eQuator.co.id – Mempawah-RK. Cukup panjang perjalanan Frantinus Nirigi mencari keadilan. Sudah 17 kali persidangan yang dijalani terdakwa candaan bom (joke bomb) dalam pesawat Lion Air JT 687 itu di Pengadilan Negeri (PN) Mempawah. Rabu (24/10) kemarin, merupakan sidang terkahir yang dilewati dengan agenda pembacaan putusan.
Setelah melewati berbagai pertimbangan, Majelis Hakim PN Mempawah akhirnya menjatuhkan hukuman kurungan penjara selama 5 bulan 10 hari kepada Fran. Putusan itu dibacakan hakim ketua, I Komang Dediek Prayoga yang didampingi hakim anggota Erli Yansah dan Arlyan di hadapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Mempawah, Fran dan tim kuasa hukumnya serta puluhan kerabat Fran.
Dalam amar putusan yang dibacakan, bahwa Fran terbukti melanggar pasal 437 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yakni menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan. Sementara pada pasal primer yang dituduhkan, yakni pasal 437 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, tidak terbukti.
Selain itu, yang memberatkan Fran adalah pengakuannya yang dimuat di salah satu media cetak Pontianak. Dalam media tersebut, berita yang dimuat berjudul ‘Akui Sebut Bom’. Lampiran pemberitaan ini diajukan JPU menjadi salah satu barang bukti.
Berdasarkan semua pertimbangan inilah, Majelis Hakim PN Mempawah menyimpulkan bahwa Fran terbukti menyebut ada bom. Dan, pengakuan tersebut menjadi acuan majelis hakim untuk menghukum Fran. Serta menganggap perbuatan Fran pada 28 Mei lalu telah meresahkan, membuat dan merugikan pihak maskapai. Hal lain yang juga memberatkan Fran adalah dia tidak mengakui perbuatannya telah mengucapkan ada bom.
“Terbukti secara sah menyampaikan informasi palsu. Tidak membebaskan terdakwa dari dakwaan. Menjatuhkan pidana penjara selama lima bulan sepuluh hari. Dikurang dengan masa tahanan (yang telah dijalani terdakwa, red),” kata Dediek membacakan amar putusan.
Usai menjatuhkan putusan pidana terhadap alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Tanjungpura Pontianak itu, majelis hakim memberikan tempo tujuh hari kepada pihak terdakwa dan JPU untuk mengambil langkah hukum selanjutnya. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan JPU yakni pidana penjara delapan bulan atau lebih ringan dua dua bulan dua puluh hari.
Setelah putusan dibacakan, Fran pun langsung meninggalkan ruang sidang dan berdiskusi dengan penasihat hukumnya. Fran mengaku kecewa dengan putusan ini. “Hasil sidang tidak memuaskan. Saya tidak menerima dan saya akan banding,” ujar Fran seraya digiring ke mobil tahanan.
Pertimbangan yang memberatkannya soal pengakuan yang menyimpulkan dia menyebut ada bom di salah satu media cetak adalah pengakuan yang dipaksa oleh penasihat hukum sebelumnya. Yakni Marcelina Lim dan rekan. “Karena semua tidak sesuai dengan kenyataan. Saya dipersalahkan dengan data yang dibuat-buat itu,” tambahnya.
Fran juga mengatakan bahwa video rekaman permintaan maaf yang tersebar dan pemberitaan yang dimuat di salah satu koran itu bukan dari dirinya. Dia juga mengaku hal itu dilakukan karena diiming-imingi akan bebas apabila mengaku dan meminta maaf melalui video tersebut.
“Itu tidak benar semua itu. Semua dibuat-buat. Saya disuruh baca, mereka (pengacara lama) yang tulis saya disuruh baca,” ungkapnya. “Saya diiming-imingi, ‘nanti kamu setelah ini pulang’, tapi nyatanya sampai saat ini saya masih menjalani hukuman seperti ini dan saya akan banding,” tambahnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum Fran, Andel menyatakan menghormati atas putusan dari majelis hakim. “Kalau merasa memenuhi keadilan, kita tidak bisa bicara tentang adil atau tidak. Yang jelas kami selaku kuasa hukum Frantinus Nirigi, setelah mendengar putusan, kami menghormati apa yang sudah diputuskan, sudah dipertimbangkan oleh yang majelis hakim yang mulia, kami menghormati,” ujarnya.
Ia menerangkan, segala upaya pembelaan sudah dilakukan selama proses persidangan itu. Sehingga pihaknya berkeyakinan bahwa tidak ada bukti yang cukup kuat untuk mempermasalahkan Fran. “Yang jelas, kami sudah menyampaikan dalam pembelaan kami, karena kami berkeyakinan memang tidak ada bukti yang cukuplah untuk menyalahkan Frantinus Nirigi,” tegas Andel.
Andel mengatakan, keyakinan Fran tidak bersalah karena dalam persidangan tidak disertai dua alat bukti yang sah menurut hukum. Saksi-saksi yang dihadirkan pun tidak dapat membuktikan secara sah Fran bersalah. Putusan majelis hakim, sambung dia, titik beratnya hanya merujuk pada pengakuan terdakwa dalam pemberitaan di media massa. Padahal ucapan itu direkayasa oleh pengecara yang sebelumnya.
“Itu tadi hanya berdasarkan pengakuan yang diakui melalui kuasa hukum yang sebelumnya. (Marcelina Lim dan rekan, Red) lalu dimuat kan ke koran, divideokan. Dalam pemberitaan dan video itu dia mengakui. Itulah yang menjadi dasar majelis hakim atas bersalahnya Frantinus Nirigi,” bebernya.
Ia menegaskan, ini bukan tanpa dasar. Pihaknya siap membuktikan bahwa pernyataan permohonan maaf dan pengakuan Fran dalam pemberitaan dan video yang beredar itu karena atas perintah kuasa hukum sebelumnya. “Jadi, kuasa hukum yang lama mengundang wartawan (konferensi pers, Red). Kami masih ada buktinya. Tulisan tangan yang isinya menyuruh Fran mengakui dan meminta maaf. Itu dibuat pengacara sebelumnya. Kita pun sudah menduga, hal inilah dasar pertimbangan untuk mempermasalahkan klien kami,” kata Andel.
Kuasa hukum lainnya, Alosius Renwarin juga mengaku kecewa dengan putusan itu. Maka, pihaknya memastikan akan mengajukan banding atas putusan ini ke Pengadilan Tinggi Pontianak. Hal ini, karena menurutnya putusan hakim tidak sesuai dengan fakta-fakta di persidangan.
“Karena kita memiliki novum (bukti baru) seperti yang disebutkan tadi, maka kita akan melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi Pontianak,” ujar Aloysius.
Dalam banding nanti, pihaknya akan menampilkan bukti tulisan tangan pernyataan tertulis yang dibuat oleh Marcelina Lim. “Kami punya bukti surat pengakuan Fran yang dibuat itu. Surat pengakuan itu dikonsep pengacara dengan janji dia akan dibawa pulang. Kami juga akan melaporkan dia (Marselina Lim, Red) ke Dewan Kehormatan Peradi, untuk mempertimbangkan status dia sebagai pengacara,” tegasnya.
Anggota DPR Papua, Nason Uti juga menyaksikan langsung pembacaan putusan itu. Dia mengaku menerima putusan majelis hakim itu dengan hati, pikiran dan perasaan yang sangat kecewa.
“Jelas kami terima dengan kecewa. Karena Fran, anak kami ini bukan pelaku. Pelaku utama yang membuat kekacauaan di dalam pesawat adalah pramugari Lion Air itu sendiri (Cindy Veronika Muaya, Red),” tegas Nason.
Ia menilai, seharusnya pramugari tahu jika penumpang sudah berada di dalam pesawat berati sudah menjalani pemeriksaan baik terhadap badannya maupun tas yang dibawa. “Pramugari Lion Air lah yang harus bertanggungjawab atas kasus ini. Fran adalah masyarakat yang dizolimi,” tukasnya.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rezkinil Jusar mengatakan, putusan majelis hakim lebih ringan dari tuntutannya. Terkait hal itu, pihaknya masih pikir-pikir terlebih dahulu apakah akan banding atau tidak. “Ada waktu tujuh hari untuk pikir-pikir. Yang jelas hasil sidang hari ini (kemarin) akan kami laporkan ke pimpinan,” katanya.
Sementara itu pihak yang diberi kuasa oleh keluarga untuk mendampingi Fran, Bruder Stephanus Paiman dari Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak dan JPIC Kapusin mengaku menerima putusan majelis hakim dengan hati sedih.
“Ini kenyataan bahwa hakim berpedoman pada dakwaan jaksa yang berpegang pada berita koran Tribun Pontianak,” katanya.
Ia mengatakan, dalam berita itu Fran mengakui perbuatannya. Padahal oknum wartawan yang menulis berita tersebut tidak mendengar langsung dari mulut Fran. Tetapi mendapat informasi dari orang lain.
“Kami sudah cek tentang pengakuan Fran tersebut dan ternyata pengakuan itu diminta oleh pengacara pertama dan mengonsepkan dengan tulisan tangan. Lalu Fran diminta membacakan konsep permintaan maaf tersebut dengan alasan agar meringankan hukuman terhadap Fran nanti,” bebernya.
Menurut Stephanus, hakim tidak mempertimbangkan pendapat saksi ahli hukum pidana yang mengatakan bahwa berita koran atau media tidak dapat dijadikan alat bukti. Apalagi saksi atau pembuat berita tersebut tidak dihadirkan dalam persidangan.
“Saya akan melaporkan putusan ini pada Komisi Yudisial dengan bukti-bukti persidangan. Karena dari awal kasus ini dipaksakan dan sudah terlihat penuh kejanggalan. Sebagai penanggungjawab FRKP dan JPIC Cap akan terus mendampingi Fran memperoleh Keadilan,” ucapnya.
Sedianya, sejak diberi mandat untuk mendampingi kasus pemuda 29 tahun ini, Stephanus selalu melakukan investigasi. Bahkan sejak awal kasus ini mencuat.
“Dari awal sebelum kita menandatangani surat kuasa, hasil investigasi kita mengatakan bahwa kasus ini rekayasa yang mengorbankan Fran. Dugaan tersebut terbukti dengan tidak cukup bukti untuk mempidanakan Fran, tetapi tetap dipaksakan,” tegasnya.
Hal ini, kata Stephanus bukan tanpa bukti. Karena tidak ada saksi yang menyatakan bahwa Fran menyebut ‘ada bom’. Apalagi keterangan para saksi serta pendapat saksi ahli menyimpulkan Fran tak memenuhi unsur pidana.
“Makanya dan semestinya Fran harus diputus bebas dengan pemulihan nama baiknya,” pungkas Stephanus.
Laporan: Ocsya Ade CP
Editor: Arman Hairiadi