eQuator.co.id – Tujuh pemuda menemukan bunga bangkai saat melakukan pendakian di Bukit Air Bintang, Desa Pangkalan Buton, Kecamatan Sukadana, Kayong Utara. Walhasil, niat menuju puncak pun dibatalkan.
Rupanya, mereka batal mencapai puncak bukit karena keasikan memperhatikan bunga yang langka tersebut. Sayang, kondisi amorphophallus titanum ini kurang baik. Banyak bagian bunga yang sudah mengalami kerusakan.
“Di bagian atas bunga sudah mulai membusuk seperti kena makan ulat,” papar salah seorang pendaki, Sudirman, kepada Rakyat Kalbar, Senin (29/8).
Pemuda yang ikut seleksi anggota baru Explore Kayong Utara (EKU) ini menuturkan, bunga yang masuk dalam kelas Liliopsida itu sedang dalam fase vegetatif. Umbi bunga tumbuh batang tunggal dan daunnya mirip daun pepaya.
“Saat kami temukan mengeluarkan bau yang tidak sedap (busuk, red),” timpalnya.
Informasi yang mereka dapat, bunga bersuku talas–talasan (araceae) ini juga sedang tumbuh di daerah Mentubang, Desa Harapan Mulia, Kecamatan Sukadana, Kayong Utara. “Yang masih satu keluarga dengan yang ditemukan di Air Paoh,” terang pendaki lainnya, Ika.
Terpisah, Kepala Resort Sukadana dan Cagar Alam Kepulauan Karimata Seksi Konservasi Wilayah I Ketapang, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar, Uray Iskandar menjelaskan, belum ada jenis hewan yang memangsa atau memakan bunga bangkai tersebut. “Namun, dengan baunya, bunga bangkai menarik serangga untuk dimangsa,” tutur Iskandar.
Lanjut dia, tumbuhan khas dataran rendah yang hidup di daerah tropis dan subtropis ini tersebar mulai dari Afrika Barat hingga Kepulauan Pasifik, termasuk di Indonesia. “Sebagian besar merupakan spesies endemik,” jelasnya.
Dipaparkannya, bunga bangkai merupakan tumbuhan dengan bunga majemuk terbesar dan tertinggi di dunia. Bentuk dan ukuran umbinya bervariasi pada setiap jenisnya.
“Setelah masa mekarnya lewat satu minggu, bunga bangkai akan layu dan akan mengulangi siklus hidupnya dan tumbuh baru dengan umbinya yang sudah mati. Memakan waktu kurang lebih tiga tahun,” ulasnya, menerangkan kondisi tumbuhan yang ditemukan para pendaki tersebut. (*)
Kamiriluddin, Sukadana