Selalu saja, setiap melihat hutan di seberang rumahnya, ada kerinduan ingin dirasakan lagi. Mendengar ketawa keras dari hutan. Tapi kini yang tersisa hanya jerit tangis memilukan.
Al Amin, Banda Aceh
eQuator.co.id – Pria itu bernama Ibrahim. Namun kerap disapa dengan sebutan profesor. Bukan sekedar panggilan. Keilmuannya tentang tanaman membuat orang-orang yang mengenal Ibrahim memanggilnya profesor. Padahal pendidikan terakhirnya hanya setingkat Sekolah Dasar (SD).
Ditemui beberapa waktu lalu, di rumahnya di Desa Balee Lutu, Kecamatan Ketambe Kabupaten Aceh Tenggara Provinsi Aceh hari itu dia bersiap-siap berangkat ke Stasiun Penelitian Soraya, tempat pengabdiannya. Dia menjadi seorang yang diandalkan untuk memetakan keragaman hayati di lokasi riset tersebut.
Dari rumahnya, pandangannya masih juga mengarah ke hutan kawasan ekosistem Leuser (KEL) yang isinya tak pernah lepas dari ancaman oknum-oknum penjarah.
Bersama anaknya, Awi yang baru saja tamat SMK, dia menunggu angkutan dari Forum Konservasi Lingkungan (FKL) guna mengantarkannya ke SP Soraya. Di perjalanan dia bercerita awal berkecimpung di dunia konservasi. Lebih seperampat abad lalu tepatnya 1992, seorang kerabat mengajaknya untuk ikut dalam tim penelitian proyek siamang gibon diusung universitas David California di SP ketambe.
Dia diajak sebagai asisten peneliti. Yakni sebagai orang yang mencatat segala hal berkaitan penelitian. Selama dua tahun penelitian dilakukan dan berhasil membuat Ryan Colombic sang peneliti berhasil meraih gelar professor.
Sejak itu, dunia penelitian keragaman hayati mematrinya. Berbagai penelitian kemudian diikuti berturut-turut setiap tahunnya. Ada peneliti asing memintanya menjadi asisten peneliti. Ikut dalam tim dari universitas Utrecht (Belanda) di bidang botani 1991-1992, meneliti jenis keragaman tumbuhan di SP Ketambe. “Dari peneliti Utrech ini saya mulai belajar berbagai jenis tumbuhan atau keragaman hayati, dan pertumbuhannya dihubungkan dengan iklim atau disebut fenologi,” kata Ibrahim.
Dia menjadi semakin tertarik pengetahuan ini. Tiap tumbuhan banyak variasi dan kegunaannya. Setiap binatang di hutan membutuhkan atau tergantung dengan tumbuhan yang ada, langsung atau tidak langsung. Ini dihapal mati di kepalanya.
Dan ini menjadi kebiasaan dirinya menyebutkan tumbuhan. Dia lebih memperhatikan perbedaan daun, susunan daun, tulang daun dan cabangnya. “Karena sering ditemui dari pengecekan, dari situ bisa menghapal lebih dari seribu tanaman, terutama nama lokalnya. Nama latinnya sebagian,” ucapnya.
Keahliannya bukan itu saja. Dari banyak peneliti asing yang didampingi dan perjumpaan dengan rekan-rekan yang konsen konservasi, ilmunya pun bertambah. Dari pendampingan dan pertemanan, dia kini mampu menggunakan hampir semua metodologi penelitian tentang kawasan hutan. Mulai metode grid cell, kamera jebak, focal animal sampling, pengambilan sampel primata, identifikasi jejak mamalia besar, dan ikan air tawar. Dia juga paham menggunakan global positioning system (GPS) dan navigasi hutan.
Julukan profesor kemudian disematkan rekan-rekannya atas kemampuan menghapal ribuan jenis tumbuhan di hutan dan beragam manfaatnya. Penghapalan karena di fenologi setiap kalinya ke hutan untuk harus selalu pengecekan. “Di hutan Leuser ada sekitar 1.000 jenis pohon. Nama lokalnya saya tau, yang latin hanya sebagian,” jelasnya.
Namun bukan hanya sekedar menghapal nama. Dari ikut penelitian dan seringnya bermain di hutan, dia juga jadi memahami karakteristik setiap pohon yang diketahuinya. Juga bagaimana manfaat pohon itu, jenis buah dihasilkan dan binatang apa saja yang akan mendekat saat pertumbuhannya.
Hanya dengan melihat atau menciumnya, dia sudah mengetahui apa nama tanaman ataupun jejak binatang apa yang dilihatnya. Keahliannya ini diperoleh setelah menjalani pekerjaan sebagai peneliti biodiversity terutama mamalia selama puluhan tahun di hutan Leuser, terutama di daerah Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara.
Keahliannya ini lah yang kemudian membuat banyak para peneliti lokal yang meminta bantuannya. Akademisi yang dibantunya kini sudah SI, S2 hingga S3. Bahkan ada yang sudah profesor benaran.
