratik, presiden akan melakukan penilaian terhadap calon menteri yang diinginkan. Mengingat penentuan calon menteri menjadi hak prerogatif presiden maka melalui berbagai pertimbangan penting maka figur yang diinginkan ditetapkan oleh presiden. Apakah memang usia menjadi pertimbangan atau tidak, perkara itu ada di tangan presiden.
Meskipun penentuan itu ada di tangan presiden, masukan dari partai politik dan juga masyarakat umum perlu dipertimbangkan. Menteri sebagai pembantu presiden diharapkan mampu melakukan tugasnya dengan kompetensi yang dimilikinya. Jika memang kompetensi yang diinginkan dapat terpenuhi mengapa tidak figur muda yang menjadi pilihan. Penempatan figur muda tidak hanya karena energik dalam melakukan tugas dan fungsinya namun juga regenerasi kepemimpinan sangatlah penting. Generasi muda dipersiapkan secara matang. Mata rantai peralihan kepemimpinan dari generasi ke generasi berikutnya tersambung dengan baik.
Pertanyaannya adalah apakah berasal dari partai politik atau professional? Apapun pilihan itu pasti ada sisi baik dan sisi lemahnya. Kalangan politikus muda masih memiliki idealisme yang tinggi untuk pembangunan bangsa. Mereka pastinya telah mempersiapkan diri dalam hal perencanaan pembangunan melalui visi misi mereka saat terjun ke dunia politik. Ada keinginan intuk memperbaiki kondisi yang masih perlu perhatian untuk mendapat sentuhan pembangunan. Baik yang sifatnya infrastruktur maupun sumberdaya manusianya.
Akan tetapi bukannya tidak mungkin pula adanya kontaminasi kegiatan oknum politikus yang kerap kali mencari keuntungan pribadi. Idealisme menjadi tergerus hanya karena ingin mengembalikan ongkos politik yang begitu tinggi. Alih-alih membangun bangsa, tetapi praktiknya jauh dari kemaslahatan. Tarik menarik kepentingan akan berpengaruh pada kinerja menteri terutama kepentingan partai pendukung kerap kali menjadi alasannya.
Kalangan professional dapat menjadi eksekutor handal dalam mengeksekusi program pembangunan. Mereka mengandalkan pengalaman lapangan dalam melakukan tugas dan fungsinya. Pengalaman lapangan menjadi penentu untuk melakukan proses eksekusi program berikutnya. Namun demikian jika tidak menyesuaikan dengan kultur birokrasi yang ada di negara ini maka mereka dapat tersangkut masalah yang serius. Maka jika pilihan itu jatuh pada kalangan professional maka perlu memperhatikan dan memperbaiki kultur birokrasi yang ada.
Alangkah lebih baik jika berasal dari kalangan professional yang menjadi politikus. Selain menguasai bidang yang ditanganinya, juga menguasai tata laksana pemerintahan dengan baik. Mampu mengidentifikasi kebutuhan yang menjadi skala prioritas dengan pola birokrasi yang tepat. Mekanisme birokrasi yang menghambat laju kerja dilakukan revisi melalui produk peraturan menteri yang tidak bertentangan dengan undang-undang. Atau melakukan komunikasi intens dengan parlemen untuk produk undang-undang yang dapat membantu proses kerja kementerian agar tidak cacat hukum.
Kehadiran figur muda dalam mengisi kursi kabinet sangat ditunggu-tunggu publik tanah air. Gebrakan- gebrakan yang akan dihasilkan oleh menteri muda membuat kita penasaran untuk menyaksikannya. Akankah menteri muda dapat menjadi eksekutor handal dalam pembangunan atau figur muda hanya sebagai simbolis dalam perpolitikan kita? Pertanyaan ini akan segera terjawab jika wacana presiden untuk menempatkan menteri muda telah diwujudkan.
Penulis : Waka Kurikulum SMA Santo Fransiskus Asisi, Pontianak
Guru Bahasa Inggris di SMP&SMA Santo Fransiskus Asisi, Pontianak