-ads-
Home Headline Ledakan Lagi Di Polrestabes Surabaya

Ledakan Lagi Di Polrestabes Surabaya

Meristek: Radikalisme Masuk Kampus sejak 1983

LEDAKAN DI MARKAS POLISI. Satuan tim anggota Polrestabes Surabaya hendak mengamankan area steril 200 meter dari lokasi ledakan di pos Polrestabes Surabaya, Senin (14/5). Dipta Wahyu-Jawa Pos
LEDAKAN DI MARKAS POLISI. Satuan tim anggota Polrestabes Surabaya hendak mengamankan area steril 200 meter dari lokasi ledakan di pos Polrestabes Surabaya, Senin (14/5). Dipta Wahyu-Jawa Pos

eQuator.co.idSurabaya-RK. Bom bunuh diri menyasar Mapolrestabes Surabaya kemarin (14/5). Empat anggota polisi dan dua warga sipil terluka akibat serangan tersebut. Lima orang terduga pelakunya yang masih satu keluarga tewas di depan pintu gerbang mapolrestabes.

Para pelaku itu yakni Tri Murtiono, Tri Ernawati, M. Amin Murdana dan M. Satria Murdana. Mereka merupakan keluarga yang tinggal di kawasan Krukah Selatan 11B, Ngagelrejo, Wonokromo.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan bahwa pelaku merupakan satu keluarga. Kejadian tersebut masih berhubungan dengan bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya dan penindakan teroris di Taman Minggu lalu (13/5). “Ini satu keluarga lagi. Yang di tiga gereja juga satu keluarga. Yang di Sidoarjo juga satu keluarga,” jelasnya.

-ads-

Berdasar rekaman CCTV (Closed Circuit Television) yang sempat beredar di kalangan wartawan, tampak jelas aksi mereka terencana dengan matang. Mereka berusaha menerobos pos penjagaan namun dihadang tiga orang petugas. Selain itu, aksinya terhambat oleh mobil Toyota Avanza hitam yang juga hendak masuk ke polrestabes.

Para pengacau itu datang dengan menggunakan dua motor. Murtiono membonceng istrinya, Ernawati di jok belakang dan Aisyah Putri di jok depan dekat kemudi dengan menaiki motor Honda Supra X warna merah bernopol L 5539 G. Sedangkan dua anak lainnya,Amin dan Satria mengendarai motor Honda Beat warna pink bernopol L 6629 MF.

Mereka hendak merangsek masuk melalui pos penjagaan. Namun terhambat oleh mobil Toyota Avanza hitam bernopol W 1885 AZ. Para teroris berbaju koko itu lantas dihadang tiga anggota polisi bersenjata lengkap. Begitu ditanyai, bom diledakkan. Duarr !

Potongan tubuhnya terlempar ke segala penjuru. Kaca mobil di bagian kiri pecah semua. Empat polisi bernama Bripda M. Aufan, Bripka Rendra, Aipda Umar dan Briptu Dimas Indra berusaha melarikan diri meski terkena pecahan kaca. Begitu juga dengan petugas loket tiket kendaraan.

Suasana mencekam. Kepulan asap putih muncul. Juga, ada api yang menjilat di motor pelaku. Dentuman itu membuat seluruh anggota berhamburan menuju halaman Mapolrestabes Surabaya. Mereka mencari tahu apa yang terjadi. Sambil mengenakan rompi anti peluru.

Tampak dalam video, Kasatreskrim AKBP Sudamiran, Kasatresnarkoba AKBP Roni Saiful Fathoni dan Wakasatintelkam Kompol Edy Kresno saling berteriak dan berusaha menolong para anggota. Juga, menolong Aisyah yang sempat berdiri pasca

Piti Werdiningsih, saksi, menyebut terdengar dua kali dentuman sekitar pukul 09.00. Kala itu dia baru saja sampai di kantornya di Jalan Veteran. Tiba-tiba mendengar suara ledakan. “Saya kira petir. Ternyata bom,” ucapnya.

Karyawan perusahaan ekspedisi itu mengaku resah dengan aksi-aksi yang dilancarkan oleh para teroris dua hari terakhir. “Nggak tenang mas. Kemana-mana jadi was-was,” ucapnya.

Seluruh perkantoran yang terletak di Jalan Veteran serentak tutup kemarin (14/5). Berdasar pantauan Jawa Pos, ada dua bank nasional yang memilih tutup. Sebab, mereka menilai keadaan belum aman. Terlebih, sirine mobil polisi dan ambulans sahut menyahut.

Proses penyisiran dilakukan selama hampir tiga jam. Seluruh akses jalan menuju Mapolrestabes Surabaya ditutup. Mulai dari Jalan Kepanjen, Jalan Rajawali hingga di trafficlight menuju Jalan Pahlawan. Barrier dan garis polisi dipasang melintang.

