Kejagung Kompak Tutup Mulut soal Jaksa Pemeras

M. Prasetyo

eQuator.co.id – Jakarta-RK. Kejaksaan Agung (Kejagung) mulai menutup akses informasi terkait penangkapan jaksa Kejati Jawa Timur Ahmad Fauzi yang terlibat korupsi Rp 1,5 miliar. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) M. Rum, Jaksa Agung Pidana Umum (Jampidum) Noor Rachmad dan Kepala Subdirektorat Jampidsus Yulianto serempak tutup mulut. Mereka berdalih Ahmad Fauzi masih diperiksa.

Sekitar pukul 13.00, sehabis salat jumat, Yulianto berjalan terburu-buru. Saat dihampiri Jawa Pos, untuk mengetahui perkembangan pemeriksaan jaksa nakal yang memeras pihak berperkara, Yulianto tidak seterbuka sebelumnya.

”Wah, itu tanya ke pimpinan ya,” ujarnya langsung masuk ke mobilnya.

Tidak berapa lama, Kapuspenkum M Rum dan Jampidum tampak berjalan menuju ke kantornya. Saat ditanya, soal kemungkinan adanya pihak lain yang terlibat dalam korupsi tersebut, Jampidum menuturkan bahwa sebenarnya penangkapan jaksa itu bukan kewenangannya.

”Ya, semua masih didalami,” tuturnya didampingi Kapuspenkum.

Jaksa Agung M. Prasetyo berasumsi bahwa Ahmad Fauzi merupakan pelaku tunggal dalam suap untuk mencegah penetapan tersangka kasus tanah tersebut. Apakah mungkin penetapan tersangka hanya dilakukan seorang jaksa? Noor mengaku belum bisa menjawabnya.

”Tunggulah, pemeriksaan dulu,” ujarnya.

Kapuspenkum M. Rum yang berwenang dalam memberikan informasi ke masyarakat malah tutup mulut terkait berbagai pertanyaan media. ”Kan, kemarin sudah nanya banyak,” tuturnya saat ditanya soal mekanisme penetapan tersangka. M. Rum dengan terburu-buru masuk ke gedung kantor Jampidum.

Sementara Direktur Eksekutif Setara Institute Hendardi sama sekali tidak kaget dengan ketertutupan dari Kejagung. Menurutnya, Kejaksaan itu selama ini tidak transparan dalam bekerja.

”Ya, mereka ini gak pernah terbuka,” tuturnya dihubungi Jawa Pos kemarin.

Menurutnya, persoalan adanya oknum yang terlibat kasus korupsi atau pemerasan itu biasanya ditutup-tutupi. Sebab, kejaksaan sudah sejak lama dikenal sangat melindungi korpsnya.

”Bila dibandingkan dengan kepolisian, sangat jauh transparansinya dan progres dalam keterbukaan publiknya,” ungkapnya.

Bila, oknum jaksa itu mendapatkan sanksi, Kejagung itu biasanya tidak menampilkannya ke publik.”Mereka diam dan diselesaikan secara internal,” tutur aktivis HAM tersebut.

Hendardi mengatakan, pengungkapan kasus pungli atau korupsi di Kejagung itu memang minim. Namun, bukan berarti lembaganya bersih, namun karena memang Kejagung tidak berniat untuk memberantas pungli.

”Soal angka, kasus pungli di kepolisian lebih banyak dan Kejagung sangat sedikit. Tapi, itu bukan menunjukkan Kejagung lebih bersih, tapi justru tidak memiliki niat membersihkan dari pungli,” ungkapnya.

Yang lebih ironis adalah hampir semua lembaga pengawas internal dan eksternal dari kejaksaan juga tidak berjalan. Hendardi menuturkan, Komisi Kejaksaan dan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) itu sebagai lembaga pengawas itu tidak berfungsi.

”Sistem pengawasan tidak jalan,” tuturnya.

Hanya ada satu solusi untuk Kejagung agar bisa memperbaiki diri. Yakni, sosok Jaksa Agung yang tidak berasal dari politisi.

”Apa prestasi Jaksa Agung sekarang? Eksekusi mati yang merupakan pembunuhan dianggap sebagai prestasi. Tapi, prestasi kinerja lain tidak ada,” tuturnya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri menyatakan, terlalu dini jika Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan suap itu dilakukan sendiri oleh jaksa Fauzi. Jaksa Agung terkesan memagari dan berusaha melokalisir agar kasus itu tidak menyeret pejabat Kejati Jatim.

Padahal, kata dia, tidak menutup kemungkinan atasan Fauzi terlibat dalam suap yang nilainya cukup besar itu. Baik itu pejabat yang langsung di atasnya atau pujuk pimpinan Kejati Jatim. Apalagi Fauzi hanya jaksa biasa yang tidak mungkin bermain sendiri. Dia tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan kebijakan. Selain itu, penanganan perkara surat tanah itu juga ditangani tim, bukan Fauzi sendiri.

