Ketika Luhut Bujuk Gus Dur Melepaskan Kekuasaannya

Oleh Derek Manangka

KALAU saja Taufiq Kiemas, politisi PDI-P bisa bangkit dari kuburannya, mungkin dialah satu-satunya politisi nasional yang akan memberi kesaksian tentang peran besar kenegarawanan dan kepahlawanan Luhut Panjaitan.

Yaitu Luhut merupakan prajurit yang berjasa besar dalam mencegah perpecahan bangsa. Luhutlah jenderal purnawirawan yang menegakkan pemerintahan sipil pasca reformasi. Luhut tanpa banyak yang tahu telah melakukan ‘operasi rekonsiliasi kebangsaan’.

Sehingga atas dasar itu Taufiq Kiemas tak akan segan-segan memeluk dan menyampaikan ucapan terima kasih tak terhingga kepada Luhut Panjaitan.

Dan apa yang dilakukan Luhut di persidangan Mahkamah Kehormatan Dewan Senin kemarin, dalam tatanan tertentu bisa disebut mengandung pesan moral dalam konteks ‘operasi rekonsialiasi kebangsaan’.

Yaitu ia, Luhut, terus meminta masyarakat Indonesia melalui forum Mahkamah Kehormatan Dewan, untuk tidak terjebak pada pertikaian tak berujung.

Atau bangsa Indonesia jangan sampai terjerumus dalam perseteruan atas sebuah permasalahan seperti kasus “Papa Minta Saham”.

Betul kasus ini cukup menyakitkan bagi masyarakat. Benar kasus ini telah membuat cukup banyak pihak yang tersinggung dengan terungkapnya pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden. Tapi itu tidak berarti negara ini hanya akan damai dan sentosa apabila Setya Novanto diselengserkan dari jabatan Ketua DPR-RI.

Tidak pula berarti bahwa Indonesia baru bisa “move on” kalau persoalan Freeport dapat diselesaikan sekarang juga.

Publik boleh kecewa dengan penampilan Luhut Panjaitan yang tidak mau menjawab pertanyaan tentang penilaiannnya apakah Setya Novanto, Ketua DPR-RI telah melakukan pelanggaran etika. Tapi persoalannya, bukan sesederhana menjawab pertanyaan tersebut.

Empat belas tahun lalu, tepatnya Juni 2001, Indonesia juga mengalami krisis politik. Situasinya bahkan lebih serius dari kasus “Papa Minta Saham”. Yaitu bagaimana pergantian kekuasaan dari Presiden Abdurrahman Wahid ke Presiden Megawati Soekarnoputri, bisa terwujud tanpa menimbulkan gejolak.

Tidak banyak yang tahu kemudian mencatat apalagi mengakui peran Luhut Panjaitan. Dia berhasil meyakinkan Gus Dur, bekas bosnya. Agar Presiden RI ke-4 ini mengalah saja kepada MPR-RI, lembaga yang sudah melengserkannya. Luhut dengan caranya berhasil meminta Presiden Gus Dur melepaskan kekuasaan.

Mungkin hanya Taufiq Kiemas, satu-satunya warga bangsa yang mencatat sejarah itu.

Luhut Panjaitan, di mata almarhum suami Megawati Soekarnoputri itu, dengan peran di atas, sama nilainya dengan memerankan penyelamatan NKRI dari perpecahan.

Demikian besar apresiasi Taufiq Kiemas atas peran Luhut Panjaitan, sehingga sampai akhir hayatnya almarhum terus menceriterakan peran kepahlawanan Luhut. Sebagai prajurit menurut Taufiq, Luhut punya saham besar dalam mendinginkan suhu politik yang sudah begitu panas.

Taufiq merasa patut lebih berterima kasih kepada Luhut. Sebab setelah situasi politik terkendali dan Ketua Umum PDI-P yang menjadi Presiden, bukan Luhut pribadi yang memetik manfaat. Melainkan PDI-P dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Luhut menjadi pahlawan tanpa jasa.

Bahkan dalam kabinet Megawati, Luhut tidak berusaha meminta imbal jasa melalui Taufiq. Padahal kalau situasi itu diukur dengan pakem politik transaksional, Luhut berhak meminta imbalan. Kalau bukan jabatan, minimal proyek komersil berskala raksasa.

Pada Juni 2001 itu, MPR RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia Republik Indonesia) baru saja melengserkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). MPR-RI juga sudah melantik Megawati Soekarnoputri, Wapresnya Gus Dur untuk menjadi Presiden RI ke-5.

Pelengseran Presiden Gus Dur, sama artinya dengan pemecatan Luhut Panjaitan sebagai anggota kabinet Gus Dur.

Tetapi sekalipun Luhut kehilangan jabatan, hal tersebut tak membuatnya terganggu. Jabatan bukanlah segala-galanya.

Sebab yang lebih krusial untuk diselesaikan, setelah Presiden Gus Dur dilengserkan, Gus Dur tidak mau meninggalkan Istana. Hal itulah yang menimbulkan krisis politik.

Indonesia serta merta menjadi negara yang memiliki Presiden Kembar. Megawati sebagai Presiden de jure, tapi tidak bisa menduduki kursi kepresidenan sekaligus menjalankan pemerintahannya dari Istana.

Sebaliknya Gus Dur tidak lagi menjabat sebagai Presiden tetapi de facto dialah yang menduduki Istana Kepresidenan.

Situasi Indonesia ketika itu yang belum sembuh total dari krisis akibat kerusuhan 1998, benar-benar seperti sebuah negara yang tinggal menungu meletusnya perang saudara.

