eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Perppu untuk mencegah berlakunya revisi UU KPK tidak hanya berkaitan dnegan nasib pemberantasan korupsi di Indonesia. Lebih dari itu, perppu juga akan menentukan tingkat kepercayaan rakyat terhadap presiden. Sebab, saat ini sikap persidenlah yang paling ditunggu untuk bisa membendung revisi UU KPK.
Kemarin (6/10), Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei terkait Revisi UU KPK beserta desakan Perppu. Juga terkait aksi demonstrasi mahasiswa beberapa waktu belakangan.
Survei tersebut dilakukan pada 4-5 Oktober lalu. Hasilnya, 46,8 persen masyarakat menganggap demo mahasiswa murni memperjuangkan UU KPK.
Dalam arti, mayoritas publik menganggap saat demo di dasarian terakhir September lalu terbagi dalam dua jenis. Yakni demonstrasi mahasiswa yang beragendakan pembatalan revisi UU KPK dan demonstrasi kelompok antijokowi. Keduanya terpisah. Sementara, 28,2 persen publik beranggapan aksi demonstrasi mahasiswa digerakkan atau ditumpangi pihak-pihak yang antijokowi.
Terbukti, 67 persen publik masih menyatakan puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo. Namun harus diingat, mayoritas publik juga berpandangan yang sama dengan mahasiswa. Bahwa revisi UU KPK melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Persentasenya mencapai 70,9 persen.
’’Mayoritas mutlak ini,’’ terang Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan. Hanya 18 persen yang berkata sebaliknya (lihat grafis).
Djayadi menuturkan, sebelumnya dia pernah menyampaikan bahwa janji presiden untuk menguatkan KPK tidak terlihat dalam revisi UU KPK. Ternyata, publik yang mengetahui revisi UU KPK juga berpandangan sama.
Pun demikian dengan perppu. Mayoritas publik menginginkan Presiden mengeluarkan Perppu untuk membatalkan hasil revisi UU KPK. Karena produknya justru melemahkan, bukan menguatkan.
’’Artinya ada aspirasi publik yang sangat kuat,’’ lanjutnya. Menurut publik, perppu adalah jalan keluar dari polemik tersebut dan percaya presiden akan berpihak pada masyarakat ketimbang politisi.
Djayadi juga menunjukkan hasil survei di mana kepercayaan terhadap lembaga kepresidenan hampir sama tingginya dengan lembaga KPK. Sementara, kepercayaan terhadap DPR anjlok.
’’Masyarakat jauh lebih percaya kepada KPK dan Presiden dibanding kepada DPR,’’ tuturnya. Padahal, survei dilakukan saat periode DPR baru saja berganti dan seharusnya publik menaruh harapan besar.
Karena itu, bisa disimpulkan bahwa publik akan berada di belakang presiden bila mau mengeluarkan perppu. ’’Kalau presiden tidak menerbitkan itu, ada kemungkinan presiden dianggap meninggalkan kehendak rakyat,’’ terang peneliti kelahiran Plaju, Sumatera Selatan, itu. Juga tentu bertentangan dengan janji presiden bahwa KPK harus dikuatkan.
Survei tersebut juga menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan terhadap lembaga presiden berbanding lurus dengan kepercayaan terhadap lembaga KPK. ’’Bila presiden tidak menun jukkan keberpihakan serius terhadap KPK, maka tingkat kepuasan publik terhadap presiden juga akan terkoreksi,’’ terang peneliti LSI Khoirul Umam.
Angka 67 persen itu, lanjut Umam, sebenarnya menunjukkan bahwa ada penurunan tingkat kepuasan terhadap kinerja presiden. Sebab, pada Maret lalu tingkat kepuasan masih berada di angka 71 persen. maka, konsekuensinya berat bagi presiden bila revisi UU KPK diberlakukan.
’’Karena ada fakta politik yang tidak terbantahkan bahwa presiden ’berniat’ melemahkan KPK,’’ lanjutnya.
