eQuator – Jakarta-RK. Setidaknya ada 100 dari 119 sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terancam gugur. Hal ini lantaran adanya pasal 158 UU 8/2015.
“Aku adalah orang yang dengan keras menolak UUD amandemen beserta seluruh undang-undang yang dilahirkannya yang tidak memihak pada bangsa dan rakyat,” tegas aktivis Ratna Sarumpaet dalam diskusi ‘Pasal 158, UU No 8/2015 Membunuh Demokrasi, Halalkan Kecurangan Dan Korupsi’ di kawasan Matraman, Jakarta Timur, Sabtu (26/12).
Pasal ini, lanjut dia, merupakan pasal yang liberal karena di dalamnya mengatur tentang pembatasan selisih maksimal sebagai syarat formil dapat diterimanya suatu perkara perselisihan pemilihan bupati/walikota dan gubernur.
“Sangat keterlaluan membuat 100 dari 119 sengketa Pilkada 2015 yang diajukan ke MK terancam gugur,” kecamnya.
Karena itu, Ratna mengajak publik untuk mendesak, mendorong dan memastikan MK tidak hanya memeriksa perselisihan hasil rekapitulasi dengan kejar target. MK harus memeriksa fakta dan indikasi pelanggaran Pilkada yang memenuhi standar terstruktur, sistematif, dan masif (TSM) serta mempengaruhi perolehan suara.
“Karena bagaimanapun, perluasan objek pemeriksaan terhadap pelanggaran yang TSM selain telah dilakukan MK sebelumnya, juga tidak menyimpang dari undang-undang,” tegasnya.
DPR Kerjanya Apa?
Aktivis senior Ratna Sarumpaet menyayangkan politisi Senayan yang telah mengamandemen Undang-Undang Nomor 8/2015 tentang Pilkada.
Karena dengan adanya perubahan tersebut, setidaknya ada 100 dari 119 sengketa pilkada yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terancam gugur.
“Saya juga jadi bingung sekali dengan apa yang dilakukan oleh anggota DPR. Sebenarnya apa yang mereka lakukan di sana, kok bisa ada undang-undang seperti ini, kok bisa ada undang-undang yang tersesat seperti ini,” ujarnya masih dalam diskusi bertema ‘Pasal 158 UU 8/2015 Membunuh Demokrasi, Halalkan Kecurangan Dan Korupsi’.
“Kok bisa dari lima ratus sekian anggota DPR muncul undang-undang yang begitu menjebak, jauh dari rasa keadilan. Boro-boro rasa keadilan, boro-boro supremasi keadilan,” lanjut Ratna.
Karena itu, ia mendorong semua pihak untuk mengangkat isu tersebut agar MK menganulir undang-undang yang dinilai sangat liberal. Karena sesungguhnya masalah ini berdampak besar pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Media jangan hanya mengurusi kasus Freeport. Karena sesungguhnya kasus Freeport sangat mudah. Freeport, pada menggelepar perasaannya, padahal jawabannya paling sederhana, hanya satu, ambil alih. Orang itu milik kita,” tandas Ratna yang juga pendiri Ratna Sarumpaet Crisis Center.
MK Harus Terima
Ketentuan dalam Pasal 158 Undang-undang 8/2015 Pilkada menyebabkan peradilan Pilkada tidak mampu memberikan keadilan elektoral secara paripurna bagi peserta dan rakyat yang mendukung.
Pasal tersebut mengatur tentang pembatasan selisih maksimal sebagai syarat formil diterima tidaknya suatu sengketa dalam pemilihan bupati/walikota/gubernur. Mahkamah Konstitusi baru akan menerima gugatan pasangan calon apabila selisih suara dengan pemenang maksimal 2 persen.
“Pembatasan tersebut membuat fakta-fakta kecurangan yang terjadi dalam Pilkada Serentak akan mustahil dipersoalkan,” tegas budayawan dan aktivis senior Ratna Sarumpaet, Kamis (24/12) lalu.
Pendiri Ratna Sarumpaet Crisis Center ini mengatakan, berdasarkan data yang dirilis SETARA Institute, dari 10 pemilihan walikota, 103 pemilihan bupati dan 6 pemilihan gubernur yang sudah mendaftarkan sengketa ke MK, hanya 19 kabupaten yang perkaranya akan diterima dan dilanjutkan ke pemeriksaan materi gugatan. Sisanya akan rontok pada sidang pendahuluan, termasuk 21 wilayah yang memiliki selisih sangat tipis sekalipun.
Menurutnya, kondisi ini diperburuk oleh sikap MK yang menyatakan tidak akan memeriksa gugatan kecurangan meskipun penggugat mendalilkan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif (TSM).
Karena itu, atas nama supermasi keadilan, dia mengimbau agar semua pihak, terutama para ahli tata negara dan media massa mendorong MK agar memastikan diri tidak hanya memeriksa perselisihan hasil/rekapitulasi, tetapi memeriksa fakta/ indikasi pelanggaran yang memenuhi standar TSM dan mempengaruhi perolehan hasil.
“Bagaimana pun, ‘perluasan obyek pemeriksaan terhadap pelanggaran yang TSM selain telah dilakukan MK sebelumnya, juga tidak menyimpang dari Undang-undang’,” tandasnya. (rmol)