eQuator.co.id – Kubu Raya-RK. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kegiatan monitoring evaluasi rencana aksi pemberantasan korupsi di Kabupaten Kubu Raya, Rabu (29/8).
Kedatangan lima pejabat komisi antirasuah diterima Bupati Kubu Raya, H Rusman Ali di Kantor Bupati Kubu Raya serta dihadiri para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Kubu Raya.
“Alhamdulillah, hari ini kita dikunjungi teman-teman dari KPK. Dalam rangka koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi. Agar kita ini sering-sering diingatkan, karena bagaimanapun kita manusia yang sering khilaf. Kita minta KPK tidak bosan-bosan untuk mengingatkan agar bisa terhindar dari hal-hal yang negatif,” ujar H Rusman Ali usai menerima kunjungan dan monitoring evaluasi KPK ke Kubu Raya.
Dalam kesempatan itu, Bupati berharap seluruh pimpinan SKPD Kubu Raya untuk menindaklanjuti seluruh arahan dari KPK. Tak hanya itu, H Rusman Ali memerintahkan kepala SKPD untuk meneruskan arahan KPK hingga ke jajaran terbawah.
“Saya minta seluruh kepala SKPD agar meresapi apa yang disampaikan oleh KPK. Ini dalam rangka memberi petunjuk dan arahan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Saya minta untuk menindaklanjuti apa yang diarahkan petugas dari KPK hingga jajaran terbawah. Karena yang dibawah itu yang banyak berurusan dengan masyarakat,” tegasnya.
Sementara itu, Fungsional Koordinator Supervisi Pencegahan KPK, Rusfian menjelaskan, definisi dan perbedaan gratifikasi, suap dan pemerasan.
Menurutnya, dalam aktivitas keseharian gratifikasi nyaris tidak terhindarkan. Karena itu, ia berharap seluruh aparatur sipil negara (ASN) dan penyelenggara negara untuk melaporkan setiap pemberian atau gratifikasi yang diterima. Dengan begitu ancaman delik pidana bagi penerima gratifikasi akan hilang.
“Kami mendorong agar ada semacam Peraturan Bupati (Perbup) yang mematuhi juga. Jadi, kita memiliki sikap yang sama dalam menyikapi sebuah penerimaan atau gratifikasi. Intinya kita harus komit. Pertama, harus ada Peraturan Bupati,” tutur Rusfian.
Dalam kehidupan manusia, Rusfian berpendapat gratifikasi merupakan keniscayaan. Dalam masyarakat sosial dan beragama gratifikasi adalah kelaziman. Tidak mungkin dihindari dan dihilangkan. Karena itu, yang dapat dilakukan adalah mengendalikannya.
“Jadi ada di dua ranah. Pertama ranah hukum. Ranah ini mengatur kepada gratifikasi yang dilarang yaitu terindikasi suap. Yang kedua ranah etika,” ulasnya.
Sejauh ini banyaknya modus pelaku kejahatan untuk menjerumuskan aparatur sipil negara dan penyelenggara negara. Karena itu, harus ada mekanisme pelaporan gratifikasi. Ia menegaskan pentingnya pemerintah daerah mengatur sendiri hal tersebut. Artinya mengendalikan sendiri penerimaan gratifikasi yang mungkin diterima oleh aparatur sipil negara.
“Tidak bakal bisa gratifikasi dihilangkan. Yang bisa adalah dikendalikan. Aturan gratifikasi KPK seperti itu,” tegasnya.
Sementara itu, Fungsional Korsup Pencegahan KPK, Sugeng Basuki mengatakan, setiap pemberian adalah gratifikasi. Namun tidak setiap gratifikasi termasuk pidana. Sugeng menyebut gratifikasi bisa masuk ke dalam pidana suap jika tidak ada pelaporan dari si penerima.
“Makanya, kalau dapat penerimaan atau gratifikasi sebaiknya lapor. Dalam penindakan hampir semua kasus besar yang ditangani KPK itu gratifikasi. Jadi, gratifikasi dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara itu erat hubungannya,” jelas Sugeng.
Menurut Sugeng, ada dua pilihan bagi penerima gratifikasi. Yakni melaporkan atau menolak. Hal itu demi keselamatan si penerima. Ia mengungkapkan, tak jarang pelaku kejahatan “bernyanyi” tentang pemberian yang pernah dilakukannya kepada pejabat atau penyelenggara negara. Bahkan mendokumentasikan aktivitas pemberian tersebut.
“Sebaiknya kita laporkan harta kita melalui LHKPN. Kita kaya tidak dilarang. Silahkan kaya. Tapi, caranya mendapatkan kekayaan harus benar. Apalagi kalau punya jabatan dan wewenang. Itu yang perlu dijaga. Sebenarnya ini semua sudah diucapkan dalam sumpah jabatan. Jadi, kita hanya mengingatkan,” ucapnya.
Reporter: Syamsul Arifin
Redaktur: Andry Soe