Sementara itu, Kepala Pusat penelitian Politik LIPI Prof Syamsuddin Haris menuturkan, hasil survei itu mampu mewakili kegelisahan publik. Khususnya kegelisahan mengenai KPK dan nasib pemberantasan korupsi di negeri ini.
’’Mudah-mudahan hasil survei LSI ini menembus dinding istana,’’ tuturnya.
Dalam arti Jokowi membaca hasilnya yang menunjukkan mayoritas publik menilai revisi UU KPK justru melemahkan pemberantasan korupsi. Juga membaca aspirasi publik yang menginginkan revisi UU KPK itu dibendung lewat perppu yang merupakan hak subjektif presiden.
Sebagaimana para pakar lainnya, Syamsuddin juga meyakinkan bahwa presiden tidak perlu khawatir ada dampak politik bila mengeluarkan perppu. Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan bahwa yang dimaksud hal ihwal kegentingan yang memaksa dalam perppu adalah subjektivitas presiden.
’’Jadi, presiden memiliki hak untuk menilai situasi yang genting,’’ lanjutnya.
Menurut Syamsuddin, subjektivitas presiden itu juga masih memiliki pilihan-pilihan. Yakni, perppu yang membatalkan seluruhnya, menunda pemberlakuan, atau membatalkan sebagian pasal yang sudah disepakati. Sehingga, presiden tidak harus berpatokan pada pilihan pertama.
Berikutnya adalah kapan perppu itu sebaiknya diterbitkan. Syamsuddin menjelaskan, ada beberapa opsi. Namun tentu harus diawali dengan berlakunya UU tersebut pada 17 Oktober mendatang. Presiden punya opsi menerbitkan perppu setelah 17 Oktober. Bisa sebelum pelantikan atau sesudah pelantikan dirinya.
Bagi Syamsuddin, waktu yang paling tepat bagi Presiden mengeluarkan Perppu adalah setelah dilantik namun sebelum pembentukan kabinet kerja jilid II. Penerbitan perppu pada jeda waktu tersebut justru akan membuat posisi Jokowi sebagai presiden kian kuat.
Pertama, penerbitan perppu setelah 20 Oktober adalah untuk menghindari potensi terganggunya pelantikan presiden secara politis. Misalnya ada fraksi yang memutuskan tidak hadir saat pelantikan. Karena itu, lebih baik presiden dilantik dulu baru mengeluarkan Perppu.
’’Pak Jokowi sebagai presiden legitimasinya juga lebih kuat sebab presiden mendapat mandat politik yang baru hasil pemilu,’’ tutur Syamsuddin.
Kedua, penerbitan perppu sebelum kabinet disusun akan menguatkan bargaining position (posisi tawar) Jokowi di hadapan partai-partai politik. Sebab, sudah tentu mereka menginginkan kursi menteri.
’’Anda mau masuk kabinet atau tidak. Kalau mau masuk, jangan ganggu saya (presiden) menerbitkan perppu,’’ imbuhnya.
Karena itu, menurut dia, publik memang harus lebih sabar menunggu perppu diterbitkan. Bukan hanya sekadar menuntut presiden mengeluarkan perppu. Karena perppu harus dikeluarkan di waktu yang tepat agar posisi presiden juga tidak tergangu.
Disingung mengenai kebimbangan Jokowi soal UU KPK, menurut Syamsuddin tidak lain karena usulan revisi itu berasal dari partainya sendiri, PDIP. ’’Itu menimbulkan kegalauan luar biasa bagi ’petugas partai’,’’ ucap Syamsuddin.
Lain halnya bila inisiatif itu tidak datang dari PDIP. Sangat mungkin langkah Jokowi lebih ringan.
Persoalan timbul karena Jokowi harus berhadapan dengan lingkaran dalamnya sendiri: partai yang selama ini membesarkan namanya sehingga bisa menjadi presiden RI. ’’Apalagi mungkin ya, membayangkan sosok sang ibu,’’ sindir Syamsuddin tanpa bersedia menjelaskan lebih lanjut siapa yang dimaksud dengan ibu. (Jawa Pos/JPG)