Pasalnya antara lain massa PDI-P yang merasa ditelikung oleh “Poros Tengah” pimpinan Amin Rais di Sidang Istimewa MPR-RI Oktober 1999, sedang sewot-sewotnya. Sebab gara-gara manuver Amin Rais-lah Ketua Umum PDI-P tidak bisa menjadi Presiden.

Kini Megawati, Ketua Umum PDI-P itu sudah dilantik oleh MPR-RI yang dimpimpin Ketua Amin, Rais, kembali diakal-akali. Menjadi Presiden tanpa kekuasaan. Terjadi pro-kontra antara pendukung Gus Dur dan Megawati.

Kalau saja ada pihak yang membakar emosi massa pendukung Megawati pada waktu itu, boleh jadi perang saudara tak akan terhindarkan.

Taufiq yang merupakan arsitek politik PDI-P sekaligus suami Megawati Soekarnoputri, tidak berpikir lama. Ia langsung mencari Luhut Panjaitan. Di mata Taufiq hanya Luhut yang bisa meyakinkan Gus Dur. Selain itu, Luhut merupakan salah seorang jenderal produk Orde Baru yang bisa dia percaya.

Bagi Taufiq Kiemas, Luhut Panjaitan memiliki kelebihan atau sisi positif yang cocok bagi era itu. Karena Luhut termasuk jenderal yang tak pernah mendapatkan posisi Panglima, Pangdam, Panglima Devisi atau Pangkostrad di rezim Orde Baru.

Selain itu, sebelum Gus Dur melantik Luhut sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan, ia sedang menjabat Dubes RI di Singapura. Jadi kombinasi antara sikap tegas seorang prajurit dan gaya diplomasi dari seorang Duta Besar dimiliki oleh Luhut Panjaitan.

Pertimbangan lainnya yang digunakanTaufiq memilih Luhut Panjaitan sederhana dan praktis. Putera keturunan Batak ini seorang jenderal yang bisa diajak bicara secara terbuka.

Taufiq didampingi Luhut akhirnya menemui Gus Dur di Istana Merdeka. Tidak mudah menemui sang kiyai yang sedang emosi.

Setelah berbasa-basi dan berdiplomasi dengan Gus Dur, Taufiq dan Luhut tak butuh waktu lama meyakinkan atau membujuk Gus Dur. Akhirnya Gus Dur bersedia meninggalkan Istana Kepresidenan. Dengan satu syarat Luhut dan Taufiq bisa menjamin keselamatannya dan keluarga dan tentu saja Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan.

Saat itu juga Luhut dan Taufiq bergerak. Antara lain menghubungi Kedubes RI di Washington, Amerika Serikat agar segera mengurus segala tetek bengek yang berkaitan dengan perawatan mata di Amerika Serikat.

Sebab salah satu jalan keluar untuk menghilangkan rasa malu, harus diumumkan bahwa Presiden Gus Dur akan menjalani perawatan mata di Amerika Serikat. Berangkatlah Gus Dur dengan pesawat khusus ke Washington layaknya seorang Presiden RI.

Saat Gus Dur sudah meninggalkan Indonesia, barulah Megawati memulai pemerintahannya. Indonesia aman.

Saat Gus Dur sudah berada di Amerika Serikat, Dubes RI di London, Inggris, diperintahkan oleh Jakarta agar menyambut Gus Dur layaknya sebagai seorang Presiden.

Tugas Nana Sutresna, diplomat senior yang menjabat Dubes RI untuk Inggris, mengamankan perintah dari Jakarta. Karir Presiden Gus Dur akhirnya tamat di Inggris – beberapa hari sebelum kembali ke Indonesia.

Yang paling penting dari penyelesaian krisis politik ini adalah memperlakukan Gus Dur sebagai manusia terhormat dan bermartabat.

Bahwasanya ketika menjadi Presiden, Gus Dur sempat membuat kesalahan, lebih dari sebuah pelanggaran etika – mengeluarkan Dekrit, tak diungkit lagi. Itu sudah menjadi cerita lama. Kesalahan itu otomatis dimaafkan. Biarkan bangsa atau masyarakat yang menilai.

Kesalahannya sebagai politisi dimaafkan. Sebab yang dilihat adalah sisi kemanusiaannya. Gus Dur merupakan tokoh NU dan figur intelektual Islam dunia. Ia seorang figur yang punya pengaruh dan jutaan anggota pendukung. Ia memiliki kekuatan yang tak mudah dikalahkan.

Tapi akhirnya semua kekuatan Gus Dur bisa dikalahkan. Hanya saja caranya bukan dengan menghukum apalagi menghancurkan martabatnya.

Itulah sebuah pendekatan kemanusiaan yang dijadikan konsep untuk mengeluarkan Indonesia dari krisis politik 14 tahun lalu.

Peristiwa politik itu menjadi relevan untuk saat ini, sebab di dua masa yang berbeda itu, kebetulan hadir seorang Luhut Panjaitan sebagai pelaku.

Bedanya di tahun 2001 itu, Luhut melakukannya bersama Taufiq Kiemas. Politisi senior yang sempat menjabat Ketua MPR-RI ini sempat disebut-sebut memiliki aura kenegarawanan.

Sayangnya di tahun 2015 ini, Taufiq Kiemas sudah ke kembali ke haribaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Sehingga menghadapi krisis politik yang ditimbulkan “Papa Minta Saham”, Luhut harus berjuang sendirian. [RMOL]

Penulis adalah Jurnalis Senior

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.