Menurutnya, dengan mengetahui karakter tiap pohon, akan sangat berguna jika dikaitkan dengan kelestarian hutan terutama Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). “Tiap pohon, bukan saja karena beda jenis, tapi juga kegunaannya bagi hutan itu sendiri dan semua habitat yang ikut tumbuh berkembang di dalamnya. Jadi menjaga satu pohon, berarti ikut melestarikan keseluruhan hutan,” terangnya.
Dia juga menyebutkan, dari pemahamannya selama ikut menjalani sebagai konservasi, kelestarian Leuser tidak terlepas dari keberadaan satwa. Satwa merupakan penebar benih tanaman paling baik.
Dia kemudian menyebutkan orangutan dan gajah, dua binatang yang banyak menjalani konflik dengan manusia. Seperti gajah, spesies payung bagi habitatnya dan mewakili keragaman hayati di dalam ekosistem yang kompleks tempatnya hidup.
Dalam satu hari, sambungnya, gajah mengonsumsi sekitar 150 kg makanan dan 180 liter air. Gajah membutuhkan areal jelajah hingga 20 kilometer persegi per hari. Biji tanaman dalam kotoran mamalia besar ini akan tersebar ke seluruh areal hutan yang dilewatinya dan membantu proses regenerasi hutan alam. Hal sama juga pada orangutan.
Biji dari buah yang mereka makan dan keluar dari kotoran menjadi benih unggul. Benih itu tumbuh dengan alami. Dengan begitu, tegakan pohon dan tutupan hutan tetap terjaga. Karena itulah dia sedih, walau pun kedua binatang ini masih ada di KEL, namun keberadaannya kini semakin menyusut.
Berdasarkan data dari Forum Konservasi Gajah Indonesia, secara keselurahan gajah Sumatera diprovinsi Aceh berjumlah 475 – 500 individu. Kelompok gajah ini tersebar di beberapa kantung habitat seperti di Lokop – Peunaron (Aceh Timur – Aceh Utara) berjumlah 200- 250 ekor, kantung habitat Bengkung – Trumon (Aceh Selatan –Aceh Singkil) berjumlah 80 – 100 individu, Beutong (Nagan Raya) berjumlah 40 – 60 individu, Kantung habitat Ulu Masen (Aceh Jaya, Gempang, Pijay dan Aceh Barat) berjumlah 100 – 120 individu, kantung habitat Peusangan dengan jumlah 40 – 50 Individu, Pidie 20 – 30 individu (FKGI,at al, 2016).
Salah satu penyebab menyusutnya jumlah hewan dilindungi karena perambahan dan makin meluasnya perkebunan sawit. Ini yang mungkin menyebabkan, wajah kakek satu cucu ini yang ditemui selalu tersenyum, menjadi berubah melihat kondisi hutan Aceh. Saat bertanya kepadanya kondisi hutan Aceh yang selalu dilihatnya ketika melewatinya, tak ada jawaban.
“Saya sedih jelas, tapi tak tau bagaimana menerangkannya. Dulu sekali, melewati kawasan hutan di dataran tinggi Gayo, jaket tebal harus dipakai, kini jarang. Dulu sehat mata melihat hutan yang berkabut, kini kabut itu ternyata asap dari pembukaan hutan,” sebutnya sambil menunjuk salah satu kawasan hutan yang menurutnya telah berubah menjadi perkebunan sawit.
Ini lah yang meneguhkan hatinya untuk terus sebagai bekerja di lembaga Forum Konservasi Leuser (FKL) sebagai ahli bidang satwa dan tumbuhan. Seorang anaknya, kini dikader untuk dapat melanjutkan upanya memetakan tumbuhan di KEL yang diharapkan dapat menjadi pengetahuan menjaga kelestarianya.
Dia kemudian bercerita tentang satwa yang dulunya menjadi salah satu hewan yang menariknya untuk selalu ke hutan, Rangkong. Sejak dua tahun lalu, burung yang suaranya sangat khas itu, sudah mulai jarang terdengar. Sering diburu untuk diambil paruhnya oleh pemburu.
Keasikannya di hutan karena dia sering terang mendengar suara rangkong saling bersahutan diikuti semarak jerit keras binatang lainnya. Cengkerama keributan hutan sangat mempesonanya. Suara keras rangkong yang kemudian terkadang disambut teriakan orangutan dan binatang lainnya, baginya seperti ketawa riang mengajaknya bersyukur.
“Tapi yang terdengar kini hanya suara sedih. Bunyi serangga kecil bersahutan. Mereka menangis karena teman yang satu persatu hilang tak kembali lagi. Saya rindu suara ketawa keras mereka lagi. Tapi suara ketawa keras di hutan itu telah hilang,” ujarnya dengan mata menerawang. (*/Rakyat Aceh)