Sudahkah kita merasa merdeka dalam mengeyam pendidikan di Indonesia? Tentu jawabannya akan beragam, sesuai tingkat kepuasan kita terhadap pelayanan pendidikan di daerah masing-masing.
Ketika pelayanan pendidikan mampu membantu anak menemukan dan mengasah potensi dirinya, membangkitkan kekuatan dalam diri setiap anak, pendidikan berjalan sesuai dengan maknanya. Sehingga menciptakan manusia-manusia yang tanguh dan cerdas, maka kemungkinan jawaban “puas” akan lebih banyak daripada “tidak puas”.
Pertama-tama harus ditegaskan, dunia pendidikan adalah dunia yang ramah, anti segala bentuk kekerasan, kecurangan, apalagi diskriminatif. Pendidikan harus merdeka dari semua itu. Siapapun harus mendapatkannya, tanpa persyaratan apapun.
Pendidikan disebut meredeka bila tidak ada tes kemampuan. Karena apapun kondisi manusia, baik yang mampu atau tidak, pintar atau tidak, harus dibina tanpa membeda-bedakannya. Sayangnya itu belum terwujud di pelosok negeri, terpencil, dengan sarana seadanyanya dan guru yang tidak sesuai kuota.
Selama ini banyak sekolah yang memenjara kemerdekaan anak yang ingin bersekolah di sekolah yang mereka dambakan. Berdalih dengan status unggul, banyak sekolah yang tidak mau menerima siswa yang kurang dalam hal akademik .Sehingga banyak anak yang kecewa.
Sekolah tersebut hanya menerima anak yang cerdas, berbakat maupun istimewa, agar prestasi dan prestise mereka tidak turun. Mereka tidak mau bersusah payah mengajar anak yang ‘kurang’.
Alhasil, mereka yang kurang dalam bidang akademik, tidak berbakat, hanya mendapatkan layanan pendidikan seadanya, sekolah di pinggiran dengan sumber manusia nomor dua dan sarana yang terbatas.
Berbanding terbalik dengan mereka yang beruntung, yang dianugerahi kecerdasan atau kepintarannya. Siswa tersebut mendapat sekolah yang lengkap sarananya, serta guru yang berkualitas.
Mengapa anak-anak yang sudah terlihat potensi, bakat dan kecerdasanya harus dilayani dengan istimewa, sementara mereka yang kurang dan mungkin bakat dan kecerdasannya masih terpendam hanya diberikan layanan yang biasa-biasa saja. Bukankah seharusnya dibalik. Berikan sarana yang lengkap dan guru yang berkualitas kepada mereka yang ‘kurang’ untuk menunjang kekurangannya tersebut.
Seperti Batu Akik yang berkilauan dan mahal, awalnya juga terlihat seperti batu biasa yang tidak ada nilainya. Namun karena diasah terus menerus dengan ketekunan dan kesungguhan hati, maka jadi mengkilat dan bernilai.
Hakikatnya, pelayanan pendidikan yang diimpikan masyarakat akan tergantung pada penyelenggaraan pendidikan. Kebijakan-kebijakan pemerintah akan berpengaruh pada kualitas pendidikan kita.
Sebagai pelajaran. Finlandia yang mengalami keterpurukan di era 80-an, melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan negara-negara Eropa dan Amerika. Bukan pula mengutak-atik kurikulum.
Ada tiga hal yang dilakukannya. Pertama, memberlakukan kebijakan pendidikan yang inklusif dengan memberikan pelayanan kualitas prima kepada setiap peserta didik tanpa kecuali, apapun kondisinya.
Kedua, membangun kolaborasi antarguru agar tercipta komunikasi efektif dan intensif antarsesama guru. Kolaborasi sangat menentukan kesuksesan proses pembelajaran.
Melalui komunikasi dan kolaborasi antarguru, maka ia akan dengan mudah membangun komunikasi dengan orangtua, dan pihak-pihak terkait karena adanya unsur saling percaya, dan Ketiga, menciptakan iklim pembelajaran yang menyenangkan.
Tiga langkah ini terbukti ampuh. Finlandia bangkit dari kebangkrutan dan mampu ‘mengawinkan’ antara kebangkitan dunia pendidikan dengan ekonomi yang ditandai dengan meroketnya bisnis alat komunikasi dengan label Nokia. Sekarang negara Finlandia menduduki posisi puncak dalam kualitas pendidikan.
Marikita mewujudkan pendidikan yang bebas dari diskriminatif, menjadikan pendidikan yang berkualitas, kreatif dan inovatif. Seorang guru yang profesional menjadikan siswanya cerdas, mampu bertahan hidup dan mempunyai kemampuan yang menunjang kehidupannya di masa depan.
Jangan putus asa ketika mendapat kesempatan mendidik dan membina siswa yang kurang dalam akademik, karena dengan menjadikan mereka istimewa, sesungguhnya kita sudah berkontribusi bagi masa depan bangsa ini.
Daun pepaya yang pahit saja bisa menjadi masakan yang enak, setelah diolah oleh koki profesional. Lantaran koki yang profesional selalu mempunyai kreasi dan inovasi dalam resep masakan.
Seperti itu juga anak-anak bangsa ini, baik yang pintar, berbakat maupun yang berkebutuhan khusus, membutuhkan guru yang profesional yang dapat mengubah mereka menjadi istimewa.
* Anggota Klub ‘Kapuas Menulis’ dan Pengajar di SD Negeri 32 Sanjan, Kabupaten Sanggau