eQuator.co.id – Jayapura-RK. Wajah Frantinus Nirigi memerah. Air mata tampak membasahi pipinya. Dia tak kuat menahan haru ketika kedua orangtuanya, keluarga dan masyarakat Kabupaten Nduga, Papua datang satu persatu menghampiri dan memeluknya.
Pria 29 tahun ini sudah hampir 9 tahun tak pernah pulang ke Papua. Setelah pendidikan di Universitas Tanjungpura (Untan) selesai, dia berencana pulang ke Papua. Seharusnya, Fran sudah berada di Papua pada akhir Mei 2018 lalu.
Namun keinginan menginjakkan kaki di tanah kelahiran itu tertunda karena Fran harus berurusan dengan hukum di Kalbar. Terkait peristiwa yang terjadi di dalam pesawat Lion Air JT 687 di Bandara Internasional Supadio Pontianak di Kubu Raya pada 28 Mei 2018 silam.
Banyak dan panjang proses pencarian keadilan yang dilewatinya. Sehingga dia sempat hidup di rumah tahanan (rutan). Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mempawah menjatuhkan hukuman hukuman 5 bulan 10 hari untuk Fran. Cukup lama.
Sepuluh hari sejak menghirup udara segar setelah keluar dari Rutan Mempawah, Fran terbang ke Papua didampingi kuasa hukum yang menangani kasusnya, Andel dan Ketua Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP), Bruder Stephanus Paiman OFMCap serta abang iparnya Diaz Gwijangge.
Fran bertolak meninggalkan Pontianak, pada Selasa (13/11) sore dan tiba di Jayapura, Papua pada Rabu (14/11) pagi. Kedatangan Fran di tanah Papua pun disambut layaknya seorang pahlawan dengan sambutan dari masyarakat adat Kabupaten Nduga, daerah asalnya.
Tiba di bandara, Fran disambut tarian adat dan dikenakan mahkota kebesaran bagi masyarakat adat Papua. Tak hanya Fran, Andel dan Bruder Stephanus pun disambut dengan layaknya pejuang yang baru saja tiba dari medan perang.
Suasana di Bandara Sentani Jayapura sempat heboh saat sejumlah masyarakat yang mengenakan pakaian adat menari sembari bernyanyi membawa panah saat rombongan tiba.
Usai penyambutan di bandara, rombongan kemudian konvoi menuju asrama mahasiswa dan pelajar Ninmin di Distrik Abepura, Jayapura. Disana, para mahasiswa maupun masyarakat asal Nduga juga sudah berkumpul.
Mereka menyambut Fran dengan tradisi adat Barapen (Bakar Batu) yang dilanjutkan dengan ibadat syukuri atas kepulangan Fran.
“Akhirnya saya bisa kembali, seharusnya saat sudah menyelesaikan studi di Pontianak beberapa waktu lalu, saya sudah pulang ke Papua,” ujar Fran sambil menahan rasa haru kepada rombongan menyambutnya, Rabu sore itu.
“Bagi saya, itu sebuah musibah. Tapi bagi penegak hukum, itu dianggap sebuah kasus,” sambungnya.
Mewakili masyarakat Papua, Anggota DPRD Provinsi Papua Nason Utty berharap peristiwa serupa tidak terjadi lagi dan dialami warga Papua pada umumnya. Meski demikian, pihak keluarga mengaku senang dengan kepulangan Fran yang kelak diharapkan bisa membangun tanah kelahirannya, Papua.
“Kita bersyukur, karena akhirnya adik kami ini, Frantinus bisa pulang dan berkumpul kembali bersama keluarga besar di Papua,” ujar Nason.
Nason juga menyampaikan terima kasih atas nama rakyat Papua terutama kepada pengacara Andel dan Bruder Stephanus yang mewakili masyarakat Kalbar di Pontianak yang membantu Fran sehingga ia bisa berada di Papua.
“Semoga Tuhan memberkati di setiap pelayanan kemanusiaan mereka,” ucap Nason.
Mewakili masyarakat Papua, Nason juga menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung yang membantu dan mendampingi proses hukum Fran selama ini.
Tak hanya penyambutan di bandara dan asrama, Frant bersama Bruder Stephanus dan kuasa hukumnya Andel dan Aloysius Renwarin dari Papua juga berbagi cerita dan pengalaman dalam menangani dan mendampingi proses hukum yang dialami Fran.
Rangkaian acara tersebut juga dikemas dalam kegiatan bertajuk Refleksi Pelayanan Gembala yang disampaikan oleh Bruder Stephanus dengan tema Tangisan Anak Papua Korban SOP Pesawat Lion Air. Kegiatan digelar di Hotel Horison, Jayapura pada Rabu malam.
Kegiatan tersebut turut dihadiri berbagai kalangan di Papua. Mulai dari Anggota DPRD Papua, para Pendeta, Penginjil serta perwakilan mahasiswa dari Universitas Cenderawasih dan masyarakat. Semuanya begitu serius menanggapi presentasi tentang Karya FRKP dan JPIC Kapusin yg dipaparkan oleh Bruder Stephanus.
Presentasi lebih dari dua jam itu pun tidak membuat hadirin beranjak. Meski sudah larut malam. Pada saat sesi tanya jawab hampir 90 persen dari peserta meminta kesediaan Biarawan Kapusin ini untuk membuka cabang di Papua.
Bahkan, Nason Utty berencana untuk kembali mendatangkan Bruder Stephanus ke Papua untuk berbagi dan membantu masyarakat Papua merintis karya pelayanan kemanusiaan seperti yang dilakukan FRKP dan JPIC Kapusin di Kalbar.
“Puji Tuhan bahwa kami bertiga mewakili masyarakat Kalbar diterima dengan sangat-sangat baik oleh masyarakat adat Papua, khususnya suku Mbuga yang merupakan suku asli dari Frantinus Nirigi,” ungkap Bruder Stephanus.
Ia juga tak mengira bakal disambut dengan tarian perang dan bakar batu sebagai adat mereka. “Kami bertiga sudah diangkat sebagai bagian dari sub suku Mbuga Papua,” sambung pria yang sejak usia 28 tahun sudah terjun dalam misi kemanusian ini.
Bruder Stephanus juga berharap, semoga karya seperti FRKP dan JPIC Cap dapat dilakukan oleh masyarakat Papua didaerahnya sendiri oleh putra-putri Papua. (oxa)