Penjagaan super ketat tiga lapis diberlakukan. Anggota Satbrimob Polda Jatim dan Satsabhara Polrestabes Surabaya dipasang di setiap perimeter berjarak 50 meter.

Pukul 10.06 suara megaphone menggema. Wartawan yang diminta meliput 200 meter di barat pos penjagaan mendengarkan dentuman satu kali. Ternyata, Unit Jihandak Satbrimob Polda Jatim melakukan prosedur disposal. Sebab ada satu bom yang masih aktif.

Mapolrestabes baru bisa dinyatakan steril dan bisa dimasuki wartawan sekitar pukul 17.30. Meskipun sudah dibersihkan, aroma anyir darah di area gerbang masih tercium. Persisnya, aroma itu bercampur dengan bau cairan disinfektan.

Loket tiket yang hancur sudah diangkut dari Mapolrestabes. Hanya palang pintu besi yang tersisa, Itupun juga sudah patah. Hingga pukul 18.00 sejumlah petugas kebersihan masih menyemprot dinding pos penjagaan dengan air.

Dikonfirmasi secara terpisah, Kabidhumas Polda Jatim Kombespol Frans Barung Mangera, menjalaskan saat ini Aisyah Putri masih dalam kondisi shock. Saat ini, dia dirawat di RS Bhayangkara, Polda Jatim. “Masih di sini, sekarang, masih dalam perawatan intensif kami,” ucapnya.

Ada beberapa luka yang dia derita. Ini didapatnya, setelah terlempar hampir 3 meter ke udara akibat hempasan bom. Luka-lukanya diantara lain, memar di beberapa bagian tubuhnya. Yang terpenting, saat ini bocah 8 tahun itu sedang mengalami goncangan psikologis. Karena melihat orang tua, dan kedua kakaknya, meninggal dunia. “Kami sudah melakukan pendampingan terhadap korban, sekaligus dua pelaku selamat yang ada di pengeboman di Sepanjang juga,” tegas perwira dengan tiga melati di pundak itu.

Sebab, Barung menjelaskan, ketiga pelaku selamat itu merupakan saksi kunci. Tentang kasus pengeboman yang ada akhir-akhir ini. Namun, karena masih kecil, pendekatan harus dilakukan secara hati-hati. Agar tidak, membekaskan trauma yang lebih dalam lagi. “Akan kami informasikan lebih lanjut, jika ada perkembangan,” imbuh mantan Kabidhumas Polda Sulsel tersebut.

Terpisah, aksi teror bom yang menyasar gereja di Surabaya serta Mapolrestabes Surabaya diyakini identik. Yakni pelaku melibatkan anggota keluarga. Aksi bom bunuh diri komplit suami, istri, dan anak. Publik lantas dibuat kaget dan bertanya-tanya, kok senekat itu.

Psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto menuturkan para pelaku teror itu meyakini bahwa sedang memperjuangkan nilai-nilai luhur. Mereka tidak terima jika ada pihak lain yang melecehkan keyakinan mereka.

Kasandra mengatakan mereka juga begitu terkesan dengan dalil-dalil agama yang disampaikan pemimpinnya. Dalil-dalil itu lantas diyakini kebenarannya, terutama untuk menegakkan prinsip syariah dengan cara apapun. Untuk mewujudkan impian yang dari dalil tersebut, mereka melakukannya dengan segala cara. Termasuk aksi kekerasan atau teror bom.

’’Melibatkan dan mengorbankan semua harta benda serta anggota keluarga, adalah nilai-nilai yang meraka ajarkan turun-temurun,’’ tuturnya. Mengajarkan atau menurunkan paham kepada istri serta anak-anaknya, merupakan salah satu bagian dari teknik rekrutmen. Menurutnya ajaran dari orangtua kepada anak-anaknya itu bisa melekat, apalagi jika dimulai sejak usia dini.

Lantas Kasandra menjelaskan sejumlah anggota teroris yang bergabung awalnya karena tiga alasan. Yakni faktor kemiskinan, faktor pendidikan, atau karena mencari makna kekuasaan. ’’Umumnya ketka di dalam (masuk organisasi, Red) mereka akan dipengaruhi untuk mengorbankan segala harga benda dan anggota keluarga yang dimiliki,’’ tuturnya.

Terlibatnya keluarga dalam aksi bom bunuh diri di Surabaya mendapat perhatian banyak pihak. Apalagi perempuan dan anal-anak dijadikan “pengantin” dalam aksi keji tersebut. Kriminolog Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin, memandang,keterlibatan anak-anak pelaku harus dilihat dalam konteks si anak sebagai korban. “Karena posisi edukasi atau sosialisasi anak masih sangat bergantung pada orang tuanya,” tuturmya saat dihubungi Jawa Pos kemarin (14/5).

