Kerja di Korsel Hanya Digaji Rp 900 Ribu

26 WNI Jadi Korban Calo TKI Ilegal

Ilustrasi NET

eQuator.co.id – JAKARTA— Iming-iming untuk mendapatkan uang berlimpah dengan bekerja di luar negeri masih masih manjur untuk menipu orang. Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) mengungkap terjadinya tindak pidana perdagangan orang (TPPO) 26 WNI yang dikirim ke Korea Selatan (Korsel). 26 WNI ini dijanjikan mendapatkan gaji belasan juta rupiah, namun kenyataannya mereka hanya mendapat tidak lebih dari Rp 900 ribu.

Kasubdit III Direktorat Tindak Pidana Umum (Ditipidum) Bareskrim Kombespol Umar Fana menuturkan, pertengahan Maret lalu, 26 WNI tertangkap pemerintah Korsel pulau Jeju. Mereka bekerja di sejumlah perkebunan untuk memanen sayuran dan tambak. ”Mereka kemudian diserahkan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Ternyata mereka tertipu oleh calo tenaga kerja,” tuturnya kemarin.

Mereka dikirim ke Korsel oleh tersangka bernama Sunata. Tersangka mengirimkan mereka menggunakan visa turis melalui Jakarta menuju Hongkong dan terakhir di pulau Jeju, Korsel. ”Tersangka sekarang sudah kami tangkap,” terangnya.

Menurut dia, awalnya 26 WNI asal Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur (NTT) ini dijanjikan menerima gaji belasan juta rupiah dan bekerja sebagai nelayan. Namun, kenyataannya mereka hanya mendapat gaji sekitar 110 ribu won di perkebunan. Jumlah itu masih dipotong 30 ribu won untuk tempat tinggal dan makan. Sisanya hanya 80 ribu won yang bila dirupiahkan hanya sekitar Rp 900 ribu. ”Ini bentuk ekspolitasi,” paparnya.

Padahal, untuk bisa berangkat menjadi TKI itu 26 orang tersebut ditarif Rp 65 juta hingga Rp 95 juta. Karena itu, tersangka Sunata akan diancam hukuman penjara lebih dari 8 tahun karena melanggar pasal 102 undang-undang 21/2007 tindak pidana perdagangan orang. ”Namun, kasus ini masih teru dikembangkan,” jelasnya.

Tidak menutup kemungkinan, masih ada pihak lain yang terlibat dalam mafia tenaga kerja tersebut. Dia menjelaskan, pengurusan TKI semacam ini tidak mungkin hanya melibatkan seorang pelaku. ”Kami sedang periksa tersangkanya,” paparnya.

Kejadian TPPO dengan modus mengiming-imingi gaji besar untuk bekerja di luar negeri ini sudah ratusan kali terjadi. Padahal, sebenarnya mudah sekali untuk bisa mengantisipasi tertipu calo TKI. Masyarakat perlu untuk mengecek perusahaan pengirim tenaga kerja tersebut. ”Ya, tanyakan ke kantor tenaga kerja apakah perusahaannya resmi atau tidak,” ujarnya.

Tentunya, masyarakat yang ingin bekerja di luar negeri lebih baik memilih perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) resmi. ”Kalau yang illegal, tentunya bisa dipastikan merupakan upaya penipuan. Apa mau terlunta-lunta di luar negeri,” terangnya.

Sementara itu, Koordinator Fungsi Perlindungan WNI KBRI Seoul Aji Surya mengaku bersyukur bahwa pihak Indonesia dan Korsel mempunya persepsi yang sama terkait isu tersebut. Pasalnya, persoalan penyaluran TKI bagi Indonesia berubah menjadi permaslahan imigran Ilegal bagi pemerintah Korsel.

’’Kami bersyukur bahwa koordinasi yang dilakukan oleh KBRI bisa membuahkan hasil. Kami harapkan, hasilnya bukan hanya langkah penganggulangan kasus-kasus yang ada. Tapi langkah pencegahan untuk masa depan,’’ ungkapnyya.

Dia mengatakan, modus yang biasa dilakukan oknum penyalur TKI ilegal ke Korsel adalah dengan kedok penyaluran mahasiswa. Kebanyakan anak muda dikirim dengan janji sebagai mahasiswa sambil bekerja. Janji itu dipermanis dengan jaminan pekerjaan dengan gaji besar setelah lulus. Namun, korban harus membayar puluhan juta untuk mengikuti program tersebut.

’’Oknum penyalur ini memanfaatkan celah hukum antar dua negara dengan mengirimkan WNI berstatus pelajar ke Indonesia. Sebenarnya, sudah banyak mahasiswa yang ditipu. Tapi, karena sudah keluar duit dan sudah berada di Korea, mereka milih lanjut saja. Padahal, data kami mencatat 7 ribu over stayer disini. Itu 13 persen dari jumlah TKI kita di sini,’’ ungkapnya.

Sebagai informasi, kasus tersebut mulai mencuat pada pertengahan Februari kemarin. 26 WNI yang telah dikirim di Jeju melapor ke KBRI karena merasa ditipu oleh penyalur. Kebanyakan dari mereka malah harus bekerja di sawah padahal dijanjikan untuk mengenyam pendidikan tinggi. (idr/bil)