“Jaksa Agung jangan terburu-buru menyatakan pelakunya tunggal. Didalami dulu untuk mencari keterlibatan pihak lain,” papar dia. Apalagi, informasinya Fauzi sudah pernah menerima uang suap sebelumnya. Uang itu kabarnya sudah mengalir ke beberapa orang. Berarti ada indikasi banyak pejabat kejaksaan yang terlibat.

Dia mengaperasiasi Jaksa Agung yang menangkap anak buahnya itu. Namun, penanganan kasus itu harus transparan. Jangan sampai ada pejabat yang dilindungi dan mengorbankan jaksa biasa. Semua yang terlibat, baik atasan Fauzi maupun pucuk pimpinan Kejati Jatim harus ditindak. Selama ini, jaksa Fauzi dikenal dekat dan menjadi kepercayaan petinggi Kejati Jatim. “Nilai suapnya besar. Tidak mungkin dia bermain sendiri,” papar Febri kemarin (25/11).

Jika Jaksa Agung memang ingin membersihkan institusinya, maka semua anak buahnya yang terlibat harus ditindak. Diproses secara hukum. Selain itu penangkapan jaksa nakal tidak boleh berhenti di sini saja. Ketika ada jaksa yang bermain-main dan melakukan pemerasan terhadap pihak berperkara, maka mereka juga harus ditangkap dan dihukum. Dengan cara itu tidak ada lagi jaksa nakal.

Emerson Yuntho, peneliti ICW yang lain menyatakan, tindakan suap yang dilakukan jaksa tidak sekali ini saja. Sudah beberapakali jaksa tertangkap menerima suap. “Artinya fungsi pengawasannya tidak berjalan,” terang dia kemarin.

Selain menindak jaksa yang melakukan pelanggaran, Jaksa Agung Prasetyo harus diganti. “Agar jaksa yang ditangkap tidak semakin banyak. Maka Jaksa Agung sudah saatnya diganti,” papar dia.

Presiden Joko Widodo tidak boleh segan-segan mencopot Prasetyo. Menurut dia, butuh reformasi total di tubuh kejaksaan. Jika Jaksa Agung tidak diganti, sulit rasanya berharap kejaksaan bisa bersih dari kepentingan politik.

Komisioner Ombudsman RI Ninik Rahayu menilai operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat jaksa Ahmad Fauzi merupakan bukti bahwa belum ada institusi penegak hukum yang secure dari pungutan liar (pungli) dan perilaku korup lainnya. Kondisi itu pun semakin mencemari penegakan hukum secara keseluruhan.

”Sebenarnya kita tidak ingin kondisi ini (penegakan hukum, Red) dicemari,”  ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin.

Sampai saat ini, pengaduan dari masyarakat terkait kinerja jaksa terus meningkat. Hingga Juni 2016, Ombudsman menerima 58 laporan yang berkaitan dengan buruknya kinerja kejaksaan. Jumlah tersebut menunjukan tren peningkatan bila dibanding 2015, yakni sebanyak 92 kasus.

”Indikasinya memang meningkat, kami akan merilis lagi jumlah itu (pengaduan kinerja kejaksaan, Red),” jelasnya.

Ninik mengatakan, indikator belum maksimalnya reformasi birokrasi kejaksaan itu menunjukan belum berjalannya fungsi pengawasan internal lembaga bersangkutan. Bila tidak ada gebrakan, praktik culas yang melibatkan para jaksa akan terus terjadi sampai kapanpun. Hal itu tidak lepas dari kewenangan kejaksaan yang sangat besar di mata rantai penegakkan hukum.

”Lagi-lagi memang pengawas internal yang harus berjalan,” tegas mantan anggota komnas perempuan ini.

Kejaksaan harus memiliki komitmen kuat untuk berbenah diri. Menurut Ninik, beberapa langkah bisa dilakukan korps adhyaksa tersebut. Salah satunya, merekonstruksi sistem rekrutmen jaksa. Penjaringan tersebut mestinya tidak hanya mengedepankan intelijensi calon jaksa, tapi juga integritas.

”Yang harus dibenahi adalah sistemnya,” paparnya.

Sistem yang baik, lanjut Ninik, nantinya akan melahirkan jaksa yang berintegritas. Pembenahan itu juga memberikan harapan positif bagi masyarakat yang saat ini cenderung pesimistis dengan penegakkan hukum. ”Sistemnya bisa melahirkan pemimpin (kejaksaan, Red) yang baik juga,” imbuhnya. (JPG)