Menurutnya, anak-anak yang menjadi pembawa bom besar kemungkinan tidak memiliki pilihan lainnya. Sehingga dapat dimungkinkan sesungguhnya anak tersebut menjadi korban dari ego orang tua atau orang dewasa di sekelilingnya.

Iqrak menambahkan jika besar kemungkinan cara pandang orang tua yang mengajak anaknya dalam melakukan aksi bom bunuh diri disebabkan melihat anak-anak sebagai properti yang bisa diperlakukan sesuai kemauan orang tua. “Karenanya, ideologi apa yg ditanamkan, kegiatan apa yang akan dilakukan akan ditentukan oleh orang tuanya,” tuturnya. Dengan kata lain, anak tidak memiliki opsi untuk menolak.

Relasi patriarki yang kuat dari pelaku laki-laki (Dita, Red). Suami atau ayah menurutnya memiliki kecenderungan memerintah. Termasuk dalam penanaman nilai terorisme di dalam keluarganya. “Tentu mengkhawatirkan, sekaligus menyedihkan. Utk mengantisipasi, polisi akan cukup kesulitan juga karena sifat tertutup dari jejaring,” ujarnya.

Dia menyarankan agar polisi terus memantau mereka yang datang dari daerah yang diduga basis terorisme. Pemantauan yang dimaksudkan Iqrak adalah yang berkesinambungan. “Mungkin bisa dilakukan dengan melakukan pemantauan lebih ketat terhadap returnis yang berasal dari 1 keluarga,” tuturnya.

Pernyataan senada juga diungkapkan Hamidah Abdurrachman. Mantan anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) itu melihat ada perubahan streotip pelaku. Jika sebelumnya perempuan dianggap lemah penakut tetapi melalui penanaman paham yang keliru, mereka maju. “Melakukan dengan alasan jihad dan menunjukkan bahwa dia bisa,” ujarnya.

Peran masyarakat dianggap Hamidah sangat penting. Sebab, tetangga dianggap sebagai orang yang dekat dan dapat melakukan pengawasan. “Kalau sejak awal diketahui keterlibatan anak-anak harus diselamatkan. Misalnya mereka tidak sekolah, tidak bergaul,” ucap Pakar hukum Universitas Pancasakti, Tegal, itu.

Di tempat lain, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengutuk aksi terorisme di Surabaya. Dia juga mengingatkan bahwa kampus bukan tempat untuk tumbuhnya bibit-bibit radikalisme. Menurut dia bibit radikalisme dan intoleransi mulai masuk di kampus pada 1983.

Ditemui di sela kegiatan World Class Research di Jakarta kemarin (14/5) Nasir menceritakan pada 1983 terjadi kegiatan normalisasi kehidupan kampus (NKK) atau Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan sejenisnya saat itu dikeluarkan dari kampus. ’’Sehingga menjadi organisasi atau kegiatan ekstra kampus seperti sekarang,’’ tuturnya.

Nah setelah organisasi-organisasi itu dikeluarkan dari kampus, masuklah paham-paham lain. Diantaranya adalah paham radikalisme. Kemudian dalam bertahun-tahun kegiatan paham radikalisme yang masuk itu terjadi hegemoni kegiatan di kampus. ’’Sehingga yang tidak dirasakan rektor-rektor saat itu, dituai saat ini yang terjadi,’’ tuturnya.

Dari awal mula masuknya paham radikal di kampus pada 1983 itu, saat ini mulai terasa dampaknya. Ada lulusan yang saat ini menjadi dosen atau jadi guru di sekolah-sekolah. Nasir menegaskan aksi atau kegiatan radikalisme di kampus bukan kegiatan yang terjadi dalam waktu singkat.

Menurut Nasir terkait paham radikalisme di kampus, pemimpin perguruan tinggi harus terus diingatkan. Dia menjelaskan akan memanggil para rektor kampus negeri Rabu besok (16/5) ke Jakarta. Diantaranya membahas isu radikalisme di kampus. Dia mengatakan kampus harus memonitoring kegiatan-kegiatan di kampus.

Nasir mengatakan sudah ada beberapa upaya untuk mencegah paham radikalisme dan intoleransi terus merebak di kampus. Diantaranya dengan kegiatan bela negara, kemudian deklarasi anti radikalisme di kampus-kampus seluruh Indonesia. ’’Jangan sampai dalam pengajaran di kampus terjadi intoleransi dan radikalisme. Bisanya mereka itu belajarnya (berkelompok, red) sendiri,’’ pungkasnya. (Jawa Pos/JPG)

 

Exit mobile version