Ibuku hanya punya satu mata. Dia sungguh membuatku malu. Aku membencinya. Guna membiayai hidup kami, Ibu bekerja sebagai tukang masak di SMP tempatku sekolah. Suatu hari ia datang ke kelasku untuk suatu urusan. Teman-teman sekelas mengejekku. Ingin rasanya aku menghilang saja ditelan bumi. Sampai rumah aku memaki-maki Ibu. “Kalau hanya membuatku jadi bulan-bulanan banyak orang, mengapa kau tidak mati saja?” Aku sungguh masygul saat itu.
Makin bulat tekadku kabur dari rumah. Tidak mau berhubungan dengan Ibu lagi. Kebencian mendorongku belajar sangat giat dan keras. Selepas SMA, aku mendapat beasiswa belajar di Singapura. Aku menyelesaikan studi tepat waktu, bekerja, menikah, dan menjadi warga negara di sana.
Suatu hari Ibu datang ke apartemenku. Kehadirannya membuat anak-anakku ketakutan. Aku menghardik. “Beraninya kau datang kemari. Pergi dari sini!” Dia terkejut. “Maafkan Ibu. Mungkin Ibu salah alamat.”
Aku sempat mudik ke Indonesia menghadiri reuni SMP. Singgah ke rumah yang pernah aku tinggali bersama Ibu. Tetangga sebelah bilang Ibu sudah meninggal. Ia menyodorkan sepucuk surat yang Ibu ingin aku membacanya.
“Anakku tercinta. Aku terus memikirkanmu setiap waktu. Maafkan, Ibu telah menyusahkanmu. Sewaktu kecil matamu cedera parah tertusuk garpu. Ibu tidak sanggup melihatmu tumbuh dengan mata cacat. Ibu mendonorkan satu mata untukmu. Ibu hanya ingin kamu kelak tetap bisa memperlihatkan keindahan dunia untuk mereka yang kamu cintai.” Salam sayang, Ibu.
bagi penulis, kutipan (sebagian) isi novel di atas bukanlah kisah biasa. Kisahnya amat memikat dan menyentuh. Isinya sangat inspiratif dan substantif. Substansi kisah di atas adalah tentang Kekuatan Cinta. Amor mundum fecit. Cinta itu menciptakan dunia. Amor vincit omnia. Cinta itu mengatasi segala-galanya.
Kisah di atas berisi kekuatan (daya-daya) cinta transformasional seorang Ibu bersahaja tapi heroik. Kekuatan cinta membuatnya mampu bertahan menghadapi gempuran kegersangan budi pekerti (moralitas) dan kebangkrutan spiritual anaknya. Cinta adalah senjata yang paling ampuh saat menghadapi situasi kritis dan kondisi darurat.
Sebagai guru, di tengah persoalan yang multidimensional, di tengah dekadensi akhlak (moral/budi pekerti) yang semakin mengkhawatirkan, di tengah turbulensi zaman dengan berbagai implikasinya saat ini, di tengah aneka ragam perilaku anak yang menyebalkan, guru sungguh dituntut untuk menjadi guru yang memiliki kekuatan cinta.
Negeri ini membutuhkan guru yang memiliki kekuatan cinta dan pendidikan yang inklusif. Pendidikan yang menjadi sumber kegembiraan dan kegairahan siswa dalam belajar. Pendidikan yang menjadi pusat kehidupan para siswa. Mereka benar-benar menikmati kehidupan di sekolah. Di jagat pendidikan yang inklusif, proses pembelajaran bukan lagi menjadi beban melainkan realitas kehidupan yang mereka jalani dengan penuh penghayatan.
Di jagat pendidikan yang inklusif, kehidupan dihadirkan dalam suatu tata ruang dengan lanskap yang ditata sedemikian rupa, agar tetap natural dan tampak riil. Dengan menggunakan konsep fun and active learning, pendidikan yang inklusif mengubah sekolah menjadi suatu miniatur kehidupan yang tidak saja natural dan riil, tetapi juga indah dan nyaman.
Proses belajar-mengajar berubah menjadi aktivitas kehidupan riil yang dihayati dengan penuh kegembiraan. Para siswa dibantu untuk menikmati masa-masa awal pertumbuhan, dan membangun imaji-imaji positif mereka tentang kehidupan dan bumi yang mereka huni. Itulah karakteristik dan pesona pendidikan yang inklusif.
Di jagat pendidikan yang inklusif, setiap guru percaya bahwa setiap individu itu unik. Pun mereka yakin setiap anak itu pandai. Setiap anak dilahirkan sebagai anak pandai dengan cara yang mungkin berbeda antara anak yang satu dengan lainnya. Karena itu, memperlakukan setiap anak dengan segala keunikannya adalah prinsip utama pendidikan yang inklusif.
Pendidikan inklusif adalah “sekolah kehidupan” itu sendiri. Pendidikan yang member “pelajaran kehidupan”. Pendidikan yang membangun kemampuan-kemampuan dasar pada anak untuk mampu bertahan dan bertumbuh dalam setiap situasi, menjadi proaktif dan adaptif, bukan sekadar mengejar nilai angka (rate).
Pendidikan yang melahirkan pemimpin yang cerdas dan punya integritas, bukan mencetak calon pengangguran. Pendidikan yang menyenangkan, tidak mengekang. Pendidikan yang mendidik anak menjadi manusia berkarakter, bukan beo-beo pengekor. Pendidikan yang membebaskan siswa dari penindasan, pemiskinan, dan pembodohan menuju manusia mandiri dan bertanggung jawab.
Pendidikan yang inklusif menawarkan pegangan kehidupan yang permanen berupa nilai-nilai keutamaan hidup, keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai agama, ajaran tentang asal-usul manusia, tentang tujuan hidup manusia, tentang nilai-nilai yang membimbing hidup manusia, dan tentang faktor-faktor permanen yang membentuk kualitas hidup manusia.
Di jagat pendidikan yang inklusif, para siswa, tunas muda belia bangsa ini belajar secara serius tentang nilai-nilai keutamaan hidup, yang diyakini membuat mereka bertumbuh, berkembang, dan mekar mewangi pada pusat kehidupan yang benar dan pasti. Dan di sanalah, di jagat pendidikan yang inklusif itu optimalisasi diri dan kebahagiaan hidup menanti.
Guru adalah pelaku utama pendidikan (formal). Tugas guru adalah membantu menyalakan lentera pada jiwa-jiwa siswa. Keberadaan guru adalah membawa terang (pencerahan-percerdasan), membawa kebijaksanaan, membawa semangat untuk maju dalam hidup.
Fungsi strategis guru adalah membuka mata (hati), membersihkan telinga, menguatkan penciuman (caring), dan membersihkan pikiran para siswanya. Bila mata tanpa penghalang, hasilnya adalah penglihatan. Jika telinga tanpa penghalang, hasilnya adalah pendengaran. Hidung yang tanpa penghalang membuahkan penciuman. Pikiran tanpa penghalang hasilnya adalah kebijaksanaan.
Dan itu hanya akan terwujud manakala gurunya memiliki kekuatan cinta. Guru yang mendampingi siswa dengan kepala dan hati sekaligus. Guru yang mengorbankan diri sendiri guna menerangi jalan kebahagiaan bagi para siswanya. Guru yang berusaha memahami sisi terang maupun sisi gelap karakter siswanya. Guru yang sungguh memahami esensi pendidikan membuat siswanya menjadi lebih baik dan berperilaku terpuji.
*Penulis Seorang Pendidik
Alumnus USD Yogyakarta
Humas SMP santo F. Asisi
Tinggal di Kota Pontianak