eQuator.co.id – Pontianak-RK. Pemerintah sedang giat melakukan reformasi birokrasi. Reformasi ini dilakukan karena adanya berbagai permasalahan di dalamnya.
Permasalahan pertama adalah tumpang tindihnya peraturan yang mengatur birokrasi. Kedua, pola pikir birokrat yang masih belum benar dan profesional. Ketiga, praktik operasional yang belum optimal. “Lalu distribusi ASN yang belum merata secara geografis dan terpusat pada kota-kota besar saja,” papar Ketua Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) Kalbar, Joko Agus Setyono, dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertema ‘Peningkatan Penyelesaian Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan dan Tata Kelola Keuangan Daerah yang Transparan dan Akuntabel’ di aula Kantor BPK Kalbar, Senin (12/11).
Joko mengatakan, permasalahan lainnya adalah tumpang tindih fungsi birokrasi dan fungsi pengawasan internal belum optimal. belum lagi kualitas pelayanan publik yang belum maksimal.
“Karena itulah reformasi birokrasi diperlukan untuk menciptakan birokrasi yang bersih dan profesional serta transparan dalam penyampaian informasi kepada masyarakat,” katanya.
Menurutnya, masyarakat perlu dilayani dengan lebih baik, cepat dan murah. Tujuan reformasi birokrasi, tahun 2019 semestinya telah mencapai posisi efektif, efisien dan ekonomis. “Pada intinya adalah mewujudkan birokrasi berbasis kinerja,” ujarnya.
Kendati begitu kata dia, saat ini birokrasi tidak mesti harus berbasis pada kinerja. Sesuai arahan Presiden, juga berbasis pada program. Setiap birokrat harus membuat program-program yang mampu menunjang kinerja mereka. Setakat ini BPK telah mengembangkan program tersebut dengan metode kontrak kinerja dari pihak atas kepada di bawahnya. “Hingga tercipta reformasi birokrasi yang menyeluruh dan menjadikan birokrasi di Pemda Kalbar lebih baik dalam segala hal,” harapnya.
BPK juga menginginkan data-data dari Pemda. Sesuai kesepakatan antara BPK dan seluruh Pemda yang ada terkait anggaran daerah.
“BPK juga menginginkan data terkait belanja pelayanan, belanja pegawai dan data lainnya yang dianggap perl,” pungkasnya.
Pihaknya kata Joko, perlu mengetahui laporan dari pengawas internal di setiap Pemda. “Ini dilakukan sebagai acuan BPK untuk melakukan analisa lebih mendalam terhadap anggaran daerah,” tutup Joko.
Gubernur Kalbar Sutarmidji yang turut menjadi narasumber mengatakan, saat dirinya menjadi Wali Kota Pontianak dua periode selalu mengarahkan kepala dinas untuk melakukan audit. Melaporkan temuan-temuan janggal dalam birokrasi yang dipegang. Namun kenyataannya, setiap kepala dinas selalu menyuruh bawahan untuk melakukan hal tersebut.
“Sehingga pada saat adanya temuan-temuan, kepala dinas kelabakan karena tidak tahu apa-apa,” jelasnya.
Pria yang karib disapa Midji ini mengatakan, sikapnya itu ia bawa saat menjabat Gubernur. Kepala dinas di lingkungan Pemprov Kalbar bisa mengetahui ke mana anggaran daerah dibelanjakan.
“Hal ini dilakukan untuk menghindari temuan-temuan janggal dalam anggaran daerah,” tegasnya.
Midji menuturkan, ke depannya ia menyarankan agar kepala birokrat tidak mendepositokan uang gaji pegawai yang justru mempersulit pengeluaran bersangkutan. Karena harus sesuai dengan tempo diambilnya dana tersebut. “Padahal bila pengeluaran gaji pegawai itu dilakukan sesuai aturan dan cepat, hal ini akan mempercepat kinerja para pegawai itu sendiri,” lugasnya.
Gubernur juga ingin agar uang APBN atau APBD tidak mengendap di kas daerah. Lantaran akan merepotkan pemerintahan. Dia juga ingin agar setiap kepala daerah bisa mengakses kondisi kas daerah. Karena baru Kota Pontianak yang melakukan hal itu. “Perlunya kepala daerah agar bisa mengakses kas daerah agar kepala daerah bisa tahu beginilah kondisi kas daerah. Total uang di dalamnya ada sekian,” terangnya.
Ditegaskan Midji, pengelolaan keuangan daerah harus transparansi. Kalbar peringkat ketiga dalam hal keterbukaan informasi. Berada setelah Jawa Tengah dan DKI Jakarta dalam masalah keterbukaan informasi, terutama birokrasi. Hal ini tentu saja merupakan pencapaian yang baik. “Salah satu poin mengapa kita bisa mencapai kepercayaan tersebut adalah transparansi informasi daerah,” katanya.
Ia juga ingin setiap birokrasi melakukan evaluasi pada setiap temuan dalam anggaran daerah yang dipegang. Ada wacana nantinya akan dibentuk peraturan daerah untuk terus mendukung transparansi informasi.
“Karena hal ini untuk mendukung salah satu program Pemda yaitu percepatan pembangunan desa mandiri yang ditarget akan terbentuk 200 hingga 400 desa dalam waktu lima tahun mendatang,” jelas Midji.
Sementara itu, Kapolda Kalbar Irjen Pol Didi Haryono menjelaskan, memaparkan peran Polri dalam penanganan kasus korupsi alokasi dana daerah. Didi membagi korupsi dalam beberapa bagian. Pertama adalah corruption by greeds. “Korupsi ini terjadi karena aparat yang serakah dalam pemenuhan kebutuhannya,” ujarnya.
Kedua, corruption by opportunities. Ini terjadi karena melihat adanya kesempatan untuk menyelewengkan keuangan. Dan ketiga, corruption by needs. Ini ibarat besar pasak daripada tiang. “Keinginan banyak namun tidak melihat kondisi diri sendiri sehingga memaksa untuk melakukan korupsi,” paparnya.
Kapolda mengatakan, tahun 2017 ada 24 kasus korupsi yang ditangani jajarannya. Sementara awal tahun ini hingga Oktober 2018 tercatat 28 kasus (lihat grafis). Artinya, ada peningkatan kuantitas kasus korupsi.
Didi menuturkan, secara angka kerugian negara terjadi penurunan. Tahun 2017, kerugian negara ditaksir Rp6,841 miliar. “Sedangkan tahun 2018 kerugian negara yang tercatat adalah Rp4,023 miliar,” ungkapnya.
Khusus korupsi dana desa, tahun 2017 namun ada satu kasus. Yaitu terjadi di Kabupaten Sanggau. Pada 2018 mengalami peningkatan empat kasus. Di Kota Pontianak 1 kasus, Kabupaten Landak 1 kasus, Sekadau 1 kasus dan Melawi 1 kasus.
Didi meminta agar Wali Kota dan Bupati se Kalbar memberikan arahan kepada kepala-kepala desa yang berada di wilayah masing-masing untuk menggunakan dana desa secara benar. Mengingat tahun 2019 ada wacana Lurah akan memiliki dana tersendiri. “Sehingga perlu kiranya penggunaan dana desa/kelurahan sesuai dengan aturan yang ada,” pesan Kapolda.
Laporan: Bangun Subekti
Editor: Arman